Senin, 15 September 2014

Dilema Orang Rimba Bukit Dua Belas Jambi

Perumahan Orang Rimba Bantuan Depsos RI di Muaro Kilis, Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi  yang ditinggalkan Orang Rimba. Foto IST Willy Marlupi

Perumahan Orang Rimba Bantuan Depsos RI di Muaro Kilis, Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi  yang ditinggalkan Orang Rimba. Foto IST Willy Marlupi
Oleh : Willy Marlupi

Sepuluh dari dua belas ke-Tumenggungan Orang Rimba kini hidup di luar rumahnya “Bukit 12”. Mereka terpaksa hidup di pinggir-pinggir desa, di sepanjang jalan lintas, dan di areal-areal kerja perusahaan-perusahaan.

Ada yang mengemis di jalan raya, ada yang ke kabupaten-kota menjadi peminta-minta. Ada yang ke areal perusahaan yang kemudian ‘memajak’ kendaraaan yang sedang lewat dengan alasan yang terkadang menurut orang luar susah untuk dimengerti.

Orang Rimba yang selama ini dikenal dengan kearifan lokal dan berpegang teguh pada adat istiadat seolah-olah memudar. Resistensinya kemudian muncul. Kerap bentrok dengan masyarakat desa dan kerap menjadi korban karena berhadapan dengan kelompok masyarakat yang lebih dominan. Pelaku usaha yang tempatnya diduduki Orang Rimba menjadi serba salah, karena Orang Rimba diangap sesuatu yang punya ‘imunitas dan sangat sensitif’.

Jika dilihat dari keadaatannya, berpindahnya Orang Rimba disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, karena masih menjalani tradisi ‘melangun’ yaitu untuk menghilangkan rasa sedih akibat anggota keluarga meninggal dunia. Kedua, menghindari penyakit yang sedang mewabah Ketiga, kepentingan berladang dan mencari hasil hutan non kayu dan Keempat, menghindari perselisihan atau musuh.

Kenapa Orang Rimba keluar dari Bukit 12? Kenyataan di atas melahirkan pertanyaan dan rasa penasaran banyak pihak, sesungguhnya apa yang terjadi di Bukit Duabelas? apakah ada masalah dengan kehidupan Orang Rimba di sana? Apakah sumberdaya di Bukit Duabelas tidak mencukupi lagi kebutuhan hidup mereka?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut mari kita lihat kondisi terkini Orang Rimba Bukit 12


Tumenggung Ngamal dan Ngirang, kelompok ini dari kawasan Sungai Kejasung Kecil, wilayah  Bukit 12, Kabupaten Batanghari. Mereka meninggalkan Bukit 12 sudah dua tahun dan masuk ke areal kerja Perusahaan HTI di Kabupaten Batanghari.

“Kami di sini baru empat hari, kami ke sini mencari buah semangkuk dan berburu tringgiling, kami keluar Bukit 12 karena wilayah itu sudah jadi hutan lindung Taman Nasional (maksudnya TNBD-Taman Nasional Bukit Duabelas). Sejak itu jalan di sana tak pernah diperbaiki, rusak parah. “Kami tak bisa mengeluarkan hasil hutan atau kebun padahal kebun-kebun karet kami sudah ada yang bisa dipotong,” begitulah inti penjelasan Tumenggung Ngamal dan Tumenggung Ngirang menjawab pertanyaan kenapa meninggalkan wilayahnya, Kejasung Kecil, Bukit 12.

Tumenggung Lidah Pembangun

Kelompok ini diketahui masih satu kerabat dengan Kelompok Tumenggung Ngamal dan kelompok Tumenggung Ngirang. Kelompok ini juga sudah 3 tahun meninggalkan kampung halamannya Kejasung Kecil Bukit 12.

Kini mendiami areal kerja perusahaan HTI  Desa Muaro Killis, Lubuk Mandarsah dan Desa Suo-Suo, Kabupaten Tebo. Pola hidupnya bisa dikatakan sama dengan Kelompok Ngamal dan Ngirang.

Mereka masih mencari hasil hutan non kayu, tinggal di pinggir koridor perusahaan, dan masih kurang terbuka dengan dunia luar atau beberapa program pembangunan, rentan berbenturan dengan masyarakat desa ataupun pengguna jalan yang menempuh koridor perusahaan.

Tumenggung: Hasan, Buyung dan Bujang Kabut

Ketiga kelompok ini masih satu kekerabatan dengan kelompok Tumenggung Tupang yang pemanfaatan lahannya satu hamparan dengan kelompok Tumenggung Lidah Pembangun di wilayah Muaro Killis.

Baru-baru ini (8/14/2014) kelompok Tumenggung Bujang Kabut menjadi pusat perhatian karena insiden bentrokan dengan beberapa desa di Kecamatan Tebo Ulu, Kabupaten Tebo. Hubungan kekerabatan kelompok ini dengan Orang Rimba Bukit 12 terjalin dari hubungan Smendo-menyemendo atau tali perkawinan.

Khususnya kelompok Tumenggung Hasan dan kelompok Tumenggung Buyung yang diketahui punya hubungan Smendo dengan kelompok Orang Rimba Air Hitam Bukit 12, Kabupaten Sarolangun. Begitu juga dengan kelompok Cukai yang sudah cukup lama tinggal di Semerantihan dan sekarang bergabung dengan kelompok Tumenggung Hasan.

Karena adanya hubungan perkawinan antara kelompok ini otomatis terbangun interaksi yang cukup kuat antara Orang Rimba di wilayah bukit 12 ke wilayah Orang Rimba Bukit 30 sekitarnya.

Tumenggung: Majid dan Betaring

Kelompok Majid masih ada kekerabatan dengan kelompok Tumenggung Jelitai Kejasung Besar Bukit 12, juga dengan beberapa kelompok yang ada di wilayah Sungai Makekal.

Kini mereka tinggal di pinggir Desa Pematang Kabau tepatnya di ujung Jalan Singosari, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun. Kelompok Tumenggung Majid pernah mengalami benturan serius dengan Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) dan Balai Taman Nasional Bukit Duabelas (BTNBD) karena implikasi pelaksanaan kebijakan Taman Nasioanal.

Sosialisasi aturan TNBD yang melarang berladang dan berburu menambah tebalnya persoalan dan memaksa Orang Rimba Bukit 12 melaporkan kasus-kasus tersebut kepada Komnas HAM dan DPR RI di Jakarta (2007).

Kelompok Tumenggung Majid pernah beberapa kali menerima program perumahan yang dilakukan oleh departemen sosial, begitu juga dengan kelompok Bepak Beraden dan kelompok Air Panas di wilayah Air Hitam.

Seperti biasa pembangunan proyek perumahan oleh Depsos rata-rata adalah eks itu, atau dibangun di luar wilayah pemanfaatan komunitas dan tidak diikuti dengan penyediaan lahan seperti program transmigrasi pada umumnya, sehingga tidak bertahan lama karena dan tidak adanya pemberdayaan yang berkelanjutan.

Tumenggung Ngadap

Kelompok ini berada di Sungai Sungkai yang masuk dalam Perluasan TNBD Kabupaten Tebo. Sekarang mereka terpaksa tinggal di daerah lancar tiang wialayah Desa Tanah Garo.

Kelompok ini dengan kelompok Depati Laman Senjo, Depati Bepak Ngarap dan kelompok Ngukir (mantan Tumenggung Makekal hilir) adalah kelompok-kelompok yang belakangan diketahui sering berkonflik dengan masyarakat desa sekitarnya soal pemanfaatan lahan, juga berkonflik dengan pembangunan kebun sawit perusahaan yang sedang berjalan di wilayah tersebut.

Rata-rata kelompok Orang Rimba di wilayah ini sudah hidup dari hasil perkebunan karet yang mereka tanam sendiri. Dan bisa dikatakan bahwa kelompok-kelompok di wilayah ini adalah kelompok yang paling dulu mengenal dan menanam kebun karet di wilayah Bukit 12.

Bahkan di kelompok Depati Bepak Ngarap, Mendiang Wakil Tuha, ada tanaman karet yang sudah berumur lebih delapan puluh tahun.

Akses ke kelompok ini (dulu) hanya bisa dilakukan melalui Desa Tanah Garo dan Desa Tambun Arang dengan menelusuri Sungai Bernai ataupun Sungai Makekal, sejak adanya pembukaan transmigrasi di wilayah tersebut (1980-an) akses ke wilayah ini lebih dekat dari Desa Sungai Jernih atau Trans SPA Tanah garo.

Beberapa hari yang lalu kelompok Orang Rimba di sini juga mengalami bentrokan serius dengan beberapa masyarakat desa sekitarnya, sekalipun hanya disebabkan oleh persolan kecil seperti keserempet motor.

Tumenggung Celitai Makekal

Makekal Tengah dan Hulu kini dipimpin oleh Tumenggung Celitai atau yang biasa dipanggil dengan sebutan Bepak Kebelan. Wilayah Makekal Tengah dan Hulu berbatasan langsung dengan pemanfaatan lahan masyarakat Desa Rantau Limau Manis dan Rantau Panjang sekitarnya.

Persoalan di wilayah ini selain konflik lahan juga mengeluhkan tidak ada perbaikan jalan yang sudah sangat lama rusak parah. Saking hancurnya jalan di wilayah ini upah untuk angkut satu pikul karet mencapai Rp 200 ribu.

Hal ini sudah beberapa kali disampaikan kepada Bupati Tebo untuk ditindaklanjuti. Namun sampai dengan kini tidak terealisasi karena rute jalan tersebut masuk ke dalam perluasan taman nasional di tahun 2000.

Kini mau tidak mau, suka tidak suka, Orang Rimba di wilayah ini harus mengeluarkan upah mahal agar karet mereka terjual ke Desa SPA Tanah Garo atau Desa SPG Hitam ulu.

Tumenggung: Maritua dan Tumenggung Nyenong

Dua kelompok ini berasal dari wilayah Terap Bukit Duabelas, Kec Bathin XXIV Kabupaten Batanghari. Punya kekerabatan dengan kelompok-kelompok Orang Rimba Makekal karena juga hubungan Smendo-Mnyemendo.

Saat ini berada di lahan Perusahaan HTI yang berada di Kecamatan Pauh Kabupaten Sarolangun yang secara posisi berada di wilayah timur perluasan TNBD. Jika dilihat dari pola hidupnya kelompok ini hampir sama dengan kelompok Tumenggung Ngamal, Ngirang dan Kelompok Tumenggung Lidah Pembangun.

Sering berpindah-pindah karena belum ada kepastian ekonomi seperti kebun yang sudah menghasilkan. Kelompok ini juga sangat jarang diakses pemerintah karena sifatnya yang masih tertutup dan akses ke lokasi mereka yang rusak parah.

Tumenggung Jelitai

Kelompok ini berasal dari Kejasung Besar Bukit 12 Kabupaten Batanghari. Seperti yang sudah disampaikan di atas kelompok Jelitai masih kekerabatan dengan kelompok Tumenggung Majid di Air Hitam dan kelompok-kelompok di wilayah Makekal.

Dua tahun terakhir ada proyek perumahan dari Departemen Sosial sebanyak 50 unit rumah di kelompok ini. Tapi perumahan tersebut tak lama ditinggalkan karena dibangun di desa Padang Kelapo yang secara geografis bukan wilayah pemanfaatan mereka.

Kelompok ini sekarang intens di Desa Sungai Rengas karena sudah membentuk organisasi sendiri, mungkin dengan begitu mereka lebih merasa mandiri dalam mencapai tujuan yang mereka perjuangkan.

Jauh sebelum menerima program perumahan dan membentuk organisasinya sendiri, kelompok ini hidup dan berkembang di wilayahnya Kejasung Besar Bukit 12 yang juga masuk dalam perluasan taman nasional tahun 2000.

Padahal di wilayahnya Kejasung Besar Bukit Duabelas sudah banyak kebun karet mereka yang sudah produksi atau menghasilkan, namun karena minimnya akses terpaksa memilih hidup di luar wilayahnya dengan bekerja kasar atau serabutan.
.
Histori Taman Nasional Bukit Duabelas

Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 258/Kpts-II/2000, tanggal 23 Agustus 2000 yang merubah fungsi  Hutan Produksi, Areal Penggunaan Lain, Suaka Alam dan Pelestarian Alam/Cagar Biosfer menjadi Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) seluas 60.500 hektare yang terletak di tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Batanghari (65%), Kabupaten Sarolangun (15%), dan Kabupaten Tebo (20%) di Provinsi Jambi.

Perubahan status wilayah Bukit 12 menjadi taman nasional sejak awal sudah menuai kontroversi, karena di dalam wilayah Bukit 12 yang menjadi taman nasional hidup 60 kelompok Orang Rimba yang secara kultur berladang dan berburu. Hal demikian tentunya sangat bertolak belakang dengan ketentuan dan prinsip taman nasional dalam melindungi flora dan fauna di dalam kawasan.

Sistem zonasi yang melekat dalam rencana pengelolaan taman nasional menjadi sulit berjalan karena disebabkan oleh kultur Orang Rimba sendiri, dan sistem zonasi juga ada rencana memindahkan kelompok-kelompok Orang Rimba ke zona pemanfaatan yang berada di pinggir taman nasional, sedangkan masing-masing kelompok Orang Rimba sudah memiliki wilayah kelola, ketentuan adat dan wilayah pemanfaatannya sendiri.

Pantauan Komnas HAM di Bukit 12

Berdasarkan Laporan Akhir Pemantauan Dugaan Pelanggaran Hak Masyarakat Adat Orang Rimba Maret 2007 yang dilakukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KomnasHam), tercatat duabelas pelanggaran akibat kebijakan dan perluasan TNBD.

Pertama, Hak Kelompok khusus, di mana pemerintah secara umum belum memberikan perlakukan dan perlindungan lebih terhadap Orang Rimba sebagai kelompok khusus dalam kebijakan pembangunan.

Kedua, Hak terhadap tanah ulayat, di mana ada upaya dari kebijakan TNBD mengurangi dan atau tidak mengakui hak ulayat Orang Rimba. Ketiga, Hak hidup secara bemartabat, di mana telah terjadi pembatasan, pengurangan, dan pelarangan terhadap aktivitas kehidupan Orang Rimba sebagai akibat kebijakan TNBD.

Keempat, Hak atas kesehatan, di mana pemerintah tidak menyediakan sarana dan prasarana kesehatan yang layak, mampu diakses, dan dapat diterima Orang Rimba. Kelima, Hak atas pendidikan, di mana pemerintah tidak menyediakan sarana dan prasarana pendidikan yang layak, mampu diakses, dan dapat diterima Orang Rimba.

Keenam, Hak atas informasi, di mana pemerintah tidak memberikan dan menyediakan informasi yang cukup, adil, dan transparan dalam kebijakan TNBD secara umum. Ketujuh, Hak atas pengembangan diri.

Dimana program pemerintah untuk memukimkan Orang Rimba di desa telah menyebabkan kehidupan Orang Rimba tidak berkembang, bahkan sebaliknya menyebabkan pengembangan diri Orang Rimba terhambat.

Kedelapan, Hak atas rasa aman, di mana telah terjadi pelanggaran hak atas rasa aman, di mana telah terjadi ancaman dan pelarangan aktivitas hidup Orang Rimba, perusakan hak milik yang menyebabkan ketenangan hidup Orang Rimba terusik dan terganggu.

Kesembilan, Hak atas kepemilikan, di mana telah terjadi perusakan dan pemusnahan atas hak milik Orang Rimba, maupun upaya dari kebijakan taman nasional yang berpotensi menghambat, membatasi, dan mengurangi hak milik Orang Rimba.

Kesepuluh, Hak untuk berpartisipasi, di mana pemerintah tidak membuka dan tidak mengajak partisipasi Orang Rimba dalam perencanaaan, perumusan, dan implementasi kebijakan taman nasional, khususnya atas penyusunan buku rencana pengelolaan taman nasional.

Kesebelas, Hak atas status kewarganegaraan, di mana pemerintah tidak memberikan hak berupa akta kelahiran bagi setiap anak Orang Rimba yang lahir sebagai bagian dari perlindungan dan pengakuan atas keberadaan Orang Rimba.

Dan Keduabelas, Hak atas lingkungan hidup, di mana lingkungan alam sebagai habitat hidup dan sumberdaya penghidupan Orang Rimba telah rusak, di antaranya oleh kebijakan hak pengusahaan hutan dan ekspansi perkebunan sawit.
           
Namun, sampai saat ini temuan dari Komnas HAM seperti tidak serius ditindaklanjuti oleh Pemerintah yang akhirnya membuat kehidupan Komunitas Orang Rimba semakin terpinggirkan. Persoalan-persoalan yang terjadi pada kehidupan Orang Rimba pun seolah terabaikan. (Penulis Adalah Pendiri Sokola Rimba, Jambi_Indonesia)HP 085279979376



Tidak ada komentar: