Halaman

Sabtu, 07 Januari 2017

Merawat Koruptor Sebagai Penghasilan Sampingan




Oleh: Rosenman Manihuruk

MERAWAT Koruptor Sebagai Penghasilan Sampingan. Judul yang nyeleneh. Biasanya yang dirawat itu orang yang sakit secara fisik, ini justru koruptor, hehehe. Penghasilan sampingan juga biasanya penghasilan diluar profesi atau abdi seseorang, namun ini untuk sampingan oknum, hehehe. Judul diatas, penulis angkat karena melihat fenomena kasus-kasus tindak pidana korupsi yang semakin membudaya. Bahkan istilah “ATM” (Antar Tunai Mulus) sudah menjadi rahasia umum.

Salah seorang pengacara di Jambi pernah berucap kepada penulis, “tak semua yang ditangani aparat yang bersentuhan dengan pejabat publik itu gratis. Semuanya punya setoran bulanan atau ATM tadi”. Memang kadang terpikir juga, kalau pemberantasan praktek korupsi di Negeri kita ini bakal sulit dihentikan hanya gara-gara mental tadi.

Pada tulisan ini, saya membahas kasus-kasus di Provinsi Jambi sajalah dulu. Terlampau jauh untuk menyoroti seantero negeri ini, yang sudah mumet dengan kasus-kasus korupsi. Dalam pemberantasan kasus korupsi ini, memang dibutuhkan aparat hukum yang bukan “Men-TUHAN-kan Duit”. Karena fulus inilah semua bisa jadi “diatur” segala sesuatu perkara. Kekuatan finansial ini memang selalu berentetan dengan penegak hukum.

Di Provinsi Jambi misalnya, ada kasus-kasus dugaan korupsi yang sudah terang menderang terungkap, namun hanya bisa menjerat kelas-kelas terinya saja. Contohkan saja kasus Pipanisasi Tanjung Jabung Barat. Kasus itu justru dijadikan “Merawat Koruptor Sebagai Penghasilan Sampingan” hingga kini. Kasusnya tidak tuntas. Dan material proyek Pipanisasi terbengkalai bagaikan bangkai.    

Kasus lain misalnya Alkes 2011 lalu yang hanya menjerat teri-terinya saja. Sedangkan kakapnya tenang-tenang menjadi ATM. Kasus lain misalnya soal proses hukum kasus dugaan korupsi oleh Kadis DKP Provinsi Jambi pada proyek Pabrik Pakan Ikan, Unit Pengelolaan Ikan (UPI), Kolam Dalam di Puding serta Program Pakan Murah. Masih banyak lagi kasus lain. Lambat laun juga akan terungkap sendiri.

Mendengar salah satu Slogan Radio Penegakan Hukum yang berpusat di Bandung Jawa Barat dengan bunyi “Penguasa Jadi Pengusaha, Aparat Jadi Keparat” selalu membuat ngiang di kepala, kadang memang betul akan hal itu. Kadang sampai juga informasi mata rantai setan aparat itu ke telinga.

Salah satu mantan sopir salah satu mantan pejabat publik di Jambi mengatakan, memang tidak gampang untuk jadi pejabat. Apalagi pejabat di instansi yang penggarapan anggaranya banyak. Itu tidak mudah, semua harus diatur supaya semuanya mulus berjalan.

Kegiatan ATM ini sering dilakukan mantan supir pejabat ini. Satu kantong, satu amplop besar kuning lipatan Rupiah sudah sering dia antar ke pada “Aparat Yang Jadi Keparat”. Pintu masuk ke ruang oknum itu mulus. Kalau sudah ada tanda dari sianu, pintu ring satu langsung mulus dengan membawa sekantong, amplop kuning besar itu.

Budaya  “Merawat Koruptor Sebagai Penghasilan Sampingan” inilah yang merontokkan sendi-sendi Pemberantasan Korupsi di Negeri Tercinta ini, termasuk di Provinsi Jambi. Semuanya hidup dalam lingkaran setan. Kecuali mereka yang masih berpegang teguh pada Prinsip “Jauh dari Dosa”.

Keberadaan aparat penegak hukum semisal Kejaksaan, Kepolisian, Pengadilan, tak lagi sempurna dalam menjalankan fungsinya sesuai dengan sumpah jabatannya. Bahkan ada orang beranggapan, suatu perkara bisa diatasi dengan kekuangan “Hepeng”. Makanya ada slogan negatif dikalangan  Orang Batak “Hepeng Do Mangatur Negara On”. Bahkan di Sumatera Utara, singkatan SUMUT diplesetkan sebagai “Semua Urusan Mestu Uang Tunai”. Ngeri kan!!!.

Tapi kalau istilah di Jambi, penulis kurang paham. Namun yang jelas Budaya ATM ini sudah mendarah daging bagi oknum-oknum pejabat publik dan oknum penagak hukum, apalagi mereka yang mau pensiun dari Jambi ini.

KPK Buka Cabang?

Dalam menyikapi fenomena ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan membuka cabang di daerah. Komisi Antirasuah dikabarkan ingin mendirikan sejumlah kantor perwakilan di beberapa provinsi selain di Jakarta. 

Mengutip SuaraPembaruan Edisi Senin (10/10/2016) Halaman 2 Utama, “Iya. Alasannya, lembaga itu ingin ada efesiensi anggaran namun tetap tajam dalam pemberantasan korupsi. Jadi, kalau ada operasi OTT atau pengembangan kasus di daerah, tak perlu mendesak digiring ke Kuningan (Jalan Kuningan, Jakarta Selatan,Red),” kata sumber SP di gedung parlemen.

Sumber itu mengungkapkan, pembangunan kantor cabang itu hanya di enam provinsi yaitu Riau, Sumut, Banten, Nanggroe Aceh Darussalam, Papua dan Papua Barat.

Pimpinan KPK, katanya, langsung yang berkomunikasi dengan Pimpinan DPR. “Ini ide menarik dan bagus, selama untuk pemberantasan korupsi. Kita bakal sampaikan ke fraksi-fraksi. Saya kira ini tujuan bagus, maka tinggal bagaimana menggiring opini keinginan KPK itu ke kawan-kawan,” katanya.

Disebutkan, kehadiran fisik KPK dalam satu daerah yang tingkat korupsinya terbilang tinggi akan membantu pengembangan sebuah perkara. “Dia harus melakukan penyelidikan dan penyidikan. Kalau hanya tangkap tangan melalui penyadapan itu terbatas sekali. Salah satu jalan melalui struktur untuk memperluas ke daerah-daerah yang menjadi efektif,” katanya. (Penulis Penggiat Media dan Blogger, Tinggal di Jambi).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar