Oleh: Prof. Hotman M. Siahaan (Universitas Airlangga Surabaya)
BERITAKU-Pokok pikiran dalam makalah ini sedikit berbeda dengan tema yang dikemukakan Panitia Seminar ini sebagaimana dikemukakan di dalam kerangka rujukannya, yaitu “Melihat HKBP dalam konteks Pluralisme”.
Pandangan yang ditawarkan di sini adalah melihat peran HKBP dalam perspektif multikulturalisme, yang pada hakekatnya berbeda dengan pluralisme, karena, pluralisme lebih merujuk kepada hadirnya sejumlah kebudayaan yang masing-masing memiliki identitas, ciri-ciri, dan keunikannya masing-masing.
Setiap kebudayaan adalah otonom, maka unsur pengikat keberagaman kebudayaan itu adalah kebijakan negara yang bahkan seringkali secara by force, dan inisiatif integrasi berada di tangan pemerintah yang membangun arena-arena di mana orang-orang yang berasal dari berbagai kebudayaan itu berinteraksi.
Konsep lain menyebutkan pluralisme kultural sebagai landasan masyarakat majemuk yaitu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih tradisi kultural, yang masing-masing memiliki bentuk-bentuk organisasi sosial, kegiatan-kegiatan kelembagaan, dan sistem kepercayaan-kepercayaan dan nilai-nilai yang berbeda satu sama lain, dan secara keseluruhan hanya merupakan kesatuan di dalam artian politis di mana sejumlah komunitas kultural berdasarkan ras yang berbeda berada di dalam kekuasaan suatu pemerintahan yang tunggal.
Salah satu kategori mayarakat majemuk yang secara kontekstual relevan dengan masyarakat Indonesia adalah apa yang disebut sebagai masyarakat majemuk dengan fragmentasi, yaitu masyarakat-masyarakat yang terdiri atas sejumlah besar kelompok etnis tanpa satupun di antaranya memiliki posisi politis yang dominan.
Masyarakat sedemikian ini sangat kuat ditandai oleh kehidupan politik yang labil, rendahnya kemampuan untuk mengembangkan koalisi yang diperlukan untuk mengakomodasi konflik-konflik yang pada umumnya cenderung bersifat anarkis sebagai akibat kecurigaan etnis.
Sementara itu, multikulturalisme ingin menumbuhkan kesadaran akan kehadiran kebudayaan-kebudayaan lain di lingkungan di dalam setiap kebudayaan. Kesadaran bahwa suatu masyarakat tidak hidup sendiri melainkan ada karena masyarakat lain, ingin ditumbuhkan dalam setiap kebudayaan.
Hasil yang diharapkan adalah perilaku toleran, saling menghargai, dan kerukunan antar-kebudayaan. Dengan multikulturalisme sebagai politik pengelolaan perbedaan kebudayaan warga negara, hasilnya diharapkan berkembangnya sikap toleran dan menghargai kebudayaan lain menjadi inti bagi terwujudnya integrasi.
Kerukunan, toleransi, dan saling menghargai bukan datang dari pemaksaan struktur seperti yang kerapkali terjadi pada integrasi sosial pluralisme, melainkan datang dari nilai-nilai budaya masyarakat yang ada. Perspektif multikulturalisme yang sederhananya merupakan diskursus untuk mengatasi perbedaan yang berasal dari keberagaman etnik dan budaya dalam suatu negara (bangsa) yang meliputi pemahaman dan penghargaan terhadap budaya lain.
Dalam prakteknya, multikulturalisme dipahami sebagai representasi yang produktif atas interaksi di antara elemen-elemen sosial yang beragam dalam suatu tataran kehidupan kolektif. Sebagai ajaran, multikulturalisme merujuk pada spirit, etos, dan keyakinan mengenai bagaimana keragaman atas unit-unit sosial yang berciri privat dan relatif otonom seperti etnisitas dan budaya, semestinya dikelola dalam ruang publik.
Prinsip multikulturalisme menolak fanatisme dan supremasi kultural yang menindas dan dapat mengancam keberagaman budaya, dan karena itu multikulturalisme bisa merupakan kritik bagi penyeragaman identitas melalui peleburan budaya ke dalam suatu kultur dominan.
Dalam paham penganut multikulturalisme, penyeragaman budaya adalah cara pendekatan yang sesat yang muncul akibat pemahaman kabur yang mensyaratkan homogenitas kultural, di mana dalam perspektif sedemikian itu, keberagaman etnis dan budaya dianggap sebagai kendala demi pembentukan identitas nasional yang kokoh sehingga ketika perbedaan muncul maka pilihan yang diambil adalah dengan melenyapkannya.
Multikulturalisme juga merupakan keyakinan bahwa kelompok-kelompok etnik dan budaya dapat hidup berdampingan secara damai dalam prinsip ko-eksistensi yang ditandai oleh kesediaan untuk menghormati budaya lain dan bagaimana kelompok etnik dan budaya itu memposisikan dirinya ke dalam suatu kehidupan bersama dalam suatu Nation State yang dikelilingi oleh nilai-nilai universal seperti demokrasi, keadilan, persamaan, kesetaraan gender, atau kemerdekaan. Bagaimana kelompok-kelompok etnik dan budaya yang berbeda itu di satu pihak memiliki kesanggupan untuk memelihara identitas kelompoknya. Namun di pihak lain mampu berinteraksi dalam ruang bersama yang ditandai oleh kesediaan untuk menerima pluralisme dan toleransi.
Multikulturalisme menawarkan realitas ganda bahkan realitas yang beragam sekaligus: kebedaan-kemiripan, keragaman-kesatuan, identitas-integrasi, lokalitas/partikularistik-universalitas, nasionalitas-globalitas.
Dengan semua ini multikulturalisme memfasilitasi pemahaman yang lebih baik dan mengeliminasi ketegangan dikotomis tentang realitas ganda atau keragaman di sekitar etnisitas dan budaya.
Multikulturalisme tidak dimaksudkan untuk menghilangkan keunikan atau kekhususan dari suatu etnik dan budaya, tidak juga dimaksudkan untuk meleburnya menjadi suatu generalitas, tapi lebih merupakan suatu formasi sosial yang membukakan jalan bagi dibangunnya ruang-ruang bagi identitas yang beragam dan sekaligus jembatan yang menghubungkan ruang-ruang itu untuk integrasi.
HKBP dan Multikulturalisme.
Mampukah HKBP mensosialisasikan paham multikulturalisme sedemikian itu? Untuk menjawab pertanyaan itu, perlu dipersoalkan beberapa hal khususnya dalam hubungan dan makna HKBP di tengah-tengah realitas perubahan sosial dan berskala global ini. Apakah HKBP sebagai institusi gereja merupakan pemelihara status quo hingga dia memilih menjadi konservatip ataukah dia harus menjadi the idea of progress?
Pertanyaan ini boleh jadi sulit dijelaskan di beberapa pihak dan kelompok tertentu namun tidak sulit bagi kelompok yang lain sebab di kalangan tertentu, HKBP senyatanya terkesan sebagai pemelihara status quo namun di sebagian kalangan lain, HKBP sesungguhnya bisa tampil sebagai the idea of progress.
Peran gereja sebagai pemelihara status quo adalah sama dengan menempatkan gereja sebagai kekuatan konservatip. Misalnya kuatnya anggapan di kalangan gereja bahwa kegiatan utamanya selayaknya ditujukan kepada upaya untuk berpartisipasi dalam nation building dan karena itu gereja berperan sebagai penjaga status quo.
Namun ketika sistem politik yang ada ternyata gagal memecahkan secara memadai soal-soal yang dihadapi mayoritas rakyat, seperti kemelaratan, kelaparan, pengangguran, konflik SARA, keadaan ini seakan-akan mengundang radikalisasi peran gereja atau agama pada umumnya dalam mempersoalkan fungsi serta perannya di masyarakat.
Radikalisasi sedemikian itu bisa dipahami melalui kiprah Teologia Pembebasan yang menyatakan pemberitaan injil memiliki fungsi penyadaran (konsientisasi) atau fungsi politik sebab: “hanya dengan cara menghidupi dan mengabarkan injil dengan komitmen terhadap pembebasan, hanya dengan solidaritas yang konkrit dan efektif bersama rakyat dan kelas-kelas masyarakat yang tertindas, hanya dengan cara melibatkan diri dalam perjuangan mereka maka dapat kita mengerti implikasi dari pesan-peean alkitabiah, serta membuatnya bergema dalam sejarah".
Ada yang berpendapat bahwa salah satu jasa dan sumbangan unik dari teologia Amerika Latin kepada dunia teologi Kristen pada umumnya adalah penemuan bahwa teologi, apalagi gereja, pada hakekatnya bukanlah kumpulan dogma-dogma yang abstrak, tapi sistematisasi sikap serta peristiwa konkrit, kontekstual.
Karena itu teologi pun seharusnya bukan kumpulan abstrak melainkan sebagian dari proses-proses historis, dan oleh sebab itu dia harus selalu diuji dan ditinjau kembali di dalam dan oleh pengalaman serta penghayatan peristiwa-peristiwa dunia, bangsa maupun perorangan. Dengan kata lain lagi, hakekat gereja adalah identitas historisnya.
Masalahnya, bagaimanakah pemahaman gereja HKBP dalam kediriannya di masa lalu, masa kini dan masa mendatang? Adakah HKBP dipahami bukan sebagai institusi yang sempurna dan suci murni yang mengantarai jemaatnya dengan Tuhan, tapi merupakan gereja manusia (Batak) biasa dengan daging dan darah? Pergolakan masyarakat adalah pergolakan gereja, dan unsur keputusan tiap anggota HKBP serta tindakannya dari waktu ke waktu bakal menentukan wujud kekristenan dalam sejarah.
Gereja HKBP, dengan tanpa mengurangi rasa hormat kepada unsur ilahi --selalu merupakan gereja dengan dan karena keputusan dan pilihan jemaat yang menjadi anggotanya.
Persoalan yang muncul dalam pemikiran ini adalah bagaimana HKBP dapat menjadi historis dan konkrit tanpa melepaskan hakiki yang harus disampaikannya. Atau pandangan yang melihat HKBP selalu merupakan hakekat yang historis, yang berjuang bersama perubahan dan kefanaan dan bukan suatu hakekat metafisik, yang tertutup, selesai, tak mengandung gerak dalam dirinya, dan mantap dalam keabadian.
HKBP bukan sebagai sesuatu yang selesai dan sempurna dan perlu dipertahankan, tapi sebagai hasil perkembangan dari waktu ke waktu dalam proses mencari, menyaring, menyesuaikan dan menemukan dirinya.
HKBP sebagai suatu struktur yang dibangun dalam suatu ruang tertentu (struktur dan lembaga sosial ataupun kebudayaan) dan HKBP sebagai exodus, "perjalanan terus-menerus menuju masa depan sambil meninggalkan perkemahan sebab di sini kita tidak mempunyai tempat tinggal tetap, kita mencari kota yang akan datang”.
Manapun pandangan yang dominan mengenai HKBP dewasa ini dia harus kembali melihat dirinya sebagai jemaat yang harus keluar dari struktur sosial yang nampaknya tidak lagi sesuai dengan masyarakat sebagaimana dikehendaki.
Era pemberdayaan masyarakat sipil dan era globalisasi akhirnya harus membawa HKBP kembali kepada exodus, dan melihat umat yang “pergi kepada-Nya di luar perkemahan dan menanggung kehinaan-Nya, karena di sini tak ada tempat tinggal yang tetap”.
Masalahnya, bagaimana menghubungkan antara exodus itu dengan the idea of progress HKBP dalam usianya yang ke-150 tahun? HKBP sebagai institusi civil society selayaknya perlu merumuskan sikap politik mengantisipasi dinamika masyarakatnya demi meningkatkan pelayanannya yang memberdayakan warganya.
Secara sosiologis, orang Batak memiliki kesadaran kolektif yang kental tentang agama. Dalam ungkapan Batak lama: Disi Sirungguk Disi Sitata; Disi Hita Hundul Disi Ompunta Martua Debata; jelas tercermin bagaimana komunitas persekutuan orang Batak dalam hal agama terentang dari masa agama lama yang dianutnya yang dalam terminologi misi penginjilan Kristen sering disebut sebagai praeparatio evangelica, hingga agama Kristen masuk ke tanah Batak.
Dalam konteks sosiologi agama, sulit memisahkan apakah kadar religiositas orang Batak, baik pribadi maupun persekutuan komunitas, makin berkurang atau makin bertambah setelah menerima “kabar baik” khususnya agama Kristen melalui HKBP. Tidak disangkal peran Rheinische Mission Gesselschaft (RMG) dan Ingwer Ludwig Nommensen merupakan pilar utama yang menyangga hamajuon orang Batak dari Prausorat ke Silindung hingga ke Toba Samosir.
Dengan kata lain, bukan saja nilai-nilai kekristenan yang merambah melalui RMG dan “Ompui” I.L. Nommensen itu orang Batak menerima “kabar baik” dalam religiositas, tapi juga suatu spirit modernisasi yang sekuler. Dalam hal ini bisa saja disebut Raja Pontas Lumbantobing orang Silindung pertama yang dibabtis Nommensen menjadi Kristen di Huta Dame adalah “bapak modernisasi orang Batak.” Terkurung dalam suatu splendid isolation demikian lama, komunitas Batak melalui pekabaran Injil mendorong spiritualitas ritme perubahan sosial lebih kencang.
Kalau kita pahami agama merupakan suatu kesadaran kolektip (collective consiousnees) dalam konteks pemilahan antara yang suci (the sacred) dengan yang duniawiah (the profane) kesadaran kolektip sedemikian itupun telah dianut orang Batak jauh sebelum nilai-nilai ke-Kristen-an memasuki Tanah Batak, apakah melalui upacara parbaringin, atau parmalim, atau apa pun sebutan terhadap itu termasuk apa yang sering disebut sebagai agama sipelebegu.
Agama lama orang Batak ini, yang meyakini Sang Maha Pencipta Ompu Mulajadi na Bolon Mula Tompa, merupakan bagian dari dunia the sacred yang direpresentasikan melalui Tonggo-tonggo: hutonggo, hupio, sahala ni da Ompung…. dst. Yang memiliki kekuatan untuk mengatur dunia yang profane, apakah adat-istiadat, hubungan sosial, hingga aktivitas sosial dalam memenuhi kebutuhan hidup.
Spiritualitas representasi the sacred itu, apakah hilang ketika spiritualitas HKBP merasuki kehidupan orang Batak? Di titik simpul ini muncul banyak interpretasi, bahkan pergumulan institusi-institusi agama di tanah Batak pada khususnya, dan orang Batak di manapun pada umumnya.
Bahkan konflik pertama dalam institusi gereja HKBP dipengaruhi oleh kesadaran itu, ketika muncul gerakan Hatopan Kristen Batak yang dipimpin H.M. Manullang yang menolak dominasi RMG atau penolakan pimpinan gereja di tangan orang asing yang mendorong berdirinya Huria Christen Batak (HCB).
Seminar : Prof. Hotman M. Siahaan saat menjadi pemateri pada seminar sehari yang diadakan Panitia Jubileum 150 Tahun HKBP (Distrik XXV Jambi) dengan Tema “HKBP MENJADI BERKAT DALAM PLURALITAS MASYARAKAT JAMBI“ di Jambi, Sabtu (16/7). foto batakpos/rosenman manihuruk
Dalam terminologi yang lain, bukankah apa yang dilakukan H.M. Manullang itu merupakan semangat nativisme ? Semacam pempribumian institusi agama, yang menolak pimpinan orang asing. Dalam konteks ini kita bisa menginterpretasi konsep Manjujung Baringinna dalam HKBP sebagai konsep otonomi namun masih menggunakan simbolisasi agama lama.
Bukankah konsep baringin, parbaringin, lahir dari kesadaran kolektif tentang Hariara Sundung Di Langit tempat para maha dewa dan manusia bermukim? Baringin adalah banian tree dalam konsep agama Batak, dan simbolisasi itu masih digunakan HKBP dalam melambangkan otonominya, ketika HKBP lepas sepenuhnya dari naungan RMG ketika pimpinan tertinggi “Vorzitter” HKBP dijabat orang Batak, Pendeta K.Sirait dari hasil Sinode Luar Biasa 10-11 Juli 1940. Bahkan sampai kini, tiap tahun pada hari minggu pertama bulan Juli selalu dirayakan sebagai pesta HKBP Manjujung Baringinna.
Yang mau dikatakan dengan semua ini adalah meski telah berusia 150 tahun, atau 71 tahun sesudah Manjujung Baringginna, spirit HKBP belum sepenuhnya berhasil mengeliminasi apa yang disebut sebagai praeparatio evangelica, agama kuno Batak tersebut. Spiritualitas persekutuan orang Batak seakan masuk ke dalam ambivalensi ketika urusannya menyangkut adat dan kebudayaan.
Di satu sisi telah menerima spiritualitas “kabar baik”, penyelamatan melalui jalan Kristus, namun di sisi lain spiritualitas kebudayaan yang dicerminkan melalui adat istiadat Dalihan Na Tolu dan ritual Mangongkal Holi misalnya, menunjukkan betapa kesadaran kolektif persekutuan agama orang Batak termasuk warga HKBP mengalami ambivalensi yang serius.
Apakah kenyataan sedemikian ini bermakna bahwa penyelamatan jalan Kritus belum sepenuhnya berhasil dilakukan HKBP atau merupakan pengakuan Injil dan Adat dalam spiritualitas HKBP? Dibutuhkan kajian yang lebih dalam sebab persoalannya menyangkut sejauhmana HKBP mentoleransi spiritualitas kebudayaan dan adat istiadat serta ritual yang menyertainya tetap dalam jalan penyelamatan Injil.
Larangan upacara Mangongkal Holi hingga saat ini masih dikukuhi HKBP, namun adakah larangan itu mengurangi ambisi kebanyakan warga HKBP untuk tidak melakukan upaara Mangongkal Holi? Makin maraknya bangunan tugu-tugu lelulur di seantero Tapanuli sampai saat ini merupakan jawabannya.
Tampaknya HKBP harus mengkaji ulang seluruh perannya sebagai salah satu institusi yang sangat besar dan begitu strategis dalam kehidupan masyarakat Batak. HKBP Na Bolon i, selayaknya memeriksa ulang kiprahnya agar spiritualitasnya sebagai Gereja Rakyat (volkskreek) sebagaimana memang itulah nyatanya dalam kehadiran HKBP sejak awal, bisa lebih kukuh menempatkan diri dalam konteks kebudayaan Batak yang juga telah mengalami perubahan.
Keterikatan orang Batak pada adatnya, pada Dalihan Na Tolu, bagaimanapun merupakan spiritualitas tersendiri, sementara HKBP sebagai institusi jalan penyelamatan melalui Kristus juga memiliki spiritualitasnya sendiri yang unik, yang boleh disebut merupakan gereja terbesar dengan anggota paling banyak di Indonesia.
Masalahnya, adakah spirit kebudayaan Dalihan Na Tolu yang begitu kuat dianut masyarakat Batak dengan spirit jalan keselamatan melalui Jesus Kristus yang diemban HKBP bisa melahirkan pemberdayaan atau justru marginalisasi salah satu atau bahkan kedua-duanya?
Pertanyaan ini selayaknya dikaji oleh para Teolog HKBP secara serius, setidak-tidaknya untuk menemukan teologia rakyat Batak yang otentik, sebab jawaban atas problema sedemikian ini akan merupakan asumsi dasar untuk menempatkan HKBP sebagai institusi Agama sekaligus institusi Kebudayaan dalam paham multikulturalisme, sehingga HKBP menjadi berkat dalam pluralitas masyarakat di Indonesia.Selamat menyongsong usia 150 Tahun HKBP!(Disampaikan Pada Seminar Sehari Panitia Jubileum 150 Tahun HKBP (Distrik XXV Jambi) di Hotel Ceria Maal Kapuk Jambi, Sabtu 17 Juli 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar