Drs Saur Hutabarat. Foto Rosenman Manihuruk.
Saur Hutabarat Pada Seminar HKBP di Jambi, Sabtu 16 Juli 2011.
Jubileum 150 Tahun HKBP
Jambi, BATAKPOS-Lembaga keagamaan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) merupakan benteng dalam pelestarian Adat Budaya Batak. HKBP juga sebagai lembaga keagamaan kesukuan yang terbesar di dunia juga diharapkan dapat melahirkan pemimpin Bangsa yang mumpuni.
Oleh karena itu, tak bisa lain, HKBP dalam konteks pluralitas jelas menyandang tugas berat karena sekaligus memikul dua dimensi minoritas, dua dimensi keanekaragaman, dua dimensi horizontal, yang terkadang sulit dipisahkan dari hubungan yang vertikal, yaitu dengan iman terhadap Sang Khalik Langit dan Bumi.
Selama ini HKBP yang memiliki jemaat paling banyak hingga kini belum mampu melahirkan pemimpin-pemimpin di daerah atau pusat yang dapat menjembatani umat Nasrani dalam memperoleh hak kebebasan Beragama.
HKBP masih cenderung tabu dalam hal politik yang juga memiliki hak konstituen dan hak konstitusional. HKBP harus memikirkan politik local sehingga mampu menempatkan jemaatnya duduk sebagai pejabat pengambil kebijakan di daerah.
Demikian dikatakan, Drs Saur Hutabarat (Direktur Pemberitaan Metro TV) dalam percikan pemikirannya dengan judul makalahnya “HKBP, BERKAT DAN PLURALITAS” pada Seminar Sehari Jubileum (HUT) HKBP Ke 150 Tahun di Jambi, Sabtu (16/7/2011).
Seminar yang mengangkat Tema “HKBP MENJADI BERKAT DALAM PLURALITAS MASYARAKAT JAMBI“ menampilan tiga pembicara masing-masing Prof. Hotman M. Siahaan ( Universtas Airlangga), Dr. Ir. Dompak M.T. Napitupulu, MSc (Dosen Universitas Jambi) dan Drs Saur Hutabarat (Direktur Pemberitaan Metro TV).
“Di tengah sebuah acara adat, seseorang yang duduk di samping saya bertanya secara personal, Sampai kapan adat Batak ini bertahan?, Selama masih ada HKBP jawab saya spontan. Yang bertanya kemudian diam, lalu tersenyum. Saya tidak tahu persis apa arti senyumnya itu. Yang jelas, dia tidak meneruskan pertanyaannya,”demikian kata Saur Hutabarat.
Menurutnya, episode itu ingin menunjukkan bahwa HKBP merupakan tiang utama untuk menyanggah dua aspek kemajemukan sekaligus. Sudah Batak, Kristen pula. Sudah Kristen, Batak pula. Terserah yang mana duluan disebut, hasilnya adalah minoritas pangkat dua yang menyatu dan melekat dalam satu tubuh dan jiwa yang bernama HKBP.
“Oleh karena itu, tak bisa lain, HKBP dalam konteks pluralitas jelas menyandang tugas berat karena sekaligus memikul dua dimensi minoritas, dua dimensi keanekaragaman, dua dimensi horizontal, yang terkadang sulit dipisahkan dari hubungan yang vertikal, yaitu dengan iman terhadap Sang Khalik Langit dan Bumi,”ujarnya.
Disebutkan, di sanalah bersemayam antitesis berkat, yaitu perbedaan dapat menjadi laknat dalam pluralitas. Berkat itu tipis jaraknya dengan laknat. Tanpa kearifan sosiologis, dalam konteks pluralitas, berkat dapat dengan mudah berubah menjadi laknat.
“Pertanyaannya, kearifan seperti apakah yang diperlukan? Hemat saya, baiklah diawali dengan kearifan atas perkara-perkara kecil. Sebab, "Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar,”katanya.
Menurut Saur Hutabarat, salah satu yang kecil itu ialah membuat daftar the don't's (pembiaran) dan the do's (perlakuan) dan melaksanakannya secara konsisten.
“Yang pertama, the don't's, memerlukan otokritik, yaitu hati yang terbuka ke dalam. Sedangkan yang kedua, the do's, memerlukan hati yang memberi, yaitu hati yang terbuka keluar. Contoh the don't’s ialah jangan parkir semau gue karena berpotensi bikin marah lingkungan sekitar gereja,”katanya.
Menurut pengamatan Saur Hutabarat, bukankah HKBP membangun gereja nyaris tidak disertai dengan pikiran bahwa umatnya akan bertambah-tambah berkatnya sehingga yang sekarang naik oplet kelak naik mobil sendiri dan karena itu memerlukan lahan khusus untuk parker.
“Berkat itu memang datang melimpah. Akan tetapi, dengan akibat merampas ruang publik bahkan juga ruang privat orang lain untuk parkir. Itu adalah laknat yang bisa menyulut konflik di tengah pluralitas,”ujarnya.
Menurut pria yang lahir di Jambi ini, contoh the do's ialah gereja ikut serta memberikan kambing atau lembu kepada RT/RW setempat pada hari raya Idul Adha. Sesuatu yang menunjukkan kerukunan beragama di tingkat horizontal.
Contoh lain yang bukan seremonial ialah HKBP mengambil peranan dalam pencegahan primer penyalahgunaan narkoba di kalangan remaja. Yaitu, dengan cara menghasilkan remaja-remaja yang mampu menjadi duta-duta antinarkoba di sekolah masing-masing.
“Semua itu digodok dan ditelurkan di lingkungan HKBP Center dan kemudian hasilnya masuk ke sekolah-sekolah secara personal maupun institusional. Semua itu contoh kearifan kecil. Tentu saja HKBP mampu memberikan kearifan besar,”ujarnya.
Disebutkan, berkat yang akan berbuah ialah memberi pancing dan bukan ikan. Dan itu jelas kearifan besar, bukan kecil. Adalah layak dipikirkan dan kemudian diwujudkan bahwa sekolah-sekolah di bawah naungan HKBP memberikan kuota 10 persen dari daya tampung gratis untuk masyarakat setempat.
“Memberikan persembahan persepuluhan menyenangkan hati Allah. Pun demikian pula kiranya memberikan persembahan persepuluhan bagi pendidikan masyarakat dimana gereja berada sebagai minoritas di tengah pluralitas,”kata Saur Hutabarat. Rosenman Manihuruk
Reuni : Pemateri Prof. Hotman M. Siahaan, Drs Saur Hutabarat (kedua dari kiri), Ketua Panitia Jubileum 150 HKBP (Distrik XXV-Jambi) Ir Dopang Tambunan (kedau dari kanan) didampingi Praeses HKBP Distrik XXV Jambi, Pdt David Farel Sibuea MTh, reuni pada seminar di Jambi, Sabtu (16/7). Ketiganya merupakan satu angkatan kuliah di Universitas Gajah Mada (UGM) 80an. Foto batakpos/ rosenman manihuruk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar