BANK MANDIRI TELANAIPURA |
Jakarta -Perbankan Indonesia masih terus dihadapkan
soal konsolidasi demi menghadapi persaingan usaha di tingkat regional.
Konsolidasi ini dinilai sulit dilakukan karena banyak faktor, salah satunya
adalah gaji pegawai yang berbeda-beda.
Konsolidasi itu bisa dilakukan melalui merger atau akuisisi
demi tercapainya sebuah bank yang lebih besar, terutama dari sisi aset dan
permodalan. Bank yang tadinya mau berkonsolidasi tapi batal adalah PT Bank
Mandiri Tbk (BMRI) dan PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN).
Masih ada dua lagi bank milik negara, yaitu PT Bank Rakyat
Indonesia Tbk (BRI) dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI). Keempat bank BUMN
ini pernah juga diusulkan bergabung dalam satu induk usaha alias holding
company.
Direktur Utama BNI Gatot Suwondo mengatakan konsolidasi
perbankan butuh waktu lama untuk bisa merealisasikannya.
“Perlu waktu juga. Tapi empat bank ini masalahnya, ada yang
gajinya jomplang untuk posisi yang sama. Jadi perlu waktu. Yang tak pernah
dihitung ketika merger adalah social cost. Itu jomplang-jomplangan tadi,"
katanya saat ditemui di acara BUMN Forum dengan tema Infrastruktur dan Transisi
di BUMN, di Hotel JW Marriot, Jakarta, Selasa (19/8).
“Pada tahun 2000 kita konsolidasi bank, empat bank jadi
satu. Untuk berjalan stabil butuh waktu. Itu baru stabil 2005. Lima tahun
berarti. Saya pun pernah ikut memimpin merger. Delapan bank swasta merger yang
sekarang disebut Danamon. Perlu waktu," tambahnya.
Lagipula menurut Gatot, ukuran aset bank yang harus besar itu bukan langkah
yang tepat dalam menghadapi Pasar Bebas ASEAN. Alangkah lebih baik jika dalam
negeri bisa diberi kesempatan untuk membuka cabang lebih banyak di luar negeri.
"Mengenai size, dalam menghadapi pasar bebas size
is not everything. Yang penting fundamental keuangan, kemampuan masuk pasar.
Merger bukan satu solusi. Lebih baik kita minta mereka buka pintu. Empat bank
bisa masuk semua. Untuk seperti DBS saja misal, BNI dan Mandiri digabung modal
masih kalah," terang dia.
Gatot mengatakan, di antara perbankan negara-negara ASEAN,
Indonesia merupakan yang paling liberal. Perbankan asing bisa masuk Indonesia
dengan kepemilikan saham tinggi, sementara Indonesia untuk ekspansi di luar
negeri masih cukup rumit karena bank asing masih belum mau membuka diri.
“Kita sudah bersaing. Di antara negara-negara ASEAN regulasi yang paling
liberal di Indonesia. Sudah banyak bank asing yg beroperasi di Indonesia, baik
langsung maupun tak langsung. Bank-bank yang ada sekarang bersaing.
Dia menambahkan, persoalan lain yang juga terkait sulitnya bank dalam negeri
berekspansi ke luar negeri adalah belum siapnya negara tetangga dalam
menghadapi pasar bebas ASEAN.
“Persaingan bagi saya ya kita sudah biasa bersaing dengan bank asing. Yang kita
belum test bagaimana bersaing di negara tetangga. Masalahnya negara tetangga
masih menutup diri. Dari hasil yang diperoleh ada 5 negara yang belum siap,
Myanmar, Laos, Vietnam, Kamboja, dan Brunei. Mereka minta waktu. Mereka laig
atur UU perbankan. Itulah kenapa sejak 2008 Dirut BNI selalu bicara resiprokal
dengan negara tetangga. Kita ribut karena itu," jelas dia.
Contoh liberalnya regulasi bank di Indonesia adalah perbankan asing di
Indonesia bisa menguasai kepemilikan hingga 99% sementara bank asing hanya bisa
membuka diri 20%.
"Misalnya Anda punya joint venture dengan Asing. Saham Anda cuma
1%. Asing bisa kuasai 99% di Indonesia. Kendalanya aturan di negara tetangga.
Asing hanya bisa punya maksimal 20%," pungkasnya.(dtk/lee)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar