Penetapan
fungsi Kota Jambi sebagai “kota jasa” adalah sangat tepat, namun perlu disadari
bahwa penetapan ini membawa implikasi
yang luas pada berbagai aspek dan sudah barang tentu pula harus diikuti dengan perubahan-perubahan
yang mendasar agar dapat berkompetisi dengan kota-kota lainnya.
Ir Tigor GH Sinaga. Foto Rosenman Manihuruk |
ROSENMAN
Manihuruk, Jambi
Pengalaman
empiris mengajarkan bahwa, akibat penetapan fungsi kota tersebut, secara pasti struktur fisik Kota Jambi
akan berubah. Kawasan pusat kota akan mengalami perubahan fungsi yang sangat
cepat dari lokasi permukiman menjadi pusat kegiatan jasa, keuangan, pusat
perbelanjaan (supermall), perkantoran, pusat hiburan dan lainnya.
Seiring
dengan meningkatnya nilai properti terutama harga tanah, maka dengan
sendirinya permukiman akan bergeser ke arah “pinggiran” kota. Hal
tersebut merupakan fenomena umum kota-kota di dunia, terutama Asia Tenggara,
Bangkok, Manila dan Jakarta mengalami hal tersebut, demikian juga dengan kota
Johor Bahru, Penang, dan Surabaya, tentu dengan skala yang berbeda.
Demikian
dikatakan Ir Tigor GH Sinaga, Sekjen NHDC (National Housing Development
Community) kepada Harian Jambi. Menurutnya, memasuki abad ke 21 ini, gaya hidup
masyarakat perkotaan cenderung dituntut
efisien dan praktis, dengan segala kemudahan- kemudahannya.
Sementara kemajuan teknologi dan meningkatnya angka usia peluang hidup manusia telah pula menuntut naiknya standard tingkat kepuasan akan pelayanan. Dalam pertumbuhan perkotaan kecenderungan ini dapat terlihat dengan semakin menyebarnya pusat pusat kegiatan bisnis yang cederung mendekati daerah hunian.
Bahkan
dengan adanya kecenderungan munculnya kawasan atau lingkungan baru yang
dilengkapi pusat pusat pelayanan bisnis terpadu, guna memenuhi tuntutan akan
pelayanan tersebut.
Sementara
dengan keterbatasan lahan, pertumbuhan kota kearah horizontal dengan resiko
kemacetan, polusi dan pemborosan, bukan lagi merupakan pilihan yang bijak dan
dengan tingkat mobilitas masyarakat kota yang semakin tinggi.
“Maka
konsep pengembangan vertical house akan menggeser konsep pengembangan
landed house. Sehingga dengan sendirinya kecenderungan masyarakat untuk
tinggal pada rumah susun atau apartemen hanya menunggu waktu saja,” kata
lulusan Sarjana Arsitektur ITB ini.
Menurut
putra kelahiran Jambi berdarah Batak-Sunda/Jawa ini, pembangunan perumahan di Kota
Jambi begitu pesat. Sebagai bagian dari masyarakat perkotaan, tentu tidak dapat
lepas dari kecenderungan tersebut diatas, suka atau tidak, cepat atau lambat,
masyarakat dan pemerintah harus menyikapi hal tersebut.
Perlu
perumusan kebijakan yang komprehensif
dengan komitmen kuat guna
mengantisipasi dan mempersiapkan konsep hunian perkotaan yang dapat
mengakomodir berbagai kepentingan elemen perkotaan.
“Pengalaman
masa lalu Kota Batam dan Johor Bahru dengan budaya masyarakat yang tidak jauh
berbeda, mungkin dapat mengilhami masyarakat dan penentu kabijakan kita dalam
hal menyikapi masalah hunian perkotaan,” katanya.
Menurut
Tigor Sinaga, tanpa terpenuhinya kebutuhan rumah yang sehat dan layak, rasanya
sulit membayangkan kwalitas penerus bangsa. “Beberapa tahun lalu saya ikut
seminar Low Cost Housing di Athena,
negara maju aja sangat khawatir dan berfikir keras tentang pemenuhan kebutuhan
rumah untuk rakyatnya,” katanya.
Sulitnya Mengurus
IMB
Disebutkan,
penguasaan lahan yang jomblang dan tak terarah, perlu perhatian pemerintah ke depan,
sehingga harga rumah terkendali. Tigor Sinaga juga merasakan keberadaan dirinya
saat ini adalah bentukan masa lalu yang tak luput dari suasana rumah saat kecil.
“Bukankah
orang pintar mengatakan bahwa kemampuan dan kepribadian seseorang sangat
dipengaruhi lingkungan, dan lingkungan terkecil itu rumah. Rumah adalah tempat
calon pemimpin memperoleh pendidikan awal sekaligus wadah persemaian budaya. Tanpa
rumah yang layak rasanya sulit membayangkan kwalitas penerus bangsa ini,” ujar
Tigor.
Kata
Tigor Sinaga, bagaimana mungkin bangsa Indonesia ini maju dan dihormati bangsa
lain, kalau kebutuhan rumah rakyatnya sulit terpenuhi. Dirinya juga bertekad
untuk terus melayani kebutuhan rumah masyarakat.
Menyinggung
soal kepemilikan rumah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dan rencana
pembangunan Rumah Susun Sewa (RUSUNAWA) di Jambi, kata Tigor Sinaga, hal itu
harus diluruskan.
“Sesungguhnya
konstitusi menjamin hak setiap warga negara untuk tinggal di tempat yang layak
(UUD'45). Namun saat ini komitment itu sudah tak dijalankan sehingga
mengaburkan semua orientasi kebijakan instansi-instansi yang terkait perumahan
permukiman,” katanya.
Disebutkan,
distorsi harga akibat distorsi kebijakan mengakibatkan sulitnya masyarakat
memiliki rumah. “Itu yang membuat saya gemes dan ngotot untuk merubah keadaan
ini. Terkait Rusunawa, tinggal di rusun harus merubah kebiasaan tinggal di landed house termasuk sikap birokratnya yang berorientasi projek,” ujarnya.
“Banyak
yang harus dibenahi di negeri ini. Salah satunya kesiapan pemerintah daerah terkait
perijinan. Saya yang mencoba mengikuti himbawan Kementrian Perumahan untuk
membangun Rusunami/condotel pada dua
lokasi di Jambi, sampai saat ini satu IMB nya masih tersendatsendat. Terkendala
terbatasnya konsultan Amdal dan urusan yang bertele tele,” katanya.
Kata
Tigor GH Sinaga, jika Tuhan mengijinkan, dirinya juga punya program membangun
Rumah Rakyat Sehat dan Terjangkau (RRST) di setiap kota/ kabupaten. Seterusnya di
setiap kecamatan mungkin dapat meringankan guru-guru untuk mendapatkan RRST.
Rusunawa Jadi
Solusi
Menurut
anak pasangan dari U Sinaga-Siti Lomrah ini, di Batam tahun 2001 lalu, rumah
susun di Batam, khususnya rumah susun sewa, sudah merupakan alternatif utama Pemerintah
Kota Batam dalam mengatasi kebutuhan hunian perkotaan terutama dilingkungan
kawasan industri.
Kota
yang berpenduduk saat itu 543.000 jiwa ini, terdiri dari 8 kecamatan dengan
tingkat laju pertumbuhan penduduk sebesar 12,87% pertahun, 4% pertumbuhan
alami, selebihnya adalah pendatang.
Jumlah
tenaga kerja yang ada 185.195 orang, 48.074 orang belum mempunyai tempat
tinggal yang layak, sementara penanganan ruli (rumah liar) yang diperkirakan berjumlah 57.000 buah, baru
tertangani 50 % nya dan itupun belum sepenuhnya berhasil.
Pemerintah
kota telah melakukan upaya relokasi ruli dengan menyediakan kaveling siap
bangun, sementara upaya penataan lokasi dan pemutihan juga telah dilakukan bagi
lokasi tertentu.
Guna
memenuhi kebutuhan hunian perkotaan tersebut dan sebagai langkah antisipasi
kambuhnya rumah liar (ruli) Pemerintah Kota Batam memproyeksikan kebutuhan Rusunawa
sampai dengan 2006 minimal sebanyak 250 twin
block, terdiri dari150 Twin Block
T-21 (1 Twin Block 64 unit @ 4 orang) dan 100 Twin Block T-27 (1 Twin Block
96 unit @ 4 orang).
Sebagai
langkah realisasi tahun 2002 lalu, Pemerintah Kota Batam, melalui Batam Housing
Development Board (BHDB) akan segera membangun rusunawa di daerah kampung Aceh.
Pemerintah kota itu juga mengharapkan private
sector berperan dalam program ini
dengan memberikan kemudahan-kemudahan dalam berinvestasi antara lain mencakup
perizinan dan pembedaan harga tanah (Rp.6000,-/m² untuk Rumah susun dan Rs,
Rp.45.000,-/m² untuk komersial). (*/lee)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar