Kebakaran Terjadi di Konsesi Perusahaan
Jambi, MR-Polda Jambi melarang para pengusaha perkebunan kelapa
sawit, pengusaha kehutanan dan para petani di Jambi menggarap lahan yang baru
terbakar. Areal hutan dan lahan tak bertuan yang terbakar di daerah itu
dinyatakan status quo atau tak bisa digarap oleh siapa pun sebelum ada
keputusan pemerintah mengenai status penggunaan lahan. Larangan itu
diberlakukan untuk mempermudah pencarian bukti tindak kejahatan lingkungan
pembakaran hutan dan lahan di Jambi.
Demikian salah satu butir maklumat atau pernyataan Kepala
Kepolisian Daerah (Kapolda) Jambi, Brigjen Pol Lutfi Lubihanto terkait
kebakaran hutan dan lahan di Jambi. Maklumat Kapolda Jambi Nomor Mak/03/IX/2015
tentang Larangan Melakukan Pembakaran Terhadap Hutan dan Lahan di wilayah
Provinsi Jambi tersebut disampaikan pada rapat koordinasi penanganan darurat
bencana asap akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Provinsi Jambi,
Jumat (4/9) lalu.
Menurut Kapolda Jambi, pembakaran hutan dan lahan merupakan
perbuatan kejahatan/tindak pidana, karena menimbulkan dampak terhadap kerusakan
lingkungan hidup, baik flora (tumbuh-tumbuhan) maupun fauna (binatang).
Kemudian pembakaran hutan dan lahan juga menimbulkan kesehatan yang disebabkan
asap, gangguan terhadap kegiatan masyarakat, antara lain pendidikan,
transportasi, dan perekonomian.
“Pembakaran hutan dan lahan yang menimbulkan bencana asap
juga membuat citra bangsa Indonesia di lingkungan masyarakat internasional
menjadi buruk. Bangsa Indonesia pun dicap internasional sebagai ‘bangsa
pembakar hutan’. Karena itu para pelaku pembakaran hutan dan lahan akan
dikenakan sanksi hukum yang berat, dan diproses berdasarkan ketentuan peraturan
pendundang-uUndangan yang berlaku, “tegasnya.
Dijelaskan, sesuai Pasal 187 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP), siapa pun yang melakukan pembakaran hutan dan lahan secara
sengaja akan dikenakan sanksi pidana kurungan 12 tahun. Sedangkan berdasarkan
Pasal 188 KUHP, siapa pun yang bersikap lalai dan alpa, sehingga terjadi
kebakaran hutan dan lahan akan dikenakan sanksi pidana kurungan 5 tahun.
Menurut Kapolda Jambi, berdasarkan Pasal 78 Ayat (3)
Undang-Undang RI Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan disebutkan, setiap orang
yang dengan sengaja membakar hutan sanksi pidana kurungan 15 tahun, denda Rp 15
miliar. Kemudian pada Pasal 108 Undang-Undang RI Nomor 32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan bahwa setiap orang
yang melakukan pembakaran lahan dengan cara membakar, diancam pidana penjara
paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun, dan denda paling sedikit 3
miliar rupiah dan paling banyak Rp 10 miliar.
“Sedangkan pada Pasal 108 Undang-Undang RI Nomor 39 tahun
2014 tentang Perkebunan disebutkan bahwa setiap pelaku usaha yang membuka
dan/atau mengolah lahan dengan cara membakar dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 10 miliar,”paparnya.
Kapolda Jambi mengatakan, pihaknya hingga Jumat (4/9) masih
menahan dan memeriksa sembilan orang pelaku pembakaran di kawasan hutan
konservasi, Betara, Kabupaten Tanjungjabung Barat. Para pelaku pembakar hutan
tersebut berhasil ditangkap Satuan Reserse Kriminal (Reskrim) Polres
Tanjungjabung Barat, Senin (31/8). Dari para tersangka berhasil diamankan
barang bukti satu unit mobil Toyota Kijang LGK, lima unit sepeda motor, satu
unit mesin gergaji kayu dan satu jerigen minyak solar.
Para pelaku pembakar hutan tersebut masing-masing, Ridwan
alias Iwan (42), Rahmat alias Amat (42), Rahman alias Remang (36), Jamaludin
alias Udin (35) dan Agus Supriadi alias Agus (16). Kemudian Firmansyah alias
Firman (33), Awal Harahap alias Bulek (30), Eka Riadi alias Bedul (20) dan
Jumri alias Ijum (40).
“Kesembilan warga Tanjunjabung Barat tersebut ditangkap
karena terbukti melakukan pembakaran untuk membuka lahan perkebunan kelapa
sawit,”katanya.
Konsesi Perusahaan
Sementara Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jambi
menyebutkan, sekitar 80 persen lokasi kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di
Provinsi Jambi terjadi di kawasan konsesi perusahaan perkebunan dan Hutan
Tanaman Industri (HTI).
"Dari data yang kami kumpulkan sepanjang 2015, titik
api selalu berada di kawasan konsesi dan polanya selalu sama, muncul di konsesi
perusahaan sawit dan HTI," kata Manager Advokasi Walhi Jambi, Rudiansyah.
Dia menjelaskan, dari pantauan melalui satelit dan juga
dari sejumlah kajian, bahwa titik api yang tersebar di wilayah Jambi berada di
konsesi perusahaan seperti di Kabupaten Tebo yang relatif terjadi di HTI
perusahaan PT LAJ, PT TMA serta WKS.
"Dan juga lahan gambut seperti di Kabupaten Muarojambi
setiap musim kemarau selalu kebakaran dan itu di konsesi perusahaan yang berada
di kawasan gambut dan setiap musim pola kebakarannya selalu sama,"
katanya.
Menurut dia, harus ada upaya konkret dalam menangani
kebakaran tersebut. Walhi mengusulkan beberapa strategi yaitu akan melakukan
gugatan kepada pemegang izin dan pemerintah.
Langkah konkret tersebut yaitu menggugat perusahaan yang
melakukan pembakaran hutan dan juga menggugat pemerintah yaitu dengan melakukan
gugatan melalui skema kelompok atau class action.
"Secara organsisasi, Walhi melakukan gugatan dengan
skema legal standing, karena upaya membagikan masker malah bukan solusi dan itu
sifatnya hanya stimulan," katanya.
Gugatan tersebut, lanjutnya, akan dilakukan kepada dua
institusi yaitu pemerintah dan perusahaan. Pemerintah dan pemegang izin harus
bertanggung jawab.
"Masyarakat juga membakar lahan, tapi tidak luas dan
bahkan mereka punya cara tersendiri serta masyarakat tidak mempunyai lahan
seluas perusahaan sawit dan HTI,dan juga sampai saat ini belum ada korporasi
yang diproses hukum," katanya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Walhi Jambi, Musri Nauli,
mengatakan, satu per empat wilayah Jambi dikuasai oleh pihak korporasi, di mana
600 ribu hektare untuk perkebunan sawit dan 800 ribu hektare lainnya untuk
konsesi hutan tanaman industri.
Persoalan tersebut, menurut Nauli, sangat mungkin untuk
dibawa ke ranah hukum, apalagi masyarakat punya undang-undang yang mendukung
untuk melakukan tuntutan kepada yang bertanggungjawab, baik itu perusahaan yang
ada di zona kebakaran dan negara.
"Seperti UU Nomor 41/1999 yang isinya pemegang hak
atau izin bertanggungjawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya.
Selain itu juga ada turunannya di PP no 4/2001 dan PP 45/2014 pasal 8 ayat
(1)," katanya.
Musri menarik kisah panjang kabut asap di Provinsi Jambi
dari tahun 1997, di mana periode 1997 kebakaran terjadi lima tahun sekali,
kemudian pada 2006 sampai 2010 kebakaran atau kabut asap terjadi tiap dua
tahun sekali.
"Dan saat ini mulai rutin, dari tahun 2010 sampai
2015, kabut asap selalu terjadi setiap satu tahun sekali," katanya.
Dia juga menjelaskan, selama ini pola kebakaran hutan di
Jambi selalu sama seperti itu dari tahun ke tahun, selalu di kawasan gambut dan
di izin konsesi perkebunan sawit dan hutan tanaman industri (HTI). Musri
mengatakan, pihaknya menduga kebakaran hutan dan lahan tersebut disengaja agar
perusahaan mendapatkan asuransi.
"Tim dari Walhi saat ini tengah mempelajari itu. Ini
bisa saja modus dari perusahaan dan setelah itu kita akan melakukan
gugatan," katanya. Dia menambahkan, apabila memang perusahaan tersebut
melakukan tindakan membakar hutan dan lahan di areal konsesinya, pemerintah dan
aparat penegak hukum harus segera bertindak. (Asenk Lee)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar