Berjuang : Ratusan petani dari tiga kabupaten melakukan unjukrasa di depan kantor gubernur Jambi, Senin (30/4). Mereka menuntut 15.032 Hektar tanah ulayat untuk dikembalikan kepada petani. Foto batakpos/rosenman manihuruk
Jambi, BATAKPOS
Polisi akhirnya menangguhkan penahanan Mawardi, seorang pendamping Suku Anak Dalam (SAD) atau Orang Rimba Jambi yang dituduh sebagai aktor pelaku pencurian kelapa sawit milik PT Asiatic Persada. Mawardi dituduh sebagai penyuruh petani untuk melakukan pemanenan sawit milik PT Asiatik Persada.
Penangguhan penahan itu akibat desakan dari petani yang merupakan gabungan dari Partai Rakyat Demokratik (PRD), Serikat Tani Nasional (STN), Liga Nasional Gerakan Rakyat (Lingkar), dan Suku Anak Dalam (SAD) 113, mendatangi Polda Jambi, Minggu (29/4) malam. Massa menuntut agar Polda Jambi membebaskan Ketua Komite Pimpinan Wilayah (KPW) PRD Jambi, Mawardi, yang ditahan sejak Jumat (27/4).
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jambi, Arif Munandar, mengatakan, tindakan kepolisian yang menangkap dan menahan Mawardi, pendamping Suku Anak Dalam (SAD) yang sedang berkonflik dengan PT Asiatic Persada, bertentangan dengan konsitusi.
“Mahkamah Konstitusi telah mencabut pasal 21 juncto pasal 47 UU No 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. Dalam pasal tersebut disebutkan, warga dilarang melakukan upaya yang dianggap mengganggu usaha perkebunan,”katanya.
Menurut Arif Munandar, saat ini banyak warga yang merupakan pemilik sah lahan yang dijadikan perkebunan sedang berjuang untuk mendapatkan kembali lahannya. Kalau pasal tersebut diterapkan, maka mereka yang sedang berjuang untuk memperoleh kembali lahannya dianggap mengganggu usaha perkebunan, dan bisa dipenjarakan.
“Ya kejadiannya seperti yang dilakukan Mawardi yang membantu SAD memperoleh kembali lahannya, namun kemudian dikriminalisasi. Namun dengan putusan nomor 55/PUU-VII/2010, MK telah membatalkan dua pasal tersebut. Sehingga saya simpulkan, penangkapan dan penahanan Saudara Mawardi inkonstitusional,”katanya.
MK juga berpendapat bahwa keberadaan ancaman pidana di Pasal 47 UU Perkebunan amatlah berlebihan. Konflik yang timbul merupakan sengketa keperdataan yang seharusnya diselesaikan secara keperdataan dengan mengutamakan musyawarah sebagaimana dimaksud oleh UU No. 51/Prp/1960 maupun ketentuan-ketentuan lain sebelum diundangkannya UU No. 51/Prp/1960, tidak diselesaikan secara pidana.
Menurut Arif, kriminalisasi petani terus terjadi di Jambi merupakan implikasi dari perjuangan kaum tani terhadap hak ulayat atas tanah yang dirampas oleh pengusaha.
“Konflik lahan antara masyarakat adat SAD 113 dan PT Asiatic Persada, perusahaan perkebunan sawit Group Wilmar sudah berlangsung lama, dan saat ini SAD 113 masih menguasai sekitar 241 ha lahan di tengah-tengah HGU Asiatic Persada yang berisi tanaman karet campuran,”ujarnya.
Disebutkan, ada pun pemukiman perladangan SAD lainnya di tiga dusun seluas 3.614 ha sudah tergusur. Hingga saat ini petani masih melakukan pendudukan lahan mereka yang dirampas oleh perusahaan tersebut.
Joko, aktifis pendamping SAD lainnya, menyatakan Mawardi mendapat penangguhan penahanan. Ia dilepas pihak Polda Minggu (29/4) sekitar pukul 11.00 WIB. “Namun, ia wajib lapor tiap hari Senin, Selasa, dan Kamis,” ujarnya.
Pihaknya menyayangkan langkah Polda yang menangkap dan menahan Mawardi. Pasalnya, dalam sengketa tersebut tidak ada unsur pidana, melainkan sengketa perdata yang seharusnya penyelesaiannya tidak menggunakan pendekatan pidana.
Sementara itu, Kapolda Jambi Brigjen Pol Anang Iskandar mengakui bahwa persoalan sengketa lahan bukan ranah pidana.
“Terkait kasus Mawardi, yang menjadi masalah bukan soal konflik lahannya. Kita akui itu, yang menjadi masalah adalah tindak kriminal pemanenan kelapa sawit, kalau itu jelas kasus pidana, makanya dia kami tangkap,”katanya.
Menurutnya, dari seluruh pelaku pencurian kelapa sawit yang dimintai keterangan oleh polisi, mereka mengaku memanen sawit PT Asiatic Persada karena disuruh oleh Mawardi. “Berdasarkan keterangan ini, maka kita lakukan tindakan menangkap dan menahan Mawardi,”katanya. RUK
Penangguhan penahan itu akibat desakan dari petani yang merupakan gabungan dari Partai Rakyat Demokratik (PRD), Serikat Tani Nasional (STN), Liga Nasional Gerakan Rakyat (Lingkar), dan Suku Anak Dalam (SAD) 113, mendatangi Polda Jambi, Minggu (29/4) malam. Massa menuntut agar Polda Jambi membebaskan Ketua Komite Pimpinan Wilayah (KPW) PRD Jambi, Mawardi, yang ditahan sejak Jumat (27/4).
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jambi, Arif Munandar, mengatakan, tindakan kepolisian yang menangkap dan menahan Mawardi, pendamping Suku Anak Dalam (SAD) yang sedang berkonflik dengan PT Asiatic Persada, bertentangan dengan konsitusi.
“Mahkamah Konstitusi telah mencabut pasal 21 juncto pasal 47 UU No 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. Dalam pasal tersebut disebutkan, warga dilarang melakukan upaya yang dianggap mengganggu usaha perkebunan,”katanya.
Menurut Arif Munandar, saat ini banyak warga yang merupakan pemilik sah lahan yang dijadikan perkebunan sedang berjuang untuk mendapatkan kembali lahannya. Kalau pasal tersebut diterapkan, maka mereka yang sedang berjuang untuk memperoleh kembali lahannya dianggap mengganggu usaha perkebunan, dan bisa dipenjarakan.
“Ya kejadiannya seperti yang dilakukan Mawardi yang membantu SAD memperoleh kembali lahannya, namun kemudian dikriminalisasi. Namun dengan putusan nomor 55/PUU-VII/2010, MK telah membatalkan dua pasal tersebut. Sehingga saya simpulkan, penangkapan dan penahanan Saudara Mawardi inkonstitusional,”katanya.
MK juga berpendapat bahwa keberadaan ancaman pidana di Pasal 47 UU Perkebunan amatlah berlebihan. Konflik yang timbul merupakan sengketa keperdataan yang seharusnya diselesaikan secara keperdataan dengan mengutamakan musyawarah sebagaimana dimaksud oleh UU No. 51/Prp/1960 maupun ketentuan-ketentuan lain sebelum diundangkannya UU No. 51/Prp/1960, tidak diselesaikan secara pidana.
Menurut Arif, kriminalisasi petani terus terjadi di Jambi merupakan implikasi dari perjuangan kaum tani terhadap hak ulayat atas tanah yang dirampas oleh pengusaha.
“Konflik lahan antara masyarakat adat SAD 113 dan PT Asiatic Persada, perusahaan perkebunan sawit Group Wilmar sudah berlangsung lama, dan saat ini SAD 113 masih menguasai sekitar 241 ha lahan di tengah-tengah HGU Asiatic Persada yang berisi tanaman karet campuran,”ujarnya.
Disebutkan, ada pun pemukiman perladangan SAD lainnya di tiga dusun seluas 3.614 ha sudah tergusur. Hingga saat ini petani masih melakukan pendudukan lahan mereka yang dirampas oleh perusahaan tersebut.
Joko, aktifis pendamping SAD lainnya, menyatakan Mawardi mendapat penangguhan penahanan. Ia dilepas pihak Polda Minggu (29/4) sekitar pukul 11.00 WIB. “Namun, ia wajib lapor tiap hari Senin, Selasa, dan Kamis,” ujarnya.
Pihaknya menyayangkan langkah Polda yang menangkap dan menahan Mawardi. Pasalnya, dalam sengketa tersebut tidak ada unsur pidana, melainkan sengketa perdata yang seharusnya penyelesaiannya tidak menggunakan pendekatan pidana.
Sementara itu, Kapolda Jambi Brigjen Pol Anang Iskandar mengakui bahwa persoalan sengketa lahan bukan ranah pidana.
“Terkait kasus Mawardi, yang menjadi masalah bukan soal konflik lahannya. Kita akui itu, yang menjadi masalah adalah tindak kriminal pemanenan kelapa sawit, kalau itu jelas kasus pidana, makanya dia kami tangkap,”katanya.
Menurutnya, dari seluruh pelaku pencurian kelapa sawit yang dimintai keterangan oleh polisi, mereka mengaku memanen sawit PT Asiatic Persada karena disuruh oleh Mawardi. “Berdasarkan keterangan ini, maka kita lakukan tindakan menangkap dan menahan Mawardi,”katanya. RUK
Tidak ada komentar:
Posting Komentar