Selasa, 23 Desember 2014

Kondisi Kerusakan Hutan di Provinsi Jambi di Titik Nadir

HUTAN JAMBI: Nurina Widagdo, Kepala Unit Tata Kelola Pemerintahan dan Pengurangan Kemiskinan UNDP Indonesia (tengah) saat memberikan keterangan pers usai peluncuran Buku Indeks Tata Kelola Hutan sembilan kabupaten di Provinsi Jambi 2014 bertempat di Ruang Pola Kantor Gubernur Jambi, Senin (22/12). ROSENMAN MANIHURUK/HARIAN JAMBI

Dibutuhkan 128 Tahun Guna Pemulihan Kerusakan Hutan Jambi

Kondisi kawasan hutan di Provinsi Jambi sudah berada di titik nadir. Oleh karena itu perlu perbaikan tata kelola hutan mulai dari Gubernur hingga Bupati se Provinsi Jambi. Dan Provinsi Jambi merupakan provinsi pertama di Indonesia yang mau meluncurkan buku indeks tata kelola hutan 2014.
R MANIHURUK, Jambi

Sementara biaya pemulihan kerusakan hutan di Provinsi Jambi seluas 934.000 Ha membutuhkan biaya sekitar Rp15,8 triliun atau 1,3 miliar dolar AS, ditambah waktu yang diperlukan sekitar 128 tahun.

Demikian dikatakan Nurina Widagdo, Kepala Unit Tata Kelola Pemerintahan dan Pengurangan Kemiskinan UNDP Indonesia, usai peluncuran Buku Indeks Tata Kelola Hutan sembilan kabupaten di Provinsi Jambi 2014 bertempat di Ruang Pola Kantor Gubernur Jambi, Senin (22/12).


Disebutkan, kerusakan hutan di Provinsi Jambi dipicu pembukaan lahan perkebunan sawit yang membabi buta oleh perusahaan skala besar dan juga perusahaan pertambangan batu bara. Eksploitasi hutan di Provinsi Jambi untuk areal pertambangan dan perkebunan sawit di Provinsi Jambi merupakan penyebab semakin rusaknya hutan di Provinsi Jambi.

Disebutkan, guna memulihkan hutan di Provinsi Jambi, dibutuhkan biaya sebesar Rp 15,8 triliun. Namun dana itu belum termasuk biaya konflik hutan yang kerap terjadi di Jambi. 

Biaya tersebut meliputi kehilangan kesempatan, penanganan konflik dan biaya sosial. Atau kerugian Negara akibat tidak maksimalnya pendapatan pajak dan non pajak dari sektor kehutanan.

“Kita tidak bisa menunda lebih lama lagi. Laporan ini menunjukan semakin lama kita tidak memperbaiki tata kelola hutan maka biaya yang akan ditanggung oleh kita semua semakin besar," tambah Nurina.

Dalam acara itu, Gubernur Jambi Hasan Basri Agus memberikan Buku Laporan Indeks Tata Kelola Hutan 2014 yang disponsori oleh UNDP Indonesia dan USAID kepada sembilan bupati atau wakilnya agar menjadi bahan pengelolaan hutan yang lebih baik lagi pada masa mendatang.

Provinsi Jambi memiliki kawasan hutan dengan luas sekitar 2,1 juta Ha. Kawasan hutan tersebut merupakan 43 persen dari luas daratan Provinsi Jambi. Berdasarkan data statistik Dinas Kehutanan Jambi 2013, terdapat 44,31 persen atau 934.000 Ha kawasan hutan yang tidak berhutan.

“Jumlahnya bertambah luas jika memasukkan 883.000 Ha hutan yang berubah dari status hutan primer menjadi hutan sekunder, totalnya mencapai 86 persen,” ujar Nurina Widagdo.

Menurut Nurina Widagdo, kondisi kawasan hutan Jambi sudah berada di titik nadir. Oleh karena itu perlu perbaikan tata kelola hutan mulai dari Gubernur hingga Bupati. Dan Provinsi Jambi merupakan yang provinsi pertama di Indonesia yang mau meluncurkan buku indeks tata kelola hutan 2014.

Hasil pengukuran, indeks tata kelola hutan di Jambi pada tahun 2014 mendapatkan nilai rata-rata 33,37 dari perhitungan dengan skala 1 - 100. “Ini masih jauh dibawah standard. Harusnya nilai rata-ratanya di atas 50," kata Gubernur Jambi Hasan Basri Agus.

Diskusi Kajian Indeks Kehutanan Batal

Sementara awal peluncuran buku Indeks Tata Kelola Hutan sembilan kabupaten di Jambi 2014 membedah hasil kajian tata kelola hutan sembilan kabupaten di Jambi 2014 dSenin (22/12), juga dilanjutkan dengan diskusi hasil kajian indeks tata kelola  hutan sembilan kabupaten di Jambi 2014. 

Acara ini mengundang para pemangku kepentingan utama tata kelola hutan di sembilan kabupaten Jambi dan provinsi dengan jumlah total peserta diperkirakan sebanyak 60 peserta. Namun acara diskusi tersebut batal tanpa alasan dari pihak penyelenggara.

Sementara pelaksana kegiatan ini dilaksanakan oleh Dinas Kehutanan Provinsi Jambi bekerjasama dengan BP REDD+, Program SIAP II/USAID, PGA-UNDP.

Diskusi awalnya direncanakan akan dibawakan Moderator  DR. Efransjah, CEO WWF Indonesia dan presentasi hasil-hasil utama penilaian, implikasi kebijakan dan instrumen monitoring oleh Prof. Dr. Hariadi Kartodihardjo-Koord Panel Ahli PGA, tanggapan terhadap hasil indeks tata hutan sembilan kabupaten di Provinsi Jambi 2014.

Menurut presentasi hasil-hasil utama penilaian, implikasi kebijakan dan instrumen monitoring  oleh Prof. Dr. Hariadi Kartodihardjo mengatakan, Pemerintah Provinsi Jambi telah menargetkan pengurangan gas emisi rumah kaca sebesar lebih dari 55 Mega ton Co2e sampai tahun 2030 dari business as usual. Sebanyak 86 persen atau setara dengan 47,3 Mega ton CO2e berasal dari sumbangan sektor hutan dan lahan.

Ini berarti Pemerintah Provinsi Jambi menargetkan penurunan rata-rata 1,58 Mega ton CO2e per tahun dari sektor hutan dan lahan. Komitmen Pemerintah Provinsi Jambi ini diharapkan bisa berkontribusi terhadap upaya nasional mengurangi emisi gas rumah kaca sebanyak 26 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan dukungan masyarakat internasional.

Disebutkan, salah satu tantangan terberat untuk mencapai tujuan penurunan emisi dari sektor kehutanan, adalah menangani laju deforestasi dan degradasi hutan serta memastikan optimalisasi manfaat hutan bagi masyarakat dan keseimbangan ekosistem.

Juru Bicara UNDP Indonesia, Tomi Soetjipto menambahkan, tingginya laju deforestasi dan degradasi hutan inilah diyakinin oleh banyak pihak sebagai salah satu penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca di Indonesia. Kerusakan hutan menyebabkan hilangnya fungsi hutan menyimpan karbon dan menyerap karbondioksida dari berbagai aktivitas ekonomi manusia.

Rusaknya hutan juga berkontribusi secara signifikan atas menurunnya jasa lingkungan dari hutan dan sumber kehidupan dari masyarakat yang tergantung dengan hutan.

Kondisi hutan di Provinsi Jambi sangat dipengaruhi oleh struktur dan praktek pengelolaan hutan saat ini.  Pengelolaan hutan yang baik adalah yang menerapkan prinsip-prinsip tata kelola yang baik dalam setiap kegiatan pengelolaannya. 

Dengan demikian maka pengukuran indeks tata kelola hutan akan memberikan gambaran tentang kondisi hutan.  Thesisnya; pengelolaan hutan yang baik adalah yang menerapkan prinsip-prinsip tata kelola yang baik, dan bila prinsip-prinsip tata kelola yang baik diinternalisasi dalam setiap kegiatan pengelolaan hutan, pasti akan menghasilkan kondisi hutan yang baik. Dengan kata lain, hubungan antara tata kelola hutan dengan kondisi hutan memiliki hubungan yang positif.

Dengan dukungan Pemerintah Provinsi Jambi dan partisipasi para pihak, studi  tata kelola hutan dilakukan dengan tujuan mengukur kondisi tata kelola hutan di sembilan kabupaten se-Provinsi Jambi.

Menurut Tomi Soetjipto, penilaian ini menjadi sangat relevan dan strategis untuk memperbaiki kondisi hutan yang kritis. Relevan karena penilaian bisa memberikan kerangka aspek dan indikator penting bagi satu tata kelola yang baik. Kerangka ini menjadi panduan penting dan strategis bagi penguatan struktur dan praktik-praktik tata kelola hutan di Jambi.

Pada 2012 lalu, penilaian tata kelola juga pernah dilakukan di dua kabupaten Provinsi Jambi. Hasil pengukuran tata kelola hutan 2012 itu telah memberi gambaran bagi Pemerintah Provinsi Jambi untuk memperkuat rencana aksi tata kelola hutan di daerahnya.

Dalam studi kali ini, proses penilaian dilakukan di seluruh kabupaten di Provinsi Jambi. Prosesnya telah dimulai sejak April 2014 lalu dengan diskusi rencana pengukuran dan alat ukur. Alat ukur pada penilaian tata kelola hutan 2014 ini merupakan perbaikan dari alat ukur pada 2012. Instrumen ini buah hasil pengembangan secara multi pihak dan para ahli di tingkat nasional.

“Ada 32 indikator penilaian yang dipergunakan. Indikator itu dikelompokkan dalam empat aspek. Keempat aspek tersebut  aspek kepastian kawasan hutan, keadilan atas sumber daya hutan, transpransi dan integritas pengelolaan hutan serta kapasitas penegakan hukum,” ujar Tomi Soetjipto.

Penilaian akhir kemudian ditentukan oleh tim panel ahli yang berasal dari Jambi dan tingkat nasional. Penilaian ini berdasarkan data yang dikumpulkan oleh para petugas lapangan atau diskusi kelompok terfokus dengan para narasumber.

Ditambahkan, setelah melalui sejumlah tahapan, penilaian tata kelola hutan, lahan dan REDD+ di Indonesia berhasil dirampungkan oleh tim panel ahli. Sebagai bentuk akuntabilitas kepada para pemangku kepentingan penilaian dan publik lebih luas, Pemerintah Provinsi Jambi ingin mengkomunikasikan hasil-hasil kajian tata kelola hutan serta utilisasi hasil kajian sebagai rujukan reformasi kebijakan tata kelola hutan dan REDD+ dan penguatan kapasitas para aktor berbasis kajian yang komprehensif.

Disebutkan, tujuan kegiatan tersebut yakni mengkomunikasikanhasil kajianindeks tata kelola hutan Jambi disembilan kabupaten kepada pemangku kepentingan dan publik lebih luas sebagai bentuk akuntabilitas pengelolaan penilaian tata kelola hutanyang partisipatif.

“Kemudian mendiskusikan utilisasi hasil pengkajian tata kelola hutan 2014 sebagai rujukan reformasi kebijakan tata kelola hutan, bahan perencanaan pembangunan kehutanan dan ukuran kinerja perbaikan tata kelola hutan di Jambi,” kata Tomi Soetjipto. 

Sedangkan hasil yang ingin dicapai yakni para pemangku kepentingan terinformasi dengan baik hasil-hasil utamaindeks tata kelola hutan 2014 di Jambi yang dilakukan secara partisipatif.

Selanjutnya tanggapan dari para pemangku kepentingan terkait denganutilisasi hasil pengkajian tata kelola hutan 2014 dikumpulkan dan dipergunakan menjadi salah satu bahan penyusunan kegiatan pasca peluncuran buku indeks tata kelola hutan 2014.(*/lee)

Tidak ada komentar: