|
Ir.Tigor GH Sinaga.
|
Oleh:
Ir.Tigor GH Sinaga.
Jambipos-Ada tiga hal menjadi alasan menjadi sorotan ahli yang diajukan pemohon dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang digelar pada Rabu (5/4/2023) di Ruang Sidang Pleno MK.
Atas undang undang pemilu yang mengusulkan perubahan dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup, atas materi dimaksud. Menurut ahli tersebut, akibat proporsional terbuka telah terjadi banyak suara tidak sah, politik uang dan pelemahan partai politik.
Dipaparkan, bahwa ditemukan 11,12 % suara tidak sah pada pemilu lalu akibat banyaknya kesalahan penghitungan dan berpotensi terjadi penyelewengan, karena harus menghitung satu persatu suara caleg yang berkompetisi.
Sang ahli lupa mencatat, berapa banyak peningkatan angka partisipasi sebagai kepedulian masyarakat ikut pesta demokrasi sejak diberlakukannya peoporsional terbuka, yang mencatatkan indonesia menjadi negara penyelenggara demokrasi dengan angka partisipasi tertinggi ?
Kesalahan penghitungan mestinya janganlah menjadi alasan untuk menghambat hak rakyat untuk turut berdemokrasi, justru perbaikan sistem dan pemanfaatan teknologi merupakan tantangan yang harus dijawab penyelenggara.
Alasan maraknya politik uang akibat proporsional terbuka juga terkesan mengada ada, rakyat kita baru belajar berdemokrasi, tiga periode pemilihan langsung proporsional terbuka pastilah menimbulkan ekses. Tak ada jaminan jika proporsional tertutup dilaksanakan akan menghilangkan politik uang, atau malah sebaliknya ?
Bukankah transaksi dan kemaksiatan akan semakin bebas terjadi di ruang ruang tertutup ?
Justru dengan proporsional tertutup politik uang akan semakin tak terkendali.
Kalau selama ini politik uang terjadi ditengah masyarakat yang melibatkan okmum penyelenggara, elite partai, rakyat dan calon legislatif, maka jika pemberlakuan sistem proporsional tertutup politik uang kemungkinan terjadi hanya sekitar oknum penyelenggara, elite partai dan calon legislatif tanpa kontrol masyarakat.
Solusinya, perbaiki sistem, tegakkan hukum dan cerdaskan bangsa maka pastilah akan menggerus politik uang dengan sendirinya.
Bukankah jika rakyat paham dan sadar dampak politik uang, mereka akan menolak politik uang tersebut , adalah fakta bahwa rakyat terpelajar cenderung tak tergiur dengan politik uang.
Alasan pelemahan partai politik yang dikemukakan juga sangat gampang di patahkan.
Kita baru saja di cengangkan dengan pengakuan tulus mas Bambang Pacul yang secara gamblang menjelaskan betapa wakil wakil rakyat kita di DPR sana hanya menjadi korea korea dengan full remote ketua ketua partai ?
Penguatan yang bagaimana lagi yang di inginkan ?
Bukankah yang mengusulkan daftar calon calon legislatif, menyeleksi dan mendaftarkan ke KPU , mengawasi dengan berbagai ketentuan mutlak dilakukan oleh partai politik ?
Jika takut terpilih orang orang yang akan merongrong kekuasaan partai atau takut terpilih mereka yang ber uang, atau mereka yang cerdas dan berdedikasi atau mempunyai idealisme yang dikhawatirkan mengganggu "strategi " partai , coret saja dari daftar bacaleg.
Kalau pun setelah melalui " seleksi yang ketat" pada saat pendaftaran bacaleg ada yang lolos di luar skenario partai, toh ada mekanisme kendali partai terhadap anggota legislatifnya melalui instrumen partai, melalui ketentuan fraksi atau bahkan recall dan PAW .
Sesungguhnya, seperti yang di pertontonkan anggota legislatif kita saat ini , tak ada hak hak partai politik yang terlanggar atau dilemahkan dengan proporsional terbuka.
Ada juga tokoh yang mengatakan jika proporsional terbuka itu inskonstitusional, karena sesungguhnya peserta pemilu itu partai politik bukan perorangan.
Lho ??
Pada proporsional terbuka tetap pesertanya adalah partai politik. Partailah yang menyeleksi, mendaftarkan dan mengawasi calon calon yang di ajukan untuk dipilih rakyat, agar rakyat dapat mengekspresikan pilihannya, bukan membeli kucing dalam karung dengan mencoblos partai.
Tidak mungkin misalnya ada orang yang ingin menjadi anggota DPR dapat mendaftar secara mandiri, pasti melalui partai, Jika ada yang ngotot maju secara mandiri pastilah di arahkan ke DPD oleh KPU.
Jadi jelas peserta pemilu pada proporsional terbuka adalah partai.
Entah apa yang ada di benak penggagas dan para ahli yang mendukung proporsional tertutup ini, padahal beberapa waktu lalu vote yang dilakukan anggota DPR RI untuk hal ini adalah 8-1 untuk keberpihakan pada proporsional terbuka.
Bahkan perwakilan presiden pun menyatakan dukungan pada proporsional terbuka dan pak Jokowi pun tak setuju dengan gonta ganti aturan setiap pemilu, serta rasanya tak pantas jika pertandingan sudah dimulai sementara aturan baru di bahas seperti saat ini, kalau pun ada perubahan eloknya dibahas dengan seksama dan diberlakukan untuk pemilu mendatang.
Posisi 8-1 di DPR dan Pernyataan Istana hendaknya menjadi pertimbangan MK dalam pengambilan keputusan terkait hal ini.
Jika melihat realita di atas, sesungguhnya mayoritas anggota dewan sepakat dengan proporsional terbuka, dan "korea korea " ini pastilah sudah berkomunikasi dengan bos bos nya sebagai pengendali. Tapi mungkin ada sebagian, terutama mereka yang terlena dengan kekuasaan ingin terus bercokol, karena dapat dipastikan dengan proporsional tertutup tidak akan ada muncul tokoh baru di politik yang pasti akan mengancam posisi mereka.
Pembatasan hak rakyat untuk masuk ke politik sudah sangat berlapis.
Ada Parlementiary threshold, Ada Presidential threshold, dan dengan proporsional tertutup ini hak rakyat untuk memilih wakilnya juga dikebiri , padahal yang mengusulkan daftar calon yang akan dipilih rakyat pun adalah atas seleksi dan usulan partai.
LUCUNYA ada tokoh yang selama ini ngotot menolak Presidential threshold sebagai syarat pencalonan presiden dengan alasan menyunat hak politik seseorang , kali ini justru mendukung kebijakan yang menyunat hak politik rakyat untuk berdemokrasi.
SeSUNGGUHnya inilah kemunduran demokrasi itu...penghambat kemajuan bangsa .
T O L A K, karena dengan proporsional tertutup dipastikan tak akan ada lahir politisi baru, tak akan ada perubahan di negri ini. (JP- Penulis Adalah Ketua DPW PSI Provinsi Jambi