Misalnya seperti lirik Lagu “Siantar Kita Punya” : Sai tudia ma luluan, Sanggartoba bahen huruan. Asa boi pangarahutan, Tapalua sotung habang. Tu Siantar ma nidioran, Dongan sapartinaonan. Marsiajar kejujuran, Laho modal kehidupan.
Reff: Siantar Kita Punya, Simalungun Sekitarnya. Siantar Kita Punya, Simalungun Sekitarnya. I ma da tahe jaga ma hita be, Molo sega pargaulan. Ai rap susah do sasude, Molo tung adong dihita parsoalan. Lebih baiklah menanamkan, Amana man Kota Siantar.
Dua Judul lagu diatas ciptaan Ciptaan Freddy Tambunan dan Ciptaan Anton Siallagan itu salah satu dari sekian banyak fakta bahwa Kota Pematangsiantar sbagai miniatur Indonesia di Pulau Sumatera. Berbagai etnis hidup berdampingan di Kota Raja Sangnawaluh Damanik yang Bermotto “Sapanganbai Manoktok Hitei” (Hidup Bergotong Royong).
“Kena pancingannyaa. Ini yang diinginkan pendemo biar viral. Mereka demo di lapangan ramai-ramai tidak ada yang menghiraukan. Hanya panggil wartawan untuk meliput aksi mereka. Kami saja di Siantar seharian ini adem ayem,” begitu kesan seorang warga Pematangsiantar dalam pembicaraan sebuah Group WhatsApp alumni menanggapi berita viral 4 orang laki-laki sebagai tenaga pemulasaran jenazah RSUD Jasamen Saragih, PematangSiantar menjadi tersangka penistaan agama.
Empat petugas medis Covid-19 itu disebut-sebut memandikan jenazah wanita yang suspek covid19. Secara agama Islam, ini tidak diperbolehkan. Hal itupun dibahas di salah salah satu Stasion Televisi Swasta, Rabu (23/2/2021).
Kata Jasmen Nadeak, Kuasa Hukum tersangka, bahwa 4 tenaga medis khusus Covid-19 itu tidak tahu soal fatwa MUI. “Mereka bekerja sesuai SOP. Mereka ber empat bukan memandikan tetapi menyemprotkan desinfektan,” ujar Jasmen Nadeak.
Pada program Live TV ini, Kyai Cholis dari MUI, berharap mereka berdamai saja. Namun kini perkara tersebut sudah sempat berproses di Kejaksaan Negeri Pematangsiantar.
Jika merujuk pada jenis dan hierarki sebagaimana tersebut dalam UU 12/2011, maka kedudukan Fatwa MUI bukan merupakan suatu jenis peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Menurut Ainun Najib Dosen Fakultas Syariah Institut Agama Islam Ibrahimy dalam Jurnal yang berjudul Fatwa Majelis Ulama Indonesia Dalam Perspektif Pembangunan Hukum Responsif (hal. 375-375) sebagaimana yang kami sarikan, kedudukan MUI dalam ketatanegaraan Indonesia sebenarnya adalah berada dalam elemen infra struktur ketatanegaraan, sebab MUI adalah organisasi Alim Ulama Umat Islam yang mempunyai tugas dan fungsi untuk pemberdayaan masyarakat/umat Islam, artinya MUI adalah organisasi yang ada dalam masyarakat, bukan merupakan institusi milik negara atau merepresentasikan negara.
Lebih lanjut dijelaskan, artinya fatwa MUI bukanlah hukum negara yang mempunyai kedaulatan yang bisa dipaksakan bagi seluruh rakyat, fatwa MUI juga tidak mempunyai sanksi dan tidak harus ditaati oleh seluruh warga negara.
Sebagai sebuah kekuatan sosial politik yang ada dalam infra struktur ketatanegaraan, Fatwa MUI hanya mengikat dan ditaati oleh komunitas umat Islam yang merasa mempunyai ikatan terhadap MUI itu sendiri. Legalitas fatwa MUI pun tidak bisa dan mampu memaksa harus ditaati oleh seluruh umat Islam.
Sementara Moh Mahfud MD, Guru Besar Hukum Tata Negara, Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia 2008-2013 juga mempunyai pendapat serupa dalam artikel yang berjudul Fatwa MUI dan Living Law Kita yang kami akses dari Media Indonesia mengatakan bahwa dari sudut konstitusi dan hukum, fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak mengikat dan tidak bisa dipaksakan melalui penegak hukum.
Masih dalam pembicaraan di Group WhatsApp alumni Pemuda ini, ada berpendapat bahwa Kota Pematangsiantar “kecolongan”. Namun hal itu langsung ditegaskan oleh warga Siantar ini “ngak juga ah. Biasa aja. Media hanya bisa membesar-besarkan. Buktinya kami disini biasa saja tidak terpengaruh dengan segelintir orang demo di lapangan itu,” ujarnya menyankinkan kalau masyarakat Kota Pematangsiantar itu sungguh toleran.
“Semoga segera berdamai dan kasusnya ditarik. Sayapun heran. Case di Kota Siantar bisa bikin heboh seNusantara sampai di bahas khusus di TV One. Saya heran, sejak kapan pasien meninggal di rumah sakit dimandikan pegawai rumah sakit,” demikian dimensi percakapan dalam group itu.
Jangan Ada Bom Kebencian
Sementara Ketua Sinode Inang GKPS Pusat, St Novita Metty Purba lewat laman media sosial miliknya merespon sebuah postingan kata bijak dari Imam Nakhai dari Situbondo.
“Teringat kaka punya beberapa sahabat bijak beda kepercayaan juga di sana Ver, aku rindu mereka? Kami di Siantar juga sedang sharingkan dan gumuli doa kasus ini. Bahkan berniat duduk bersama dengan pihak-pihak yang kita anggap sangat memahami Ver, thanks dek?,” kata Novita Metty Purba merespon postingan Veryanto Sitohang.
“Kita sangat sepaham dengan Imam Nakhai. Oknum-oknum yang bisa melakukan ini adalah mereka yang memiliki rasa iri dengki, sirik dihati dan dikehidupan mereka, pikiran mereka sempit, dan terkotak oleh bom kebencian yang mereka tanam dan pupuk sendiri. Kepongahan dan kuat gagah mereka semata. Dan semua itu karena kekurangpahaman ajaran, ketidak mengertian, tanpa kasih dan logika, kebenaran dan kebaikan,” ujar Inang Novita Metty Purba menambahkan.
“Coba saja, apa mereka pernah survey. Di seluruh Indonesia, bahkan seluruh dunia, hal-hal itu tidak satupun pernah terjadi di rumah sakit atau klinik atau dimanapun pun mungkin bisa terjadi. Terus bagaimana tentang dokter mengoperasi pasien yang tidak seiman, yang tidak sejenis dan tidak seiman,” tambahnya.
“Ver, kita baca saja seberapa luas pemikiran orang-orang seperti itu. Seberapa paham mereka tentang semuanya itu, dan seberapa dalam mereka mengerti ajaran Kasih yang Sang Pencipta inginkan?,” kata Novita Metty Purba.
Inang Novita Metty Purba juga menuliskan sebuah kata bijak penuh kasih dalam menyikapi berita viral Kota Pematangsiantar tersebut.
“Kala kita cari damai, kekalutan terasa semakin besar. Kala kita cari pemahaman, kadang kebingungan semakin dalam. Yang pasti yang tersurat akan digenapi. Doa dan kasih akan mengatasi. Damai sejahtera di bumi,” ujar Novita Metty Purba yang merasa optimistik.
Jaksa Hentikan Penuntutan
Sementara Ketum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Perkumpulan Horas Bangso Batak (HBB) Lamsiang Sitompul SH MH minta kejaksaan hentikan penuntutan terhadap tenaga medis di Pematangsiantar yang dituduhkan menista agama.
Kata Lamsiang Sitompul SH MH, yang juga Advokad ini meminta kepada kejaksaan untuk menghentikan penuntutan terhadap perkara yang disangkakan kepada tenaga kesehatan di Kota Pematangsiantar. Hukum tidak semestinya tunduk kepada tekanan massa.
"Menurut saya, mereka (tenaga medis,red) tidak dapat ditersangkakan. Karena menurut saya disana tidak ada pelanggaran, dan kalaupun ada pelanggaran bukan penistaan agama. Mungkin pelanggaran kode etik yang sanksinya berupa teguran, bisa berupa pembinaan atau sejenisnya. Tapi pasal penistaan agama ini saya pikir terlalu dipaksakan," kata Lamsiang menanggapi perkara yang merundung empat tenaga kesehatan (nakes) yang kini dijadikan tersangka dan ditahan sebagai tahanan kota.
Sebagaimana diketahui empat pria tenaga kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr Djasamen Saragih Pematangsiantar, Sumut, ditetapkan sebagai tersangka. Ke empatnya dijerat kasus penistaan agama usai memandikan jenazah wanita di ruang forensik di rumah sakit milik pemerintah daerah itu pada 20 September 2020.
Menurut Lamsiang, kronologis kejadian sudah jelas bahwa ada kondisi emergency setelah almarhumah meninggal karena Covid telah diberitahu kepada suaminya tidak ada tenaga kesehatan perempuan untuk memandikan jenazah.
"Kepada suami almarhumah diminta untuk mencari orang yang bisa memandikan jenazah perempuan namun tidak ada. Kemudian suaminya membuat surat pernyataan bahwa terhadap istri bersedia dimandikan oleh tenaga kesehatan yang ada, tetapi entah mengapa kemudian dia keberatan dan melapor," ujarnya.
Seruan Denny Siregar
Pegiat medsos Denny Siregar juga memberikan narasi tentang kasus di Pematangsiantar tersebut. Dia menuliskan “Kisah Aneh Dari Pematangsiantar”. Berikut dibawah ini narasi Denny Siregar yang dikutip dari laman media sosial miliknya.
Ada peristiwa yang aneh di Pematang Siantar, Sumatera Utara. Seorang wanita meninggal karena covid di RSUD Djasamen Saragih. Mungkin karena kekurangan petugas wanita, akhirnya jenazah dimandikan oleh petugas khusus Covid yang laki-laki. Proses penanganan jenazah covid memang berbeda dengan jenazah biasa, karena dikhawatirkan penyakit akan menular jika tidak ditangani khusus.
Inilah yang jadi persoalan. Suami almarhumah gak terima karena yang memandikan jenazah istrinya bukan muhrim dan lapor ke polisi. Bukan hanya lapor, demo demi demo juga dilakukan untuk mendesak polisi supaya memenjarakan para nakes itu.
Polisi pun konsultasi ke MUI sana. Hasil konsultasi dari MUI, akhirnya ke 4 nakes pria itu jadi tersangka karena pasal penistaan agama. Saya heran, apa hubungannya ya dengan penistaan agama? Apa semudah itu membelokkan persoalan ke penistaan agama ?
Dari sini terlihat betapa karetnya pasal itu, pasal yang sudah memakan korban banyak orang. Dan pasal itu sekarang diarahkan ke tenaga kesehatan, yang sebenarnya masih sangat dibutuhkan di garis depan hadapi Covid 19.
Kasus ini pun diserahkan polisi ke kejaksaan. Oleh kejaksaan, nakes itu hanya diberikan tahanan kota sementara, karena "tenaganya masih dibutuhkan di lapangan karena masa pandemi." Tapi tetap saja ancaman hukuman penjara 5 tahun membayangi mereka.
Dari kasus aneh ini kita melihat, betapa lemahnya posisi nakes kita di lapangan. Mereka berjibaku melawan pandemi, bukannya dilindungi hukum karena situasi darurat kesehatan, mereka malah terancam di penjara.
Pertanyaannya, bagaimana seandainya para nakes sepakat untuk lepas tangan dari penanganan pandemi, karena posisi hukum mereka lemah ? Belum lagi tekanan di lapangan saat harus menguburkan jenazah..
Selayaknya negara melindungi mereka para nakes, bukannya malah menjebloskan ke penjara. Mereka pejuang, pak bu.. hargailah mereka. Seharusnya beri para nakes itu penghargaan, bukannya dibuang sia-sia.
Semoga tulisan ini bisa menarik perhatian aparat, kejaksaan, bahkan Menkopolhukam Mahfud MD sampai ke pak Jokowi, supaya mereka bisa turun tangan menyelesaikan masalah aneh ini.
“Pak, berikan mereka keadilan !! Tolong bantu sebarkan supaya sampai ke mereka semua. Kita harus bersama para tenaga kesehatan yang berjuang ditengah pandemi, dimanapun mereka berada. Seruput kopinya,” demikian Denny Siregar mengakhiri narasinya.
Seperti diketahui Kota Pematangsiantar, merupakan kota yang masyarakatnya memiliki toleransi yang tinggi terhadap perbedaan Suku, Agama, ras dan Antar Golongan (SARA). Hal itu sudah tertanam sejak jaman Kerajaan Sangnawauh Damanik dengan Mottonya “Sapangambei Manoktok Hitei”.
Seperti Judul Lagu di atas “Siantar Kita Punya, Simalungun Sekitarnya” adalah satu pesan moral dalam lirik lagunya bahwa warga Kota Pematangsiantar adalah majemuk yang hidup berdampingan yang telah kokoh dalam goncangan provokasi. Salam Damai Kota Pematangsiantar.
Kejari Hentikan
Proses Hukum
Sementara Kejaksaan
Negeri (Kejari) Kota Pematangsiantar menghentikan penuntutan terhadap empatnya
tersangka diduga kasus penistaan agama usai memandikan jenazah wanita di ruang
forensik di RSUD dr Djasamen Saragih Pematangsiantar pada 20 September 2020.
Pemberhentian proses hukum itu langsung diumumkan Kajari Pematangsiantar Agust
Wijono dalam jumpa pers di Kejari Pematangsiantar, Rabu (24/2/2021) sore.
Menurut Agust Wijono, dari
pemeriksaan berkas perkara tidak cukup bukti bahwa ke empat tersangka yakni
DAAY, ESPS, RS, dan REP bisa didakwa kasus penistaan agama karena mereka adalah
petugas medis fornsik khusus menangani covid-19. Kemudian dua di antara mereka
petugas forensik dan dua lagi perawat.
Sebelumnya empat pria tenaga
kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr Djasamen Saragih
Pematangsiantar, Sumut, ditetapkan sebagai tersangka. Ke empatnya dijerat kasus
penistaan agama usai memandikan jenazah wanita di ruang forensik di rumah sakit
milik pemerintah daerah itu pada 20 September 2020.
Ke empat tersangka yakni DAAY,
ESPS, RS, dan REP. Dua di antara mereka petugas forensik dan dua lagi perawat.
Mereka dijerat Pasal 156 Huruf a Juncto Pasal 55 Ayat 1 tentang Penistaan Agama
dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara.
Kapolres Pematangsiantar AKBP Boy
Siregar mengatakan pihaknya telah menyerahkan kasus tersebut kepada Kejaksaan
Negeri usai berkas perkara dinyatakan lengkap. Jadi mereka masih bekerja saat
ini dan menjalani tahanan kota.
“Sudah P21, kami sudah serahkan
perkara ke kejaksaan," ungkap Boy saat dihubungi Tagar, Senin, 22 Februari
2021.
Dalam penyelidikan, Polres telah
memanggil pihak-pihak terkait termasuk pengurus Majelis Ulama Indonesia
Pematangsiantar, Direktur RSUD dr Djasamen Saragih, dan sejumlah saksi ahli.
Tahanan Kota
Kepala Seksi Pidana Umum
Kejaksaan Negeri Pematangsiantar M Chadafi beberapa waktu lalu menyebut, usai
ditetapkan tersangka, ke empat tenaga kesehatan di RSUD dr Djasamen Saragih itu
menjalani tahanan kota selama 20 hari sejak 18 Februari 2021.
Ke empatnya tidak ditahan di
rumah tahanan negara karena masih dibutuhkan sebagai tenaga khusus di ruang
pemulasaran jenazah RSUD dr Djasamen Saragih.
Hingga kini tenaga kesehatan yang
ditetapkan sebagai tersangka masih bekerja seperti biasa di rumah sakit
tersebut. Hal itu turut dibenarkan Kepala Dinas Kesehatan Pematangsiantar dr
Ronald Saragih. (Asenk Lee Saragih/Penulis Adalah Pegiat Jurnalis, Blogger, Medsos Berdomisili di Kota Jambi)