JAMBI-Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 19 Mei
2015 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate sebesar 7,50%, dengan suku bunga
Deposit Facility 5,50% dan Lending Facility pada level 8,00%. Keputusan
tersebut sejalan dengan stance kebijakan moneter yang cenderung ketat untuk
menjaga agar inflasi berada dalam sasaran 4±1% pada 2015 dan 2016, serta
mengarahkan defisit transaksi berjalan ke tingkat yang lebih sehat dalam
kisaran 2,5-3% terhadap PDB dalam jangka menengah.
Sementara itu, untuk memelihara momentum pertumbuhan
ekonomi, Bank Indonesia melonggarkan kebijakan makroprudensial melalui revisi
ketentuan GWM-LDR, ketentuan LTV untuk Kredit Kepemilikan Rumah (KPR), serta
ketentuan pembayaran uang muka (down payment) untuk Kredit Kendaraan Bermotor (KKB).
Bank Indonesia juga terus memperkuat koordinasi dengan Pemerintah tidak saja
dalam mengendalikan inflasi dan defisit transaksi berjalan, tetapi juga dalam
mempercepat stimulus fiskal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Demikian diterangkan Direktur Eksekutif Departemen
Komunikasi BI, Tirta Segara. Menurutnya, untuk itu, Bank Indonesia mendukung
upaya Pemerintah untuk mempercepat realisasi proyek-proyek infrastruktur dan
melanjutkan berbagai kebijakan struktural untuk menumbuhkan optimisme pelaku
ekonomi terhadap perbaikan prospek ekonomi Indonesia.
Pemulihan ekonomi global masih berjalan tidak seimbang
dengan risiko di pasar keuangan global yang masih tinggi. Pertumbuhan ekonomi
diperkirakan tidak secepat perkiraan semula seiring lebih rendahnya prakiraan
pertumbuhan ekonomi AS dan Tiongkok. Prakiraan ekonomi AS tersebut didorong
oleh melambatnya kegiatan produksi, terutama akibat menurunnya permintaan
eksternal sejalan dengan penguatan dolar AS terhadap mata uang dunia.
Perkembangan ini telah mendorong berlanjutnya
ketidakppastian waktu dan besarnya kenaikan suku bunga Fed Fund Rate (FFR) di AS
dan tekanan pembalikan modal portfolio dari emerging markets. Perlambatan
ekonomi juga dialami Tiongkok yang ditandai oleh terus melemahnya sektor
perumahan dan sektor produksi manufaktur, walaupun berbagai kebijakan
pelonggaran telah dilakukan untuk menahan perlambatan ekonomi.
Sebaliknya, perekonomian Eropa diperkirakan terus membaik
ditopang pelonggaran kondisi moneter dan keuangan serta dampak penurunan harga
minyak. Perekonomian dunia yang melambat berdampak pada harga komoditas
internasional yang masih terus menurun, meskipun harga minyak dunia mulai
kembali mengalami kenaikan.
Di sisi domestik, pertumbuhan ekonomi pada triwulan I 2015
melambat, namun diperkirakan akan membaik pada triwulan-triwulan mendatang.
Pertumbuhan pada triwulan I 2015 tercatat sebesar 4,7% (yoy), melambat
dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 5,0% (yoy). Hal ini terutama didorong
lemahnya kinerja beberapa komponen permintaan domestik terutama konsumsi
pemerintah dan investasi pada sektor bangunan.
Belum terealisirnya belanja pada beberapa kementerian dan
lembaga yang baru serta masih terbatasnya belanja modal terkait dengan
implementasi proyek-proyek infrastruktur pemerintah mengakibatkan lemahnya
kinerja konsumsi pemerintah dan investasi bangunan. Secara spasial, perlambatan
ekonomi pada triwulan I 2015 terjadi hampir merata di seluruh wilayah
Indonesia, baik di wilayah Jawa dan Jakarta, yang mengandalkan sektor
manufaktur, maupun wilayah Sumatera dan Kalimantan, daerah penghasil komoditas
sumber daya alam.
Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan
membaik terutama pada semester II-2015, didukung oleh meningkatnya konsumsi dan
investasi sejalan dengan meningkatnya realisasi pengeluaran fiskal oleh
pemerintah serta meningkatnya penyaluran kredit oleh perbankan.
Ke depan, percepatan realisasi belanja Pemerintah baik di
kementrian/lembaga dan untuk implementasi proyek-proyek infrastruktur menjadi
kunci dalam mendorong pertumbuhan ekonomi 2015.
Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada triwulan I 2015
mencatat surplus, terutama ditopang oleh menurunnya defisit transaksi berjalan.
Defisit transaksi berjalan tercatat sebesar 3,8 miliar dolar AS (1,8% PDB) pada
triwulan I 2015, lebih rendah dari triwulan sebelumnya sebesar 5,7 miliar dolar
AS (2,6% PDB) dan triwulan yang sama tahun sebelumnya sebesar 4,1 miliar dolar
AS (1,9% PDB).
Peningkatan kinerja transaksi berjalan terutama ditopang
oleh perbaikan neraca perdagangan migas, seiring dengan menyusutnya impor
minyak karena harga minyak dunia yang lebih rendah dan turunnya konsumsi bahan
bakar minyak (BBM) sebagai implikasi positif dari reformasi subsidi energi.
Sementara itu, neraca perdagangan Indonesia pada April 2015
menunjukkan perkembangan yang positif dengan mencatat surplus sebesar 0,45
miliar dolar AS, ditopang oleh kenaikan surplus neraca nonmigas. Di sisi lain,
transaksi modal dan finansial tetap mencatat surplus triwulan I 2015, di tengah
meningkatnya ketidakpastian di pasar keuangan global.
Surplus transaksi modal dan finansial tersebut terutama
ditopang oleh aliran masuk modal asing dalam bentuk investasi portofolio dan
investasi langsung. Dengan perkembangan tersebut, cadangan devisa pada akhir
April 2015 tercatat sebesar 110,9 miliar dolar AS atau setara dengan 6,9 bulan
impor atau 6,7 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah, serta
berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Ke depan,
Bank Indonesia akan terus mewaspadai risiko peningkatan defisit transaksi
berjalan seiring kenaikan impor menjelang lebaran, serta pola musiman
pembayaran Utang Luar Negeri dan dividen.
Nilai tukar rupiah mengalami tekanan seiring penguatan
dolar AS terhadap hampir semua mata uang. Pada triwulan I 2015, rupiah secara
rata-rata melemah sebesar 4,4% (qtq) ke level Rp12.807 per dolar AS.
Penguatan dolar AS yang terjadi terhadap mayoritas mata
uang dunia ditopang oleh ekonomi AS yang membaik dan kebijakan QE ECB. Namun,
rupiah kembali menguat di bulan April 2015 sejalan dengan koreksi dolar AS dan
persepsi risiko perekonomian domestik yang membaik. Rupiah secara rata-rata
menguat 0,95% (mtm) ke level Rp12.944 per dolar AS.
Ke depan, Bank Indonesia terus menjaga stabilitas nilai
tukar rupiah sesuai dengan fundamentalnya, sehingga dapat mendukung stabilitas
makroekonomi yang terjaga dan penyesuaian ekonomi ke arah yang lebih sehat dan
berkesinambungan.
Inflasi pada April 2015 tetap terkendali dan mendukung
pencapaian sasaran inflasi 2015 yakni 4,0±1%. Inflasi IHK bulan April 2015
tercatat sebesar 0,36% (mtm) atau 6,79% (yoy), meningkat dari 0,17% (mtm) dan
6,38% (yoy) di bulan sebelumnya. Peningkatan tekanan inflasi bersumber dari
kenaikan kelompok barang dan jasa yang harganya diatur Pemerintah (administered
prices), sementara tekanan inflasi yang bersumber dari kelompok inti dan bahan
makanan bergejolak (volatile food) relatif masih terjaga.
Peningkatan inflasi administered prices terutama didorong
oleh kenaikan harga bensin premium dan bensin solar di akhir bulan Maret 2015,
tarif angkutan dalam kota, serta bahan bakar rumah tangga. Sementara itu, kelompok
volatile food secara bulanan masih mencatat deflasi seiring dengan masa panen.
Di sisi lain, inflasi inti relatif terjaga dan tercatat
sebesar 0,24% (mtm) atau 5,04% (yoy), seiring dengan permintaan domestik yang
masih moderat dan ekspektasi inflasi yang terkendali. Ke depan, Bank Indonesia
akan terus mencermati berbagai faktor risiko yang memengaruhi inflasi,
khususnya terkait dengan perkembangan harga minyak dunia, penyesuaian
administered prices, serta faktor musiman menjelang Ramadhan dan lebaran.
Stabilitas sistem keuangan tetap solid ditopang oleh
ketahanan sistem perbankan dan relatif terjaganya kinerja pasar keuangan.
Ketahanan industri perbankan tetap kuat dengan risiko kredit, likuiditas dan
pasar yang cukup terjaga, serta dukungan modal yang kuat.
Pada Maret 2015, rasio kecukupan modal (Capital Adequacy
Ratio/CAR) masih tinggi, sebesar 20,7%, jauh di atas ketentuan minimum 8%.
Sementara itu, rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) tetap rendah
dan stabil di kisaran 2,4% (gross). Kondisi likuiditas cukup memadai
sebagaimana tercermin pada pertumbuhan DPK pada Maret 2015 tercatat sebesar
16,0% (yoy), meningkat dari bulan sebelumnya sebesar 15,2% (yoy). Sementara
itu, pertumbuhan kredit masih rendah yaitu tercatat 11,3% (yoy), menurun dari
bulan sebelumnya sebesar 12,2% (yoy).
Ke depan, Bank Indonesia meyakini pertumbuhan kredit akan
meningkat dan diperkirakan dapat mendekati kisaran 15%-17% didukung oleh cukup
memadainya kondisi likuiditas perbankan, meningkatnya aktivitas ekonomi sejalan
dengan ekspansi keuangan Pemerintah, serta pelonggaran kebijakan
makroprudensial. Bank Indonesia segera merevisi ketentuan GWM-LDR dan
berkoordinasi dengan OJK melakukan revisi ketentuan LTV untuk Kredit
Kepemilikan Rumah (KPR), serta ketentuan pembayaran uang muka (down payment)
untuk Kredit Kendaraan Bermotor (KKB). (Lee)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar