Oleh: Rosenman Manihuruk
MERAWAT Koruptor Sebagai Penghasilan Sampingan. Judul yang
nyeleneh. Biasanya yang dirawat itu orang yang sakit secara fisik, ini justru
koruptor, hehehe. Penghasilan sampingan juga biasanya penghasilan diluar
profesi atau abdi seseorang, namun ini untuk sampingan oknum, hehehe. Judul
diatas, penulis angkat karena melihat fenomena kasus-kasus tindak pidana
korupsi yang semakin membudaya. Bahkan istilah “ATM” (Antar Tunai Mulus) sudah
menjadi rahasia umum.
Salah seorang pengacara di Jambi pernah berucap kepada
penulis, “tak semua yang ditangani aparat yang bersentuhan dengan pejabat
publik itu gratis. Semuanya punya setoran bulanan atau ATM tadi”. Memang kadang
terpikir juga, kalau pemberantasan praktek korupsi di Negeri kita ini bakal
sulit dihentikan hanya gara-gara mental tadi.
Pada tulisan ini, saya membahas kasus-kasus di Provinsi
Jambi sajalah dulu. Terlampau jauh untuk menyoroti seantero negeri ini, yang
sudah mumet dengan kasus-kasus korupsi. Dalam pemberantasan kasus korupsi ini,
memang dibutuhkan aparat hukum yang bukan “Men-TUHAN-kan Duit”. Karena fulus
inilah semua bisa jadi “diatur” segala sesuatu perkara. Kekuatan finansial ini
memang selalu berentetan dengan penegak hukum.
Di Provinsi Jambi misalnya, ada kasus-kasus dugaan korupsi
yang sudah terang menderang terungkap, namun hanya bisa menjerat kelas-kelas
terinya saja. Contohkan saja kasus Pipanisasi Tanjung Jabung Barat. Kasus itu
justru dijadikan “Merawat Koruptor Sebagai Penghasilan Sampingan” hingga kini. Kasusnya
tidak tuntas. Dan material proyek Pipanisasi terbengkalai bagaikan bangkai.
Kasus lain misalnya Alkes 2011 lalu yang hanya menjerat
teri-terinya saja. Sedangkan kakapnya tenang-tenang menjadi ATM. Kasus lain
misalnya soal proses hukum kasus dugaan korupsi oleh Kadis DKP Provinsi Jambi
pada proyek Pabrik Pakan Ikan, Unit Pengelolaan Ikan (UPI), Kolam Dalam di
Puding serta Program Pakan Murah. Masih banyak lagi kasus lain. Lambat laun
juga akan terungkap sendiri.
Mendengar salah satu Slogan Radio Penegakan Hukum yang
berpusat di Bandung Jawa Barat dengan bunyi “Penguasa Jadi Pengusaha, Aparat
Jadi Keparat” selalu membuat ngiang di kepala, kadang memang betul akan hal
itu. Kadang sampai juga informasi mata rantai setan aparat itu ke telinga.
Salah satu mantan sopir salah satu mantan pejabat publik di
Jambi mengatakan, memang tidak gampang untuk jadi pejabat. Apalagi pejabat di
instansi yang penggarapan anggaranya banyak. Itu tidak mudah, semua harus diatur
supaya semuanya mulus berjalan.
Kegiatan ATM ini sering dilakukan mantan supir pejabat ini.
Satu kantong, satu amplop besar kuning lipatan Rupiah sudah sering dia antar ke
pada “Aparat Yang Jadi Keparat”. Pintu masuk ke ruang oknum itu mulus. Kalau
sudah ada tanda dari sianu, pintu ring satu langsung mulus dengan membawa
sekantong, amplop kuning besar itu.
Budaya “Merawat
Koruptor Sebagai Penghasilan Sampingan” inilah yang merontokkan sendi-sendi
Pemberantasan Korupsi di Negeri Tercinta ini, termasuk di Provinsi Jambi.
Semuanya hidup dalam lingkaran setan. Kecuali mereka yang masih berpegang teguh
pada Prinsip “Jauh dari Dosa”.
Keberadaan aparat penegak hukum semisal Kejaksaan,
Kepolisian, Pengadilan, tak lagi sempurna dalam menjalankan fungsinya sesuai
dengan sumpah jabatannya. Bahkan ada orang beranggapan, suatu perkara bisa
diatasi dengan kekuangan “Hepeng”. Makanya ada slogan negatif dikalangan Orang Batak “Hepeng Do Mangatur Negara On”. Bahkan
di Sumatera Utara, singkatan SUMUT diplesetkan sebagai “Semua Urusan Mestu Uang
Tunai”. Ngeri kan!!!.
Tapi kalau istilah di Jambi, penulis kurang paham. Namun
yang jelas Budaya ATM ini sudah mendarah daging bagi oknum-oknum pejabat publik
dan oknum penagak hukum, apalagi mereka yang mau pensiun dari Jambi ini.
KPK Buka Cabang?
Dalam menyikapi fenomena ini, Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) akan membuka cabang di daerah. Komisi Antirasuah dikabarkan ingin
mendirikan sejumlah kantor perwakilan di beberapa provinsi selain di Jakarta.
Mengutip SuaraPembaruan Edisi Senin (10/10/2016) Halaman 2
Utama, “Iya. Alasannya, lembaga itu ingin ada efesiensi anggaran namun tetap
tajam dalam pemberantasan korupsi. Jadi, kalau ada operasi OTT atau
pengembangan kasus di daerah, tak perlu mendesak digiring ke Kuningan (Jalan
Kuningan, Jakarta Selatan,Red),” kata sumber SP di gedung parlemen.
Sumber itu mengungkapkan, pembangunan kantor cabang itu
hanya di enam provinsi yaitu Riau, Sumut, Banten, Nanggroe Aceh Darussalam,
Papua dan Papua Barat.
Pimpinan KPK, katanya, langsung yang berkomunikasi dengan
Pimpinan DPR. “Ini ide menarik dan bagus, selama untuk pemberantasan korupsi.
Kita bakal sampaikan ke fraksi-fraksi. Saya kira ini tujuan bagus, maka tinggal
bagaimana menggiring opini keinginan KPK itu ke kawan-kawan,” katanya.
Disebutkan, kehadiran fisik KPK dalam satu daerah yang
tingkat korupsinya terbilang tinggi akan membantu pengembangan sebuah perkara. “Dia
harus melakukan penyelidikan dan penyidikan. Kalau hanya tangkap tangan melalui
penyadapan itu terbatas sekali. Salah satu jalan melalui struktur untuk
memperluas ke daerah-daerah yang menjadi efektif,” katanya. (Penulis Penggiat
Media dan Blogger, Tinggal di Jambi).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar