Dibutuhkan 128 Tahun Guna Pemulihan Kerusakan Hutan Jambi
Kondisi kawasan hutan di Provinsi Jambi sudah berada di
titik nadir. Oleh karena itu perlu perbaikan tata kelola hutan mulai dari
Gubernur hingga Bupati se Provinsi Jambi. Dan Provinsi Jambi merupakan provinsi
pertama di Indonesia yang mau meluncurkan buku indeks tata kelola hutan 2014.
R MANIHURUK, Jambi
Sementara biaya pemulihan kerusakan hutan di Provinsi Jambi
seluas 934.000 Ha membutuhkan biaya sekitar Rp15,8 triliun atau 1,3 miliar
dolar AS, ditambah waktu yang diperlukan sekitar 128 tahun.
Demikian dikatakan Nurina Widagdo, Kepala Unit Tata Kelola
Pemerintahan dan Pengurangan Kemiskinan UNDP Indonesia, usai peluncuran Buku
Indeks Tata Kelola Hutan sembilan kabupaten di Provinsi Jambi 2014 bertempat di
Ruang Pola Kantor Gubernur Jambi, Senin (22/12).
Disebutkan, kerusakan hutan di Provinsi Jambi dipicu
pembukaan lahan perkebunan sawit yang membabi buta oleh perusahaan skala besar
dan juga perusahaan pertambangan batu bara. Eksploitasi hutan di Provinsi Jambi
untuk areal pertambangan dan perkebunan sawit di Provinsi Jambi merupakan
penyebab semakin rusaknya hutan di Provinsi Jambi.
Disebutkan, guna memulihkan hutan di Provinsi Jambi,
dibutuhkan biaya sebesar Rp 15,8 triliun. Namun dana itu belum termasuk biaya
konflik hutan yang kerap terjadi di Jambi.
Biaya tersebut meliputi kehilangan kesempatan, penanganan
konflik dan biaya sosial. Atau kerugian Negara akibat tidak maksimalnya
pendapatan pajak dan non pajak dari sektor kehutanan.
“Kita tidak bisa menunda lebih lama lagi. Laporan ini
menunjukan semakin lama kita tidak memperbaiki tata kelola hutan maka biaya
yang akan ditanggung oleh kita semua semakin besar," tambah Nurina.
Dalam acara itu, Gubernur Jambi Hasan Basri Agus memberikan Buku
Laporan Indeks Tata Kelola Hutan 2014 yang disponsori oleh UNDP Indonesia dan
USAID kepada sembilan bupati atau wakilnya agar menjadi bahan pengelolaan hutan
yang lebih baik lagi pada masa mendatang.
Provinsi Jambi memiliki kawasan hutan dengan luas sekitar 2,1 juta Ha. Kawasan hutan tersebut merupakan 43 persen dari luas daratan Provinsi Jambi. Berdasarkan data statistik Dinas Kehutanan Jambi 2013, terdapat 44,31 persen atau 934.000 Ha kawasan hutan yang tidak berhutan.
Provinsi Jambi memiliki kawasan hutan dengan luas sekitar 2,1 juta Ha. Kawasan hutan tersebut merupakan 43 persen dari luas daratan Provinsi Jambi. Berdasarkan data statistik Dinas Kehutanan Jambi 2013, terdapat 44,31 persen atau 934.000 Ha kawasan hutan yang tidak berhutan.
“Jumlahnya bertambah luas jika memasukkan 883.000 Ha hutan
yang berubah dari status hutan primer menjadi hutan sekunder, totalnya mencapai
86 persen,” ujar Nurina Widagdo.
Menurut Nurina Widagdo, kondisi kawasan hutan Jambi sudah
berada di titik nadir. Oleh karena itu perlu perbaikan tata kelola hutan mulai
dari Gubernur hingga Bupati. Dan Provinsi Jambi merupakan yang provinsi pertama
di Indonesia yang mau meluncurkan buku indeks tata kelola hutan 2014.
Hasil pengukuran, indeks tata kelola hutan di Jambi pada
tahun 2014 mendapatkan nilai rata-rata 33,37 dari perhitungan dengan skala 1 -
100. “Ini masih jauh dibawah standard. Harusnya nilai rata-ratanya di atas
50," kata Gubernur Jambi Hasan Basri Agus.
Diskusi Kajian Indeks Kehutanan Batal
Sementara awal peluncuran buku Indeks Tata Kelola Hutan
sembilan kabupaten di Jambi 2014 membedah hasil kajian tata kelola hutan
sembilan kabupaten di Jambi 2014 dSenin (22/12), juga dilanjutkan dengan diskusi
hasil kajian indeks tata kelola hutan
sembilan kabupaten di Jambi 2014.
Acara ini mengundang para pemangku kepentingan utama tata
kelola hutan di sembilan kabupaten Jambi dan provinsi dengan jumlah total
peserta diperkirakan sebanyak 60 peserta. Namun acara diskusi tersebut batal
tanpa alasan dari pihak penyelenggara.
Sementara pelaksana kegiatan ini dilaksanakan oleh Dinas
Kehutanan Provinsi Jambi bekerjasama dengan BP REDD+, Program SIAP II/USAID,
PGA-UNDP.
Diskusi awalnya direncanakan akan dibawakan Moderator DR. Efransjah, CEO WWF Indonesia dan
presentasi hasil-hasil utama penilaian, implikasi kebijakan dan instrumen
monitoring oleh Prof. Dr. Hariadi Kartodihardjo-Koord Panel Ahli PGA, tanggapan
terhadap hasil indeks tata hutan sembilan kabupaten di Provinsi Jambi 2014.
Menurut presentasi hasil-hasil utama penilaian, implikasi
kebijakan dan instrumen monitoring oleh
Prof. Dr. Hariadi Kartodihardjo mengatakan, Pemerintah Provinsi Jambi telah
menargetkan pengurangan gas emisi rumah kaca sebesar lebih dari 55 Mega ton
Co2e sampai tahun 2030 dari business as usual. Sebanyak 86 persen atau setara
dengan 47,3 Mega ton CO2e berasal dari sumbangan sektor hutan dan lahan.
Ini berarti Pemerintah Provinsi Jambi menargetkan penurunan
rata-rata 1,58 Mega ton CO2e per tahun dari sektor hutan dan lahan. Komitmen
Pemerintah Provinsi Jambi ini diharapkan bisa berkontribusi terhadap upaya
nasional mengurangi emisi gas rumah kaca sebanyak 26 persen dengan upaya
sendiri dan 41 persen dengan dukungan masyarakat internasional.
Disebutkan, salah satu tantangan terberat untuk mencapai
tujuan penurunan emisi dari sektor kehutanan, adalah menangani laju deforestasi
dan degradasi hutan serta memastikan optimalisasi manfaat hutan bagi masyarakat
dan keseimbangan ekosistem.
Juru Bicara UNDP Indonesia, Tomi Soetjipto menambahkan, tingginya
laju deforestasi dan degradasi hutan inilah diyakinin oleh banyak pihak sebagai
salah satu penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca di Indonesia. Kerusakan
hutan menyebabkan hilangnya fungsi hutan menyimpan karbon dan menyerap
karbondioksida dari berbagai aktivitas ekonomi manusia.
Rusaknya hutan juga berkontribusi secara signifikan atas
menurunnya jasa lingkungan dari hutan dan sumber kehidupan dari masyarakat yang
tergantung dengan hutan.
Kondisi hutan di Provinsi Jambi sangat dipengaruhi oleh
struktur dan praktek pengelolaan hutan saat ini. Pengelolaan hutan yang baik adalah yang
menerapkan prinsip-prinsip tata kelola yang baik dalam setiap kegiatan
pengelolaannya.
Dengan demikian maka pengukuran indeks tata kelola hutan
akan memberikan gambaran tentang kondisi hutan.
Thesisnya; pengelolaan hutan yang baik adalah yang menerapkan
prinsip-prinsip tata kelola yang baik, dan bila prinsip-prinsip tata kelola
yang baik diinternalisasi dalam setiap kegiatan pengelolaan hutan, pasti akan
menghasilkan kondisi hutan yang baik. Dengan kata lain, hubungan antara tata
kelola hutan dengan kondisi hutan memiliki hubungan yang positif.
Dengan dukungan Pemerintah Provinsi Jambi dan partisipasi
para pihak, studi tata kelola hutan
dilakukan dengan tujuan mengukur kondisi tata kelola hutan di sembilan
kabupaten se-Provinsi Jambi.
Menurut Tomi Soetjipto, penilaian ini menjadi sangat relevan
dan strategis untuk memperbaiki kondisi hutan yang kritis. Relevan karena
penilaian bisa memberikan kerangka aspek dan indikator penting bagi satu tata
kelola yang baik. Kerangka ini menjadi panduan penting dan strategis bagi
penguatan struktur dan praktik-praktik tata kelola hutan di Jambi.
Pada 2012 lalu, penilaian tata kelola juga pernah dilakukan
di dua kabupaten Provinsi Jambi. Hasil pengukuran tata kelola hutan 2012 itu
telah memberi gambaran bagi Pemerintah Provinsi Jambi untuk memperkuat rencana
aksi tata kelola hutan di daerahnya.
Dalam studi kali ini, proses penilaian dilakukan di seluruh
kabupaten di Provinsi Jambi. Prosesnya telah dimulai sejak April 2014 lalu
dengan diskusi rencana pengukuran dan alat ukur. Alat ukur pada penilaian tata
kelola hutan 2014 ini merupakan perbaikan dari alat ukur pada 2012. Instrumen
ini buah hasil pengembangan secara multi pihak dan para ahli di tingkat
nasional.
“Ada 32 indikator penilaian yang dipergunakan. Indikator itu
dikelompokkan dalam empat aspek. Keempat aspek tersebut aspek kepastian kawasan hutan, keadilan atas
sumber daya hutan, transpransi dan integritas pengelolaan hutan serta kapasitas
penegakan hukum,” ujar Tomi Soetjipto.
Penilaian akhir kemudian ditentukan oleh tim panel ahli yang
berasal dari Jambi dan tingkat nasional. Penilaian ini berdasarkan data yang
dikumpulkan oleh para petugas lapangan atau diskusi kelompok terfokus dengan
para narasumber.
Ditambahkan, setelah melalui sejumlah tahapan, penilaian
tata kelola hutan, lahan dan REDD+ di Indonesia berhasil dirampungkan oleh tim
panel ahli. Sebagai bentuk akuntabilitas kepada para pemangku kepentingan
penilaian dan publik lebih luas, Pemerintah Provinsi Jambi ingin
mengkomunikasikan hasil-hasil kajian tata kelola hutan serta utilisasi hasil
kajian sebagai rujukan reformasi kebijakan tata kelola hutan dan REDD+ dan penguatan
kapasitas para aktor berbasis kajian yang komprehensif.
Disebutkan, tujuan kegiatan tersebut yakni
mengkomunikasikanhasil kajianindeks tata kelola hutan Jambi disembilan
kabupaten kepada pemangku kepentingan dan publik lebih luas sebagai bentuk
akuntabilitas pengelolaan penilaian tata kelola hutanyang partisipatif.
“Kemudian mendiskusikan utilisasi hasil pengkajian tata
kelola hutan 2014 sebagai rujukan reformasi kebijakan tata kelola hutan, bahan
perencanaan pembangunan kehutanan dan ukuran kinerja perbaikan tata kelola
hutan di Jambi,” kata Tomi Soetjipto.
Sedangkan hasil yang ingin dicapai yakni para pemangku
kepentingan terinformasi dengan baik hasil-hasil utamaindeks tata kelola hutan
2014 di Jambi yang dilakukan secara partisipatif.
Selanjutnya tanggapan dari para pemangku kepentingan terkait
denganutilisasi hasil pengkajian tata kelola hutan 2014 dikumpulkan dan
dipergunakan menjadi salah satu bahan penyusunan kegiatan pasca peluncuran buku
indeks tata kelola hutan 2014.(*/lee)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar