Oleh: Anies Baswedan
Berapa jumlah guru yang masih hidup?” itu pertanyaan Kaisar
Jepang sesudah bom atom dijatuhkan di tanah Jepang.
Kisah itu beredar luas. Bisa jadi itu mitos, tetapi narasi
itu punya konteks yang valid: pemimpin ”Negeri Sakura” itu memikirkan
pendidikan sebagai soal amat mendasar untuk bangkit, menang, dan kuat. Ia sadar
bukan alam yang membuat Jepang menjadi kuat, melainkan kualitas manusianya.
Pendidikan jangan pernah dipandang sebagai urusan sektoral. Pendidikan adalah
urusan mendasar bangsa yang lintas sektoral. Hari ini 53 persen penduduk
bekerja kita hanya tamat SD atau lebih rendah, yang berpendidikan tinggi hanya
9 persen. Pendidikan bukan sekadar bersekolah, melainkan fakta itu gambaran
menampar yang membuat kita termenung.
Dari sisi kuantitas, penduduk Indonesia di urutan keempat
dunia, tetapi dari segi kualitas di urutan ke-124 dari 187 negara. Bangsa ini
telah secara ”terencana” membuat sebagian besar penduduknya dicukupkan untuk
berlevel pendidikan rendah. Tak aneh jika kini serba impor karena memang
sebagian besar penduduk bekerja kita hanya bisa menghasilkan produk bernilai
tambah yang rendah.
Selama bangsa dan para pemimpinnya bicara pendidikan secara
sambil lalu, dan selama masalah pendidikan dianggap bukan masalah kepemimpinan
nasional, jangan harap masa depan akan bisa kuat, mandiri, dan berwibawa. Kunci
kekuatan bangsa itu pada manusianya. Jangan hanya fokus pada infrastruktur
penopang kehidupan bangsa. Sesungguhya kualitas infrastruktur kehidupan sebuah
bangsa semata-mata cermin kualitas manusianya !
Pendidikan adalah soal interaksi antarmanusia. Interaksi
antara pendidik dan peserta didik, antara orangtua dan anak, antara guru dan
murid, serta antara lingkungan dan para pembelajar. Guru adalah inti dari
proses pendidikan. Guru menjadi kunci utama kualitas pendidikan.
Berhenti memandang soal guru sebagai ”sekadar” soalnya
kementerian atau sebatas urusan kepegawaian. Soal guru adalah soal masa depan
bangsa. Di ruang kelasnya ada wajah masa depan Indonesia. Gurulah kelompok yang
paling awal tahu potret masa depan dan gurulah yang bisa membentuk potret masa
depan bangsa Indonesia. Cara sebuah bangsa memperlakukan gurunya adalah cermin
cara bangsa memperlakukan masa depannya!
Ya, penyesuaian kurikulum itu penting, tetapi lebih penting
dan mendesak adalah menyelesaikan masalah-masalah terkait dengan guru. Guru
merupakan ujung tombak. Kurikulum boleh sangat bagus, tetapi bakal mubazir
andai disampaikan oleh guru yang diimpit sederetan masalah. Tanpa penyelesaian
masalah-masalah seputar guru, kurikulum nyaris tak ada artinya.
Guru juga manusia biasa, dengan plus-minus sebagai manusia,
guru tetap kunci utama. Seorang murid menyukai pelajaran bukan sekadar karena
buku atau kurikulumnya, melainkan karena gurunya. Guru yang menyebalkan membuat
murid menjauhi pelajarannya, guru yang menyenangkan dan inspiratif membuat
murid mencintai pelajarannya.
Kita pasti punya banyak guru yang dulu mengajar. Ada yang
masih diingat dan ada yang terlupakan. Artinya, setiap guru punya pilihan, mau
jadi pendidik yang dikenang karena inspirasinya atau menjadi pendidik yang
terlupakan atau malah diingat karena perilakunya negatif. Guru harus sadar
diri. Ia pegang peran besar, mendasar, dan jangka panjang sifatnya. Jika
seseorang tak mau menjadi pendidik yang baik, lebih baik berhenti menjadi guru.
Terlalu mahal konsekuensi negatifnya bagi masa depan anak dan masa depan
bangsa. Ini statement keras, tetapi para pendidik dan pengelola pendidikan
harus sadar soal ini. Kepada para guru yang mendidik dengan hati dan sepenuh
hati, bangsa ini berutang budi amat besar.
Tiga persoalan besar
Paling tidak ada tiga persoalan besar mengenai guru kita. Pertama,
distribusi penempatan guru tidak merata. Di satu tempat kelebihan, di tempat
lain serba kekurangan. Kekurangan guru juga terjadi di kota dan di desa yang
dekat kota. Ini harus dibereskan. Kedua, kualitas guru yang juga tidak merata.
Kita harus mencurahkan perhatian total untuk meningkatkan kualitas guru.
Mudahkan dan berikan akses bagi guru untuk mengembangkan potensi diri dan
kemampuan mengajar. Bukan sekadar mendapatkan gelar pascasarjana, melainkan
soal guru makin matang dan terbuka luas cakrawalanya.
Ketiga, kesejahteraan guru tak memadai. Dengan sertifikasi
guru telah terjadi perbaikan kesejahteraan, tetapi ada konsekuensi
administratif yang sering justru merepotkan guru dan perlu dikaji ulang. Selain
soal guru honorer, guru bantu yang masih sering diperlakuan secara tak honored
(terhormat). Semua guru harus dijamin kesejahteraannya.
Melihat kondisi sebagian besar guru hari ini, kita
seharusnya malu. Kita titipkan masa depan anak-anak kepada guru, tetapi kita
tak hendak peduli nasib guru-guru itu. Nasib anak-anak kita serahkan kepada
guru, tetapi nasib guru amat jarang menjadi perhatian kita, terutama kaum
terdidik, yang sudah merasakan manfaat keterdidikan. Bangsa Indonesia harus
berubah. Negara dan bangsa ini harus menjamin nasib guru.
Menghormati guru
Mari bangun kesadaran kolosal untuk menghormati-tinggikan
guru. Pemerintah harus berperan, tetapi tanggung jawab besar itu juga ada pada
diri kita setiap warga negara, apalagi kaum terdidik. Karena itu, VIP-kan
guru-guru dalam semua urusan!
Guru pantas mendapat kehormatan karena mereka selama ini
menjalankan peran terhormat bagi bangsa. Saya ajukan dua ide sederhana
menunjukkan rasa hormat kepada guru: jalur negara dan jalur gerakan masyarakat.
Pertama, negara harus memberikan jaminan kesehatan bagi guru dan keluarganya,
tanpa kecuali. Kedua, negara menyediakan jaminan pendidikan bagi anak- anak
guru. Bangsa ini harus malu jika ada guru yang sudah mengajar 25 tahun, lalu
anaknya tak ada ongkos untuk kuliah. Jaminan kesehatan dan pendidikan
keluarganya adalah kebutuhan mendasar bagi guru. Kita harus mengambil sikap
tegas: amankan nasib guru dan keluarganya sehingga guru bisa dengan tenang
mengamankan nasib anak kita.
Di jalur masyarakat, Gerakan Hormat Guru harus dimulai
secara kolosal. Misalnya, para pilot dan awak pesawat, gurulah yang
menjadikanmu bisa ”terbang”, sambutlah mereka sebagai penumpang VIP di
pesawatmu, undang mereka boarding lebih awal. Para dokter dan semua tenaga
medis, gurulah yang mengajarimu sehingga bisa berseragam putih, sambutlah
mereka sebagai VIP di tempatmu merawat. Pada pemerintah dan dunia usaha di
berbagai sektor, semua prestasi yang dikerjakan adalah buah didikan guru di
masa lalu, VIP-kan guru, jadikan mereka customer utama, berikan mereka
kemudahan, berikan mereka diskon. Bukan hanya besaran kemudahan atau diskon,
melainkan ekspresi kepedulian itu yang menjadi bermakna bagi guru.
Dan semua sektor lainnya, ingatlah bahwa guru merupakan
modal awal untuk meraih masa depan yang lebih baik, lebih sejahtera itu
dibangun. Di setiap kata dalam pesan pendek (sms) yang ditulis, di sana ada
tanda pahala guru. Bangsa ini akan tegak dan disegani saat guru-gurunya
terhormat dan dihormati. Bagi anak-anak muda yang kini berbondong-bondong
memilih pendidikan guru, ingat tujuan menjadi guru bukan cari tingginya rupiah.
Anda pilih jalan mulia, menjadi pendidik. Jangan kemuliaan dikonversi sebatas
urusan rupiah, itu cara pintas membuat kemuliaan alami devaluasi. Kesejahteraan
Anda sebagai guru memang harus terjamin, tetapi biarkan sorot mata anak didik
yang tercerahkan atau cium tangan tanda hormat itu menjadi reward utama yang
tak ternilai bagi anda.
Indonesia akan berdiri makin tegak dan kuat dengan kualitas
manusia yang mumpuni. Para guru harus sadar dan teguhkan diri sebagai pembentuk
masa depan Indonesia. Jadilah guru yang inspiratif, guru yang dicintai semua
anak didiknya. Bangsa ini menitipkan anak-anaknya kepada guru, sebaliknya kita
sebangsa harus hormati dan lindungi guru dari impitan masalah. Ingat, jadi guru
bukanlah pengorbanan, melainkan kehormatan. Guru dapat kehormatan mewakili kita
semua untuk melunasi salah satu janji kemerdekaan republik ini: mencerdaskan
kehidupan bangsa. Jadikan kami sebangsa makin bangga dan hormat pada guru!
(Sumber: kemdikbud.go.id/lee)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar