Sudah Berlangsung Selama 15 Tahun Terakhir, Sebagai Hasil Keputusan Seminar Marga Panjaitan yang berlangsung 10 – 11 Juni 1999 di Jatiluhur, Jawa Barat
Organisasi Punguan Panjaitan
dohot Boruna se – Jabodetabek dikenal sebagai pelopor dalam berbagai hal dalam
penyederhanaan adat Batak (Toba). Salah satu yang menonjol adalah
menyederhanakan jumlah ulos yang diberikan kepada pengantin boru Panjaitan yang
menikah, maupun yang diterima dari pengantin anak marga Panjaitan yang menikah ,dari
sebelumnya nyaris tak terbatas menjadi maksimal 17 helai, hingga akhirnya
dikurangi lagi menjadi 11 helai ulos saja.
Gustav Panjaitan / Br Hutauruk.ist |
Sepertinya 11 helai itu sudah
pas, ngak perlu lagi dikurangi,” kata Gustav Panjaitan salah seorang sesepuh
marga Panjaitan.
Penyederhanaan menjadi 11 helai
ulos itu sudah berlangsung selama 10 tahun terakhir, sebagai hasil keputusan
seminar marga Panjaitan yang berlangsung 10 – 11 juni 1999 di Jatiluhur, Jawa Barat.
Diluar 11 helai itu, kepada keluarga yang ingin memberikan sesuatu kepada
pengantin dipersilahkan memberikan amplop uang saja sebagai semacam pengganti
ulos yang disebut “ulos tinonun sadari”.
Gustav Panjaitan yang mantan
Pejabat Tinggi Pemda DKI Jakarta itu, dikenal sebagai tokoh di Punguan
Panjaitan dohot Boru mengatakan, pernah kejadian , seorang boru Panjaitan
ketika menikah direncanakan akan diberikan ulos 96 helai. Eh, tahu-tahu waktu
mau dikasih ulos ke-27 yang menerima pun sudah tidak ada dari pihak paranak.” Kata
Gustav berbicara kepada Batak Pos, Kamis (29/1/2009) dalam rangka menyambut Pesta Bona Taon Punguan
Ni Panjaitan & Boruna se-Jabodetabek , bertemakan “Panjaitan Talenta Indonesia
2009”, yang berlangsung Minggu (1/2/2009) di Gedung Tennis Indoor Senayan,
Jakarta.
Penyederhanaan lain yang
dilakukan oleh punguan MargaPanjaitan adalah pembagian jambar, yang tak lagi
didasarkan atas parompu-ompu, melainkan atas dasar kepengurusan yang tersebar
diberbagai wilayah di Jabodetabek. Pengurus yang lelah bekerja lebih pantas
diberikan jambar. Jadi enak karena yang capek dihargai,” kata Gustav.
Kemudian, penunjukan siapa yang
akan menjadi raja parhata di sebuah pesta pernikahan disederhanakan cukup diputuskan
oleh pengurus marga. Hal ini sangat kontras dengan marga-marga lain, yang masih
harus mempersilahkan utusan parompu-ompu memberikan pendapatnya, hingga
akhirnya menimbulkan kebosanan bahkan menyita waktu banyak.
“Kalau kita di Panjaitan enggak lagi,
sudah pengurus yang putuskan, itu yang bekerja.” Kata Gustav.
Atas dasar berbagai
penyederhanaan itu, kata Gustav, pengantin bisa membawa pulang uang 10 – 11 juta,
sebab pemberian ulos sudah digantikan dengan uang. Hasil lain penyederhanaan
adalah waktu pelaksanaan pesta pernikahan lebih singkat , tidak perlu hingga
bermalam-malam ria . “Dalam pesta-pesta pun kami selalu mengusahakan supaya
bisa selesai pkul 17.00 WIB. Kalaupun terlambat , paling-paling setengah jam.
Kubilang sama mereka, kalau lewat pukul 17.00 pulang aku” kata Gustav. (Haposan
Tampubolon/Batakpos Edisi Sabtu 31 Januari 2009 Halaman 1 (Kaki).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar