IST FB MUSRI NAULI |
Kebakaran dan asap tahun 2015 tidak dapat dilepaskan dari Tanjung Jabung Timur beribukota Muara Sabak. Muara Sabak merupakan nama tempat di hilir dari berbagai muara Sungai yang ada di Jambi.
Dalam catatan berbagai catatan sejarah, nama Sabak lebih sering dicatat dengan istilah kata “Zabag”. Dengan jernih Budihardjo didalam bukunya “Perkembangan ekonomi masyarakat daerah Jambi- studi pada masa Kolonial” menerangkan “Sungai Batanghari kemudian mengilir hingga Muara Zabag dari hulu Tanjung Samalindu. Berita Arab juga menyebut nama “Zabag” yang identik dengan “Muara Zabag”.
George Cœdès, Louis Charles Damais kemudian menuliskan “Sriwijaya” merupakan persamaan dari “Che-li – fo – che” atau “san-fo-tsi” yang kemudian mempersamakan dengan “Zabag”. “Zabag” kemudian diperkirakan sebagai Kerajaan Sailendra. Soekmono, R. didalam bukunya “Pengantar sejarah kebudayaan Indonesia”pusat Sriwijaya terletak pada kawasan sehiliran Batang Hari, antara Muara Sabak sampai ke Muara Tembesi (di provinsi Jambi sekarang).
Walaupun letak geografisnya tidak diketahui dengan tepat, namun “Sribuza” dan “Kalah” telah disebutkan didalam epigrafi India Selatan yang sudah dituliskan di abad XI sebagai dasar pembentuk kerajaan Sailendra.
Pada abad ke - 10 masehi, dinasti Cola (Chola) di India ada menyebut maharaja Kataha (Kedah) dan Srivijaya. Mengikut sumber Arab pula Srivijaya dirujukinya sebagai Zabaj atau Zabag, dan Sribuza/Sribusa, yang dikatakannya memerintah Kalah “Segenting Kra dan Kedah” pada kurun abad 9 masehi, kerajaan ini dianggap sebagai “Emperor agung di dunia”. Petualang Sulaiman pada tahun 815 masehi menceritakan kebesaran Zabaj/Zabag. Catatan ini bisa dilihat dari catatan “Sribusa/Sribuza” dari Sankrit “Sribhoja” yang mengesahkan Srivijaya yang menaklukan Kerajaan Khmer di Kamboja.
Sebagian ahli kemudian memperkirakan “Zabag” sebagai pra Sriwijaya atau pra Kerajaan Melayu Jambi. Namun George Cœdès, Louis Charles Damais menolak Zabag sebagai Pra Sriwijaya. Menurut keduanya, “Zabag adalah nama kerajaan yang letak geografisnya tidak diketahui dengan tepat. Namun Zabag merupakan bagian dari “Sribuza” dan “Kalah” berdasarkan epigrafi India Selatan yang diperkenalkan pada abad XI sebagai unsur pembentuk kerajaan Syailendra.
Dalam catatan Bani Ummayah (661-680 masehi), jalur rempah-rempah tidak ingin tergantung dai bangsa China yang mengimpor dari Muara Jambi (Kerajaan Melayu Tuo) dan Muara Sabak sebagai jalur Kerajaan Sriwijaya. Dan kemudian pada abad ke 7 Raja Jambi yang bermukim di Muara Sabak yang bernama Kalitawarman (sebagian lagi menyebutkan “Sri Maharaja Luki Tawarman) kemudian masuk Islam yang menganut mazhab ahlul Sunnah Wal Jamaah.
Catatan lengkap disampaikan oleh M. Lah Husny (Tengku) yang menyebutkan “Sri Maharaja Srindawarman masuk islam tahun 710”. Lebih lanjut George Cœdès, Louis Charles Damais menerangkan “Zabag” adalah kerajaan besar di bawah kekuasaan “Maharaja”, Raja Pulau-pulau yang banyak disebutk oleh bangsa Arab dari Abad IX-XVI. Dari segi fonetik, nama “Zabag” merupakan sebuah kerajaan yang hidup pada abad XIII.
M Idris Ramulyo menegaskan, Kerajaan Muara Sabak telah masuk Islam. Dalam periode ini kemudian M. Idris Ramulyo kemudian menyebutkan sebagai Sejarah dan mulainya berkembang hukum Islam di Jambi.
Achadiati Ikram kemudian mempertegas dengan menyebutkan “berita-berita Arab kemudian “Zabag” terletak di Muka Teluk Jambi. Sedangkan San-fo-tsi untuk (Muara) Tembesi Batanghari.
Budihardjo didalam Buku “Perkembangan Ekonomi Masyarakat Daerah Jambi : Studi Pada masa Kolonial”, menyebutkan erat dinamisnya hubungan antara kota-kota hulu, seperti Padang Roco, Muara Tebo, Muara Bungo, Muara Tembesi, Muara Bulian, Jambi, Muara Jambi, Muara Zabag, Kuala Tungkal, Perairan Riau, Selat Malak, Jawa, Asia Timur dan Asia selatan.
Kebutuhan hulu-hilir dilaksanakan dengan barter seperti kain sutera, keramik, tekstil China atau India yang kemudian diganti dengan rempah-rempah seperti kayu wangi. Pada tahun 1550-an hingga akhir abad 17, Perdagangan mulai ke komoditi lada.
Elizabeth Locher-Scholten menyebutkan tahun 1616 Jambi sudah menjadi pelabuhan terkaya kedua di Sumatera setelah Aceh. Kejayaan mulai goyah ketika pesisir timur Sumatera bertempur dengan Johor. Belum lagi pergolakan internal di kalangan Raja Jambi.
Ada yang menyebutkan sebagai sejarah perang saudara yang melanda Kesultanan Jambi (konflik internal). Belum lagi Kesultanan Jambi menjadi negara vasal di bawah Kesultanan Minangkabau (kesultanan Pagaruyung). Bahkan akhir abad 18-an, komoditi utama lada kemudian bergeser ke komoditi lainnya yaitu emas. Sehingga peran Jambi kurang berperan.
Didalam Buku “Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jambi”, R Zainuddin, menerangkan faktor pemicu pergolakan disebabkan wilayah Jambi snagat baik sebagai bandar perdagangan. Jambi merupakan negara yang kuat dalam maritim. Dilihat dari teritori dan wilayah yang ada di Jambi.
Sedangkan A.B Lapian, Jambi termasuk Muara Sabak, Kuala Tungkal merupakan daerah “the favored commersial coast”. Kawasan pantai timur sebagai tempat peristirahatan ideal sembari menunggu angin untuk melanjutkan pelayaran. Jambi merupakan negeri penghubung antara “negeri diatas angin”.
Edwar L Poelinggomang menyebutkan “mare liberium”. Budihardjo memberikan istilah “hinterland and foreland”. Jambi merupakan titik pertemuan antara hulu dan hilir. Pantai timur yang dukdung oleh Sungai Batanghari dengan anak-anak sungainya. Pantai Timur merupakan daerah yang cocok dijadikan lokasi pelabuhan. Dengan kontur tanah liat yang tidak membahayakan kapal yang bersandar serta wilayah pulau karang kecil sebagai tempat strategis kapal dalam perlindungan ombak. Sehingga kita mudah memahami kemudian sepanjang sungai Batanghari merupakan daerah pemukiman penduduk.
Dalam Manuskrip “Tanjung Tanah”, Muara Sabak disebutkan sebagai pelabuhan di Muara Sabak/ Koto Kandis sepanjang aliran Kuala Niur dalam kerajaan Melayu yang dipimpin oleh Raja Aditiawaraman.
Dalam catatan arkeologi, pelabuhan Jambi di Muara Sabak merupakan merupakan muara Sungai Batanghari yang terletak di tepi laut terbuka selat Malaka. Sebuah proses alam sebelum tahun 20.000 – 2.000 SM kemudian menyebabkan Muara Sabak kemudian menjorok ke daratan menjauh dari pesisir Pantai Timur Sumatera.
Keganasan perompak di Selat Malaka juga mengantarkan Muara Sabak dalam peperangan dengan Johor. National geografich mencatat sebagai jalur pelayaran paling sibuk dunia. Dalam laporan International Maritime Bureau (IMB), Saat ini, setiap hari diperkirakan sekitar 200 kapal berlayar melewati Selat Malaka. Laporan ini didukung dari catatan Seorang komisaris perdagangan Cina bernama Chau Ju-kua menulis Chufanchi (Zhu Fan Zhi—catatan tentang bangsa-bangsa asing/barbar) pada 1225 yang kemudian diterjemahkan oleh Friedrich Hirth dan WW Rockhill pada 1911.
Didalam bukunya, Peninggalan Budaya Melayu pada Zaman Klasik di Hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanghari: Keterkaitan Kerajaan Minangkabau dengan Kerajaan Melayu, Zubir dan Zusneli menerangkan ditemukan peninggalan budaya, seperti pemukiman kuno, area candi, prasasti, keramik, dan sebagainya yang tersebar di daerah hilir, yaitu Kualatungkal, Muarasabak, Koto Kandis, Suak Kandis, Jambi, Muara Jambi, Pematang Jering, Pematang Saung, Lubuk Ruso, Rantau Kapas Tuo, Sumai, Teluk Kuali, dan Betung Berdarah yang terletak di Provinsi Jambi.
Namun, peninggalan budaya terancam hilang akibat kebakaran yang massif sejak 5 tahun terakhir ini. Sebagian besar kawasan pantai timur Sumatera rusak. Dari 730 ribu gambut, setengahnya sudah hancur akibat aktivitas manusia dengan membangun industri baik sawit maupun HTI. Kawasan gambut kemudian kering dan mudah tersulut api. Tahun 2015 diperkirakan 33 ribu gambut terbakar dengan kerugian 3 trilyun rupiah.
Kebakaran tidak hanya mengakibatkan asap dan menutupi wilayah Jambi. Namun kebakaran juga menyebabkan berbagai ornamen dan jejak sejarah Muara Sabak hilang dan peradaban sejarah Muara Sabak akan hilang. Muara Sabak cuma dicatat dalam sejarah dan kehilangan bukti peradaban yang bisa diceritakan kepada anak cucu.(Musri Nauli-Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 28 September 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar