Perumahan Orang Rimba Bantuan Depsos RI di Muaro Kilis, Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi yang ditinggalkan Orang Rimba. Foto IST Willy Marlupi |
Perumahan Orang Rimba Bantuan Depsos RI di Muaro Kilis, Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi yang ditinggalkan Orang Rimba. Foto IST Willy Marlupi |
Oleh : Willy
Marlupi
Sepuluh
dari dua belas ke-Tumenggungan Orang Rimba kini hidup di luar rumahnya “Bukit
12”. Mereka terpaksa hidup di pinggir-pinggir desa, di sepanjang jalan lintas,
dan di areal-areal kerja perusahaan-perusahaan.
Ada
yang mengemis di jalan raya, ada yang ke kabupaten-kota menjadi peminta-minta.
Ada yang ke areal perusahaan yang kemudian ‘memajak’ kendaraaan yang sedang
lewat dengan alasan yang terkadang menurut orang luar susah untuk dimengerti.
Orang
Rimba yang selama ini dikenal dengan kearifan lokal dan berpegang teguh pada adat
istiadat seolah-olah memudar. Resistensinya kemudian muncul. Kerap bentrok
dengan masyarakat desa dan kerap menjadi korban karena berhadapan dengan
kelompok masyarakat yang lebih dominan. Pelaku usaha yang tempatnya diduduki Orang
Rimba menjadi serba salah, karena Orang Rimba diangap sesuatu yang punya
‘imunitas dan sangat sensitif’.
Jika
dilihat dari keadaatannya, berpindahnya Orang Rimba disebabkan oleh beberapa
hal. Pertama, karena masih menjalani tradisi ‘melangun’ yaitu untuk
menghilangkan rasa sedih akibat anggota keluarga meninggal dunia. Kedua, menghindari
penyakit yang sedang mewabah Ketiga, kepentingan berladang dan mencari hasil
hutan non kayu dan Keempat, menghindari perselisihan atau musuh.
Kenapa
Orang Rimba keluar dari Bukit 12? Kenyataan di atas melahirkan pertanyaan dan
rasa penasaran banyak pihak, sesungguhnya apa yang terjadi di Bukit Duabelas?
apakah ada masalah dengan kehidupan Orang Rimba di sana? Apakah sumberdaya di Bukit
Duabelas tidak mencukupi lagi kebutuhan hidup mereka?
Sebelum
menjawab pertanyaan tersebut mari kita lihat kondisi terkini Orang Rimba Bukit
12
Tumenggung
Ngamal dan Ngirang, kelompok ini dari kawasan Sungai Kejasung Kecil, wilayah Bukit 12, Kabupaten Batanghari. Mereka meninggalkan
Bukit 12 sudah dua tahun dan masuk ke areal kerja Perusahaan HTI di Kabupaten Batanghari.
“Kami
di sini baru empat hari, kami ke sini mencari buah semangkuk dan berburu
tringgiling, kami keluar Bukit 12 karena wilayah itu sudah jadi hutan lindung Taman
Nasional (maksudnya TNBD-Taman Nasional Bukit Duabelas). Sejak itu jalan di sana
tak pernah diperbaiki, rusak parah. “Kami tak bisa mengeluarkan hasil hutan
atau kebun padahal kebun-kebun karet kami sudah ada yang bisa dipotong,” begitulah
inti penjelasan Tumenggung Ngamal dan Tumenggung Ngirang menjawab pertanyaan
kenapa meninggalkan wilayahnya, Kejasung Kecil, Bukit 12.
Tumenggung
Lidah Pembangun
Kelompok
ini diketahui masih satu kerabat dengan Kelompok Tumenggung Ngamal dan kelompok
Tumenggung Ngirang. Kelompok ini juga sudah 3 tahun meninggalkan kampung
halamannya Kejasung Kecil Bukit 12.
Kini
mendiami areal kerja perusahaan HTI Desa
Muaro Killis, Lubuk Mandarsah dan Desa Suo-Suo, Kabupaten Tebo. Pola hidupnya bisa
dikatakan sama dengan Kelompok Ngamal dan Ngirang.
Mereka
masih mencari hasil hutan non kayu, tinggal di pinggir koridor perusahaan, dan
masih kurang terbuka dengan dunia luar atau beberapa program pembangunan,
rentan berbenturan dengan masyarakat desa ataupun pengguna jalan yang menempuh
koridor perusahaan.
Tumenggung:
Hasan, Buyung dan Bujang Kabut
Ketiga
kelompok ini masih satu kekerabatan dengan kelompok Tumenggung Tupang yang
pemanfaatan lahannya satu hamparan dengan kelompok Tumenggung Lidah Pembangun
di wilayah Muaro Killis.
Baru-baru
ini (8/14/2014) kelompok Tumenggung Bujang Kabut menjadi pusat perhatian karena
insiden bentrokan dengan beberapa desa di Kecamatan Tebo Ulu, Kabupaten Tebo. Hubungan
kekerabatan kelompok ini dengan Orang Rimba Bukit 12 terjalin dari hubungan Smendo-menyemendo
atau tali perkawinan.
Khususnya
kelompok Tumenggung Hasan dan kelompok Tumenggung Buyung yang diketahui punya
hubungan Smendo dengan kelompok Orang Rimba Air Hitam Bukit 12, Kabupaten
Sarolangun. Begitu juga dengan kelompok Cukai yang sudah cukup lama tinggal di Semerantihan
dan sekarang bergabung dengan kelompok Tumenggung Hasan.
Karena
adanya hubungan perkawinan antara kelompok ini otomatis terbangun interaksi
yang cukup kuat antara Orang Rimba di wilayah bukit 12 ke wilayah Orang Rimba
Bukit 30 sekitarnya.
Tumenggung:
Majid dan Betaring
Kelompok
Majid masih ada kekerabatan dengan kelompok Tumenggung Jelitai Kejasung Besar
Bukit 12, juga dengan beberapa kelompok yang ada di wilayah Sungai Makekal.
Kini
mereka tinggal di pinggir Desa Pematang Kabau tepatnya di ujung Jalan Singosari,
Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun. Kelompok Tumenggung Majid pernah
mengalami benturan serius dengan Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) dan
Balai Taman Nasional Bukit Duabelas (BTNBD) karena implikasi pelaksanaan
kebijakan Taman Nasioanal.
Sosialisasi
aturan TNBD yang melarang berladang dan berburu menambah tebalnya persoalan dan
memaksa Orang Rimba Bukit 12 melaporkan kasus-kasus tersebut kepada Komnas HAM
dan DPR RI di Jakarta (2007).
Kelompok
Tumenggung Majid pernah beberapa kali menerima program perumahan yang dilakukan
oleh departemen sosial, begitu juga dengan kelompok Bepak Beraden dan kelompok Air
Panas di wilayah Air Hitam.
Seperti
biasa pembangunan proyek perumahan oleh Depsos rata-rata adalah eks itu, atau
dibangun di luar wilayah pemanfaatan komunitas dan tidak diikuti dengan
penyediaan lahan seperti program transmigrasi pada umumnya, sehingga tidak bertahan
lama karena dan tidak adanya pemberdayaan yang berkelanjutan.
Tumenggung
Ngadap
Kelompok
ini berada di Sungai Sungkai yang masuk dalam Perluasan TNBD Kabupaten Tebo. Sekarang
mereka terpaksa tinggal di daerah lancar tiang wialayah Desa Tanah Garo.
Kelompok
ini dengan kelompok Depati Laman Senjo, Depati Bepak Ngarap dan kelompok Ngukir
(mantan Tumenggung Makekal hilir) adalah kelompok-kelompok yang belakangan
diketahui sering berkonflik dengan masyarakat desa sekitarnya soal pemanfaatan
lahan, juga berkonflik dengan pembangunan kebun sawit perusahaan yang sedang
berjalan di wilayah tersebut.
Rata-rata
kelompok Orang Rimba di wilayah ini sudah hidup dari hasil perkebunan karet
yang mereka tanam sendiri. Dan bisa dikatakan bahwa kelompok-kelompok di wilayah
ini adalah kelompok yang paling dulu mengenal dan menanam kebun karet di wilayah
Bukit 12.
Bahkan
di kelompok Depati Bepak Ngarap, Mendiang Wakil Tuha, ada tanaman karet yang
sudah berumur lebih delapan puluh tahun.
Akses
ke kelompok ini (dulu) hanya bisa dilakukan melalui Desa Tanah Garo dan Desa
Tambun Arang dengan menelusuri Sungai Bernai ataupun Sungai Makekal, sejak
adanya pembukaan transmigrasi di wilayah tersebut (1980-an) akses ke wilayah
ini lebih dekat dari Desa Sungai Jernih atau Trans SPA Tanah garo.
Beberapa
hari yang lalu kelompok Orang Rimba di sini juga mengalami bentrokan serius
dengan beberapa masyarakat desa sekitarnya, sekalipun hanya disebabkan oleh
persolan kecil seperti keserempet motor.
Tumenggung
Celitai Makekal
Makekal
Tengah dan Hulu kini dipimpin oleh Tumenggung Celitai atau yang biasa dipanggil
dengan sebutan Bepak Kebelan. Wilayah Makekal Tengah dan Hulu berbatasan
langsung dengan pemanfaatan lahan masyarakat Desa Rantau Limau Manis dan Rantau
Panjang sekitarnya.
Persoalan
di wilayah ini selain konflik lahan juga mengeluhkan tidak ada perbaikan jalan
yang sudah sangat lama rusak parah. Saking hancurnya jalan di wilayah ini upah
untuk angkut satu pikul karet mencapai Rp 200 ribu.
Hal
ini sudah beberapa kali disampaikan kepada Bupati Tebo untuk ditindaklanjuti. Namun
sampai dengan kini tidak terealisasi karena rute jalan tersebut masuk ke dalam
perluasan taman nasional di tahun 2000.
Kini
mau tidak mau, suka tidak suka, Orang Rimba di wilayah ini harus mengeluarkan
upah mahal agar karet mereka terjual ke Desa SPA Tanah Garo atau Desa SPG Hitam
ulu.
Tumenggung:
Maritua dan Tumenggung Nyenong
Dua
kelompok ini berasal dari wilayah Terap Bukit Duabelas, Kec Bathin XXIV Kabupaten
Batanghari. Punya kekerabatan dengan kelompok-kelompok Orang Rimba Makekal
karena juga hubungan Smendo-Mnyemendo.
Saat
ini berada di lahan Perusahaan HTI yang berada di Kecamatan Pauh Kabupaten Sarolangun
yang secara posisi berada di wilayah timur perluasan TNBD. Jika dilihat dari
pola hidupnya kelompok ini hampir sama dengan kelompok Tumenggung Ngamal,
Ngirang dan Kelompok Tumenggung Lidah Pembangun.
Sering
berpindah-pindah karena belum ada kepastian ekonomi seperti kebun yang sudah
menghasilkan. Kelompok ini juga sangat jarang diakses pemerintah karena sifatnya
yang masih tertutup dan akses ke lokasi mereka yang rusak parah.
Tumenggung
Jelitai
Kelompok
ini berasal dari Kejasung Besar Bukit 12 Kabupaten Batanghari. Seperti yang
sudah disampaikan di atas kelompok Jelitai masih kekerabatan dengan kelompok Tumenggung
Majid di Air Hitam dan kelompok-kelompok di wilayah Makekal.
Dua
tahun terakhir ada proyek perumahan dari Departemen Sosial sebanyak 50 unit
rumah di kelompok ini. Tapi perumahan tersebut tak lama ditinggalkan karena dibangun
di desa Padang Kelapo yang secara geografis bukan wilayah pemanfaatan mereka.
Kelompok
ini sekarang intens di Desa Sungai Rengas karena sudah membentuk organisasi
sendiri, mungkin dengan begitu mereka lebih merasa mandiri dalam mencapai
tujuan yang mereka perjuangkan.
Jauh
sebelum menerima program perumahan dan membentuk organisasinya sendiri,
kelompok ini hidup dan berkembang di wilayahnya Kejasung Besar Bukit 12 yang
juga masuk dalam perluasan taman nasional tahun 2000.
Padahal
di wilayahnya Kejasung Besar Bukit Duabelas sudah banyak kebun karet mereka yang
sudah produksi atau menghasilkan, namun karena minimnya akses terpaksa memilih
hidup di luar wilayahnya dengan bekerja kasar atau serabutan.
.
Histori
Taman Nasional Bukit Duabelas
Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor
258/Kpts-II/2000, tanggal 23 Agustus 2000 yang merubah fungsi Hutan Produksi, Areal Penggunaan Lain, Suaka
Alam dan Pelestarian Alam/Cagar Biosfer menjadi Taman Nasional Bukit Duabelas
(TNBD) seluas 60.500 hektare yang terletak di tiga kabupaten, yaitu Kabupaten
Batanghari (65%), Kabupaten Sarolangun (15%), dan Kabupaten Tebo (20%) di
Provinsi Jambi.
Perubahan
status wilayah Bukit 12 menjadi taman nasional sejak awal sudah menuai kontroversi,
karena di dalam wilayah Bukit 12 yang menjadi taman nasional hidup 60 kelompok
Orang Rimba yang secara kultur berladang dan berburu. Hal demikian tentunya sangat
bertolak belakang dengan ketentuan dan prinsip taman nasional dalam melindungi
flora dan fauna di dalam kawasan.
Sistem
zonasi yang melekat dalam rencana pengelolaan taman nasional menjadi sulit
berjalan karena disebabkan oleh kultur Orang Rimba sendiri, dan sistem zonasi
juga ada rencana memindahkan kelompok-kelompok Orang Rimba ke zona pemanfaatan
yang berada di pinggir taman nasional, sedangkan masing-masing kelompok Orang
Rimba sudah memiliki wilayah kelola, ketentuan adat dan wilayah pemanfaatannya
sendiri.
Pantauan
Komnas HAM di Bukit 12
Berdasarkan
Laporan Akhir Pemantauan Dugaan Pelanggaran Hak Masyarakat Adat Orang Rimba Maret
2007 yang dilakukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KomnasHam), tercatat
duabelas pelanggaran akibat kebijakan dan perluasan TNBD.
Pertama,
Hak Kelompok khusus, di mana pemerintah secara umum belum memberikan perlakukan
dan perlindungan lebih terhadap Orang Rimba sebagai kelompok khusus dalam
kebijakan pembangunan.
Kedua,
Hak terhadap tanah ulayat, di mana ada upaya dari kebijakan TNBD mengurangi dan
atau tidak mengakui hak ulayat Orang Rimba. Ketiga, Hak hidup secara
bemartabat, di mana telah terjadi pembatasan, pengurangan, dan pelarangan
terhadap aktivitas kehidupan Orang Rimba sebagai akibat kebijakan TNBD.
Keempat,
Hak atas kesehatan, di mana pemerintah tidak menyediakan sarana dan prasarana
kesehatan yang layak, mampu diakses, dan dapat diterima Orang Rimba. Kelima,
Hak atas pendidikan, di mana pemerintah tidak menyediakan sarana dan prasarana
pendidikan yang layak, mampu diakses, dan dapat diterima Orang Rimba.
Keenam,
Hak atas informasi, di mana pemerintah tidak memberikan dan menyediakan informasi
yang cukup, adil, dan transparan dalam kebijakan TNBD secara umum. Ketujuh, Hak
atas pengembangan diri.
Dimana
program pemerintah untuk memukimkan Orang Rimba di desa telah menyebabkan
kehidupan Orang Rimba tidak berkembang, bahkan sebaliknya menyebabkan
pengembangan diri Orang Rimba terhambat.
Kedelapan,
Hak atas rasa aman, di mana telah terjadi pelanggaran hak atas rasa aman, di mana
telah terjadi ancaman dan pelarangan aktivitas hidup Orang Rimba, perusakan hak
milik yang menyebabkan ketenangan hidup Orang Rimba terusik dan terganggu.
Kesembilan,
Hak atas kepemilikan, di mana telah terjadi perusakan dan pemusnahan atas hak
milik Orang Rimba, maupun upaya dari kebijakan taman nasional yang berpotensi
menghambat, membatasi, dan mengurangi hak milik Orang Rimba.
Kesepuluh,
Hak untuk berpartisipasi, di mana pemerintah tidak membuka dan tidak mengajak
partisipasi Orang Rimba dalam perencanaaan, perumusan, dan implementasi
kebijakan taman nasional, khususnya atas penyusunan buku rencana pengelolaan taman
nasional.
Kesebelas,
Hak atas status kewarganegaraan, di mana pemerintah tidak memberikan hak berupa
akta kelahiran bagi setiap anak Orang Rimba yang lahir sebagai bagian dari
perlindungan dan pengakuan atas keberadaan Orang Rimba.
Dan
Keduabelas, Hak atas lingkungan hidup, di mana lingkungan alam sebagai habitat
hidup dan sumberdaya penghidupan Orang Rimba telah rusak, di antaranya oleh
kebijakan hak pengusahaan hutan dan ekspansi perkebunan sawit.
Namun,
sampai saat ini temuan dari Komnas HAM seperti tidak serius ditindaklanjuti
oleh Pemerintah yang akhirnya membuat kehidupan Komunitas Orang Rimba semakin
terpinggirkan. Persoalan-persoalan yang terjadi pada kehidupan Orang Rimba pun
seolah terabaikan. (Penulis Adalah Pendiri Sokola Rimba, Jambi_Indonesia)HP
085279979376
Tidak ada komentar:
Posting Komentar