Halaman

Selasa, 24 September 2013

Punguan Marga Panjaitan Pelopor Penyederhanaan Adat Batak

Sudah Berlangsung Selama 15 Tahun Terakhir, Sebagai Hasil Keputusan Seminar Marga Panjaitan yang berlangsung 10 – 11 Juni 1999 di Jatiluhur, Jawa Barat

Organisasi Punguan Panjaitan dohot Boruna se – Jabodetabek dikenal sebagai pelopor dalam berbagai hal dalam penyederhanaan adat Batak (Toba). Salah satu yang menonjol adalah menyederhanakan jumlah ulos yang diberikan kepada pengantin boru Panjaitan yang menikah, maupun yang diterima dari pengantin anak marga Panjaitan yang menikah ,dari sebelumnya nyaris tak terbatas menjadi maksimal 17 helai, hingga akhirnya dikurangi lagi menjadi 11 helai ulos saja.

Gustav Panjaitan / Br Hutauruk.ist
 Sepertinya 11 helai itu sudah pas, ngak perlu lagi dikurangi,” kata Gustav Panjaitan salah seorang sesepuh marga Panjaitan.

Penyederhanaan menjadi 11 helai ulos itu sudah berlangsung selama 10 tahun terakhir, sebagai hasil keputusan seminar marga Panjaitan yang berlangsung 10 – 11 juni 1999 di Jatiluhur, Jawa Barat. Diluar 11 helai itu, kepada keluarga yang ingin memberikan sesuatu kepada pengantin dipersilahkan memberikan amplop uang saja sebagai semacam pengganti ulos yang disebut “ulos tinonun sadari”.

Gustav Panjaitan yang mantan Pejabat Tinggi Pemda DKI Jakarta itu, dikenal sebagai tokoh di Punguan Panjaitan dohot Boru mengatakan, pernah kejadian , seorang boru Panjaitan ketika menikah direncanakan akan diberikan ulos 96 helai. Eh, tahu-tahu waktu mau dikasih ulos ke-27 yang menerima pun sudah tidak ada dari pihak paranak.” Kata Gustav berbicara kepada Batak Pos, Kamis (29/1/2009)  dalam rangka menyambut Pesta Bona Taon Punguan Ni Panjaitan & Boruna se-Jabodetabek , bertemakan “Panjaitan Talenta Indonesia 2009”, yang berlangsung Minggu (1/2/2009) di Gedung Tennis Indoor Senayan, Jakarta.

Penyederhanaan lain yang dilakukan oleh punguan MargaPanjaitan adalah pembagian jambar, yang tak lagi didasarkan atas parompu-ompu, melainkan atas dasar kepengurusan yang tersebar diberbagai wilayah di Jabodetabek. Pengurus yang lelah bekerja lebih pantas diberikan jambar. Jadi enak karena yang capek dihargai,” kata Gustav.

Kemudian, penunjukan siapa yang akan menjadi raja parhata di sebuah pesta pernikahan disederhanakan cukup diputuskan oleh pengurus marga. Hal ini sangat kontras dengan marga-marga lain, yang masih harus mempersilahkan utusan parompu-ompu memberikan pendapatnya, hingga akhirnya menimbulkan kebosanan bahkan menyita waktu banyak.

“Kalau kita di Panjaitan enggak lagi, sudah pengurus yang putuskan, itu yang bekerja.” Kata Gustav.

Atas dasar berbagai penyederhanaan itu, kata Gustav, pengantin bisa membawa pulang uang 10 – 11 juta, sebab pemberian ulos sudah digantikan dengan uang. Hasil lain penyederhanaan adalah waktu pelaksanaan pesta pernikahan lebih singkat , tidak perlu hingga bermalam-malam ria . “Dalam pesta-pesta pun kami selalu mengusahakan supaya bisa selesai pkul 17.00 WIB. Kalaupun terlambat , paling-paling setengah jam. Kubilang sama mereka, kalau lewat pukul 17.00 pulang aku” kata Gustav. (Haposan Tampubolon/Batakpos Edisi Sabtu 31 Januari 2009 Halaman 1 (Kaki).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar