BPJS Cabang Jambi-Foto Rosenman M |
Lembaga Asuransi Kesehatan (Askes) yang pernah kita
kenal, kini melebur jadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). BPJS diharapkan dapat mengatasi masalah soal kesehatan yang merupakan
masalah pokok yang kerap dijumpai di tengah-tengah masyarakat. Masalah
kesehatan sangatlah krusial. Tidak heran kalau di negara-negara berkembang seperti Indonesia kondisinya
kesehatan rakyatnya masih menyedihkan, karena biaya kesehatan memang tergolong
mahal.
Berkaca dari negara maju, biaya kesehatan
yang besar ini sebagian ditanggung oleh negara sehingga masyarakat tidak
terlalu terbebani dengan nominal yang besar saat berobat. Bukan saja dana yang
ringan, sistem kesehatan yang tidak ‘ribet’ juga membuat masyarakat yang
berobat tidak kerepotan dan merasa nyaman ketika memeriksa kondisi
kesehatannya.
Di Indonesia sudah memberikan
terobosan tentang jaminan kesehatan bagi masyarakatnya. Adalah BPJS
yang menjadi wadah pemberian jaminan kesehatan bagi masyarakat Indonesia.
Program yang baru diluncurkan sejak awal Januari
2014 lalu, ternyata mendapatkan berbagai respon,
baik respon positif maupun negatif dari masyarakat.
Masyarakat masih banyak dibingungkan
oleh sistem baru ini. Pada dasarnya, BPJS Kesehatan ini adalah bentuk baru dari
PT Askes, yang selama ini menjadi asuransi kesehatan masyarakat.
Namun, yang membedakannya di sini
adalah, BPJS mengayomi seluruh pemilik hak jaminan kesehatan yang dikeluarkan
oleh negara. Bukan hanya Askes saja yang diayomi, tapi Jamkesmas dan Jamkesda
juga diayomi oleh BPJS. Selain itu, Jamsostek kesehatan non kecelakaan kerja
dan jiwa juga ditangani oleh BPJS Kesehatan ini.
Tapi ternyata, sosialisasi yang dilakukan
belumlah maksimal. Masih banyak kekurangan yang terjadi di lapangan. Bukan
hanya sosialisasi yang kurang maksimal, tapi kendala-kendala masih dijumpai di
lapangan.
Dari penelusuran Harian
Jambi, bahwa
masih ada kesimpangsiuran informasi yang terdapat di lapangan. Salah satunya
yaitu tentang penggunaan kartu Askes yang selama ini digunakan untuk berobat.
Seorang ibu berinisial RA ketika berobat menggunakan kartu Askes ternyata
ditolak dengan bermacam alasan.
“Saya ditolak karena katanya sekarang
pakai BPJS bukan Askes lagi, jadi saya harus mendaftarkan anak saya yang sakit
ke BPJS, padahal anak saya ini sudah terdaftar di Askes saya juga,” katanya.
RA juga mengatakan bahwa Askesnya tidak
berlaku untuk RSUD Abdul Manap Kota Jambi karena dirinya merupakan PNS Muarojambi.
“Juga saya ditolak karena alasan saya PNS Muarojambi, bukan Kota Jambi, padahal
domisili saya di Kota Jambi dan kondisi anak saya saat itu darurat dan harus
cepat dilarikan ke IGD,” ujarnya.
Ia mengatakan, pada saat masuk ke IGD
dirinya mengatakan menggunakan Askes kemudian ditindaklanjuti penanganannya.
Namun pada saat pembayaran dirinya dikejutkan dengan biaya yang besar dan tidak
dapat digunakannya kartu Askes, sehingga dirinya harus membayar penuh.
“Pada saat masuk tidak ada yang
mengarahkan saya untuk lapor ke BPJS, biasa-biasa saja,” ujarnya. Hal ini tentu
menggambarkan salah satu kasus kurangnya sosialisasi oleh BPJS.
Askes
Masih Berlaku
dr Fahrurazi MKes Kasi Pemeliharaan Kesehatan Dinas Kesehatan Provinsi Jambi |
Kini yang menjadi polemik saat ini adalah
bagaimana status pemegang kartu Askes dan jaminan kesehatan lainnya yang sudah
keluar sebelum BPJS ini. Menurut Kasi Pemeliharaan Kesehatan di lingkungan
Dinas Kesehatan Provinsi Jambi, dr H Fahrurazi MKes, kartu Askes tetap dapat
digunakan untuk pasien yang akan berobat di RS.
“Kartu Askes, Jamkesmas, ataupun kartu
telah dikeluarkan itu masih berlaku dan dapat digunakan,” ujarnya.
Fahrurazi mengatakan, bahwa BPJS pada
dasarnya adalah merangkum semua jaminan sosial kesehatan yang dikeluarkan oleh
negara. “BPJS itu sendiri pada dasarnya merangkul seluruh jaminan kesehatan
yang dikeluarkan oleh negara selama ini, baik berupa Askes maupun jaminan
kesehatan untuk masyarakat miskin,” ujarnya.
Disebutkan, BPJS sendiri merupakan
Askes yang berubah wujud. “Kalau dulu namanya Askes, sekarang semua atribut
Askes jadi BPJS Kesehatan semua sekarang,” ujarnya.
Fahrurazi mengatakan bahwa yang nantinya
menjadi peserta BPJS yang mendaftarkan baru yaitu mereka yang belum terdata
dalam jaminan kesehatan, baik Askes maupun Jamkesmas dan Jamkesda.
“Mereka yang umum yang belum memiliki
kartu-kartu Askes, Jamkesmas atau Jamkesda itu harus mendaftarkan ke BPJS, tapi
yang sudah ada tidak perlu lagi,” ujarnya.
Kata Fahrurazi, saat ini belum
adanya keintegrasian data dari masing-masing asuransi dan jaminan kesehatan
ini. “Belum adanya keintegrasian data, ini yang menyebabkan keterlambatan dalam
pemprosesannya. Hal ini karena kalau dulu stand masing-masing jaminan kesehatan
ini terpisah, kalau sekarang kan jadi satu jadi menumpuk di satu bagian seperti
itu,” ujarnya.
Fahrurazi menjelaskan beberapa perbedaan
antara BPJS dan Askes yaitu selain BPJS adalah penggabungan berbagai jaminan
kesehatan, pada BPJS tidak menyediakan apotek ataupun obat seperti Askes
sebelumnya.
“Kalau dulu ada apotek ataupun obat dari
Askes, kalau sekarang obat disediakan oleh rumah sakit. Jadi stok obatnya
tergantung kemampuan rumah sakit menyediakan. Biasanya yang agak terkendala ini
rumah sakit milik pemerintah, karena harus melakukan persetujuan pencairan dana
dan segala macamnya untuk dapat memenuhi kebutuhan obat itu. Jadi jangan heran,
nanti kalau di rumah sakit umum sebentar saja rawatnya, tapi nanti disuruh
kembali untuk chek up, ya atas alasan
itu tadi, jangan sampai kehabisan stok obat,” ujarnya.
Pengobatan
BPJS
Menurut Fahrurazi, BPJS
memiliki standar pengobatan yang nanti diklaim. “Misalkan penyakitnya usus
buntu membutuhkan dana sekitar Rp 6 juta rupiah, namun dalam penyelenggaraan
dari tahap periksa operasi sampai pulang dari rumah sakit ternyata rumah sakit
menghitung sampai Rp 8 juta rupiah,” katanya.
Berarti rumah sakit rugi karena yang bisa
diklaim yaitu hanya Rp 6 juta sesuai dengan ketentuan. “Ini
hanya permisalan saja, dan dalam hal ini kecermataan dan keefektifan dan
keefisienan rumah sakit lagi dalam menyelenggarakan kegiatannya, sehingga tidak
rugi,” ujarnya.
Soal Askes, kata Fahrurazi, untuk penggunaan
Askes akan disesuaikan dengan peraturan baru dari BPJS. “Prosesnya dimulai
dengan pengobatan atau proses awal dari dokter atau Puskesmas, sama seperti
biasa dan selanjutnya jika diperlukan maka dirujuk ke rumah sakit. Namun, dalam
kondisi yang darurat seperti harus langsung ke IGD itu tidak perlu lagi, karena
kondisinya darurat,” ujarnya.
Dokter yang juga mengajar di Stikes
Harapan Ibu dan Baiturrahim Jambi ini menambahkan, agar
para pasien
sedang ditangani oleh tim medis, keluarga yang memegang kartu Askes itu
mengurus administrasi ke BPJS untuk dibuatkan pengantarnya.
“Jadi sambil nunggu pasien ditangani tim
medis, keluarga mengurus administrasi ke BPJS yang ada di rumah sakit setempat
untuk dibuatkan surat pengantarnya, agar nanti tidak dibuat status umum dan
bisa diklaim. Kalau prosesnya dibiarkan saja nanti terlanjur dibuat umum,”
ujarnya.
Banyak
Kendala
Untuk rumah sakitnya sendiri, Fahrurazi
mengatakan baik menggunakan kartu Askes dapat digunakan di semua rumah sakit
yang berada di Indonesia selagi rumah sakit itu terdapat program BPJS
Kesehatannya.
“Yang ditentukan hanya dokter keluarga
atau puskesmas saja, untuk rumah sakitnya bebas di mana saja baik di kota
maupun kabupaten selagi ada program BPJS Kesehatan di rumah sakit tersebut,”
ujarnya.
Fahrurazi mengatakan karena ini
merupakan program yang baru dijalankan, jadi wajar saja mengalami banyak
kendala masalah dan hambatan di lapangan. “Namanya juga program yang baru
dijalankan, tentu masih banyak kekurangan yang nantinya akan dibenahi ke depannya.
Tidak ada rumah yang baru dibangun langsung siap, pasti nanti ada renovasi dan
perbaikan, seperti itu jugalah BPJS ini, kedepannya ini akan lebih baik,”
ujarnya.
Disebutkan, termasuklah adanya ketidak-mengertian
pegawai rumah sakit akan program ini dan mungkin juga dari BPJS-nya sendiri
juga. Fahrurazi mengatakan itu juga akan
dibenahi agar seluruhnya mengerti dan dapat membantu mengarahkan masyarakat
untuk dapat merasakan program BPJS Kesehatan ini.
“Maklumlah kalau mereka kadang masih
bingung, karena daya serap manusia akan informasi tidak sama, ada yang cepat
ada yang butuh proses, tapi ke depannya nanti pasti akan diperbaiki dan jadi
lebih baik,” ujarnya. (*/lee)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar