Zumi Zola Silaturahmi di Batanghari |
Jambi, MR-Pada tahun 2015, merupakan tahun politik Pemilihan Umum
Kepala Daerah (Pemilukada) se Provinsi Jambi. Karena tahun ini ada Pemilukada
serentak di Indonesia, termasuk di Provinsi Jambi. Provinsi Jambi, tahun
politik ini berlanjut hingga Desember 2015, karena akan ada pemilihan Gubernur Jambi, sejumlah Bupati dan
Walikota Sungai Penuh periode 2016-2021.
Sekarang ini di Provinsi Jambi, semua warga Jambi diberbagai
lapisan sosial, mulai dari kota hingga pedesaan mulai dihembuskan aroma
politik. Mulai dari kaum terpelajar sampai rakyat di setiap sudut negeri Jambi.
Ketua CEPP (Central Election Political Party) Provinsi
Jambi, Drs, As’ad Isma, M. Pd kepada Media Regional baru-baru ini mengatakan, hampir semua
terlibat secara emosional dalam pembicaraan dan diskusi tentang Pilkada, baik
tentang partai politik, tentang figur calon kepala daerah hingga prediksi siapa
Balon yang bakal terpilih dan duduk dikursi Bupati, Walikota dan Gubernur
Jambi.
Begitu juga rakyat, punya prediksi sendiri, dengan melakukan
survey ala mereka sendiri, siapa siapa yang tidak bakal terpilih pada tanggal
Desember nanti. Prediksi masyarakat ini, tentunya berdasarkan asumsi yang
terbangun dalam pikiran mereka, ada yang obyektif, namun tidak sedikit yang
menilai secara subyektif, karena tentunya dipengaruhi hubungan emosional dan
kekerabatan dengan sang sang caleg itu sendiri.
Di sisi lain, kata
As’ad Isma, tahun politik ini, tidak hanya para balon yang berkompetisi secara
ketat dalam menggalang suara. Warga masyarakat justru terkotak kotak sebagai
akibat dukungan yang diberikan kepada balon yang berbeda.
“Polarisasi yang muncul di tengah masyarakat ini sedikit
mengganggu kohesi sosial, malahan relasi sosial menjadi tegang, akibat pengkutuban
politik di atas. Merenggangnya relasi sosial tentu disebabkan karena belum
matangnya pemahaman demokrasi baik di tingkat calon anggota legislative,”
ujarnya.
Maupun rendahnya pemahaman demokrasi di tingkat masyarakat.
Kesemuanya itu berawal dari lemahnya edukasi poliitik yang didapatkan oleh
parpol dan Anggota DPRD maupun kurangnya edukasi politik yang didapatkan
masyarakat.
Disebutkan, partai politik di Indonesia memang masih belum
maksimal menjalangkan fungsi edukasinya. akibatnya, yang terjadi masyarakat
tidak terdorong partisipasi. Politiknya, justru yang terjadi adalah aktivitas
mobilisasi masyarakat, tanpa diimbangi kesadaran politik.
“Implikasi lain dari mobilisasi politik ini adalah, pilihan
politik masyarakat tidak lagi berdasarkan landasan obyektif, tidak lagi
mempertimbangkan integritas
mempertimbangkan integritas, lapabilitas dan komitmen sang balon,”
ujarnya.
Lemahnya pemahaman masyarakat tentang demokrasi, serta
rendahnya pemaknaan tentang Pemilukada, juga mempengaruhi perilaku politik
warga. Masyarakat cenderung pragmatis, dan melihat politik sebagai media
transaksi, dan akibatnya uang dan materi menjadi ukuran bagi warga dalam
memilih.
Menurut As’ad Isma, oleh karenanya politik uang bukan lagi
menjadi isu, tapi menjadi fakta nyata. Inilah yang membuat Pemilukada seakan
menjadi pesta tanpa makna, demokrasi tanpa substansi. Demokrasi dalam konteks
pemilu bukanlah demokrasi substansial, demokrasi bersifat prosedural dan
terkesan hanya seremonial dan formalitas belaka.
Cacat demokrasi ini juga dipengaruhi oleh perilaku elit
politik. Terutama para pemimpin politik, yang secara terbuka mempertontonkan
penyalahgunaan aturan dan kekuasaan. Hal
ini dapat dibuktikan ketika setiap even pemilukada, termasuk pemilu legislatif
ini.
“Para kepala daerah, yang sekaligus menjadi ketua partai
politik memobilisasi pegawai negeri sipil untuk mendukung partai yang dipimpin
oleh kepala daerah tempat dia bertugas. Biasanya mobilisasi PNS ini dilakukan
menggunakan sistem sel. Dimana para kepala SKPD, diberi perintah untuk
menggerakkan stafnya dalam menggalang dukungan politik. Padahal dalam Undang
Undang Kepegawaian dengan tegas mengatur tentang netralitas pegawai negeri
sipil terhadap partai politik, termasuk netralitas pegawai negeri sipil dalam
konteks Pemilu legislatif, pemilihan bupati, pilkada Gubernur dan Pemilihan
Presiden,” katanya.
Persoalan ini bila kita uraikan, tentu berpangkal dari
lemahnya pemahaman tentang UU kepegawaian, juga lemahnya sanksi terhadap
pegawai negeri sipil yang melanggar Undang Undang tersebut.
Sejak zaman Zulkifli Nurdin jadi Gubernur kala itu, para PNS
di lingkungan Pemerintah Provinsi, dan SKPD diarahkan untuk mendukung PAN.
Begitu juga dilingkungan Pemkab Tanjung Jabung Timur, semua pegawai negeri
sipil diarahkan untuk mendukung PAN.
Pertanyaannya adalah, apakah HBA selaku Ketua DPD Demokrat
Provinsi Jambi dan beberapa bupati yang juga ketua partai demokrat, akan
menggerakkan PNS untuk mendukungnya di Pilgub mendatang?
Atau apakah Walikota Jambi, SY Fasha yang juga petinggi
Golkar dan Cek Endra Bupati Sarolangun yang juga Wakil Ketua Golkar Provinsi
Jambi akan menggerakkan PNS untuk memenangkan pasangan calon Gubernur Jambi?
Atau juga apakah Zumi Zola selaku Bupati Tanjung Jabung Timur yang juga Ketua DPW
Partai Amanat Nasional Provinsi Jambi akan menggerakkan PNS dilingkungan Pemkab
Tanjabtim untuk memenangkan Pilgub nantinya?
Nah, jawabannya bisa iya dan bisa tidak. Namun hasil
Pemilukada Desember 2015 nanti mencerminkan hal itu. Kemudian pertanyaan
berikutnya, apakah perilaku elite politik yang menjadi ketua partai politik,
mulai dari zaman Zulkifli Nurdin itu salah? Tentu jawabannya terpulang kepada
subyektifitas penilaian publik. Apakah gaya Zulkifli Nurdin ini akan diikuti
oleh HBA dan Bupati lainnya, sejarahlah yang akan mencatatnya.(Lee)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar