Oleh :Stevan Ivana Manihuruk
Mantan Menteri Lingkungan Hidup sekaligus ekonom besar di negeri ini
yakni Prof Emil Salim pernah menyatakan kegundahan serta kegelisahan
hatinya menyaksikan tindakan-tindakan perusakan lingkungan yang
dilakukan oleh umat manusia. Ia menyatakan, ratusan bangsa sedang
berlomba merusak Bumi yang hanya satu di alam semesta ini.
Tidak dapat dipungkiri, kita memang harus prihatin sekaligus miris
pada fakta; saat ini bumi semakin tidak nyaman untuk dihuni. Fenomena
pemanasan global seperti pencairan es di kutub, longsor, banjir, badai
tropis, pencemaran air dan udara yang terus meningkat dan terjadi di
hampir seluruh belahan dunia ini menjadi alasannya.
Ironisnya, manusia sering tidak sadar bahwa hampir semua malapetaka
itu berawal dari ulahnya sendiri. Praktik perusakan hutan secara nyata
menjadikan bumi rentan terhadap bencana banjir, longsor dan kekeringan.
Demikian halnya, praktik pertambangan liar telah menjadi sumber
kerusakan air dan tanah serta menjadi ancaman terhadap kehidupan seluruh
penghuni alam ini. Belum lagi polusi udara yang ditimbulkan asap-asap
knalpot dan cerobong-cerobong pabrik, menjadikan udara ini tidak bersih
lagi.
Etika Lingkungan
Sekali lagi, fakta yang tidak bisa disangkal bahwa berbagai kasus
lingkungan hidup yang terjadi sekarang ini, baik pada lingkungan global
maupun lingkup nasional, sebagian besar bersumber dari perilaku manusia.
Berbagai kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan bersumber pada
perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab, tidak peduli dan hanya
mementingkan diri sendiri (egoisme). Kasus illegal logging, illegal
fishing, eksploitasi pasir, kasus pencemaran lingkungan yang dilakukan
oleh peusahaan-perusahaan besar seperti PT Freeport Indonesia, PT Inti
Indorayon Utama, PT Newmont, semuanya berkaitan dengan masalah etika.
Mantan Menteri Lingkungan Hidup pada kabinet Pemerintahan Aburrahman Wahid-Megawati, Sonny Keraf dalam bukunya yang berjudul “Etika Lingkungan Hidup” (2002) mengatakan, krisis lingkungan hidup global yang kita alami dewasa ini sebenarnya bersumber pada kesalahan fundamental-filosofis dalam pemahaman atau cara pandang manusia mengenai dirinya, alam, dan tempat manusia dalam keseluruhan ekosistem. Manusia keliru memandang alam dan keliru menempatkan diri dalam konteks alam semesta seluruhnya.
Kesalahan cara pandang ini bersumber dari etika antroposentrisme yang
memandang manusia sebagai pusat dari alam semesta dan hanya manusia
yang mempunyai nilai, sementara alam dan segala isinya hanya sekadar
alat bagi kepuasan kepentingan dan kebutuhan hidup manusia.
Manusia
dianggap berada di luar, di atas dan terpisah dari alam. Bahkan, manusia
dipahami sebagai penguasa atas alam yang boleh melakukan apa saja
terhadap alam. Cara pandang seperti ini melahirkan sikap dan perilaku
eksploitatif tanpa kepedulian sama sekali terhadap alam dan segala
isinya yang dianggap tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri.
Alhasil, etika antroposentrisme memang cenderung mangantarkan perilaku
manusia yang eksploitatif terhadap alam yang misalnya dapat dilihat dari
fakta: Pertama, kepentingan politik dan kekuasaan masih lebih
mendominasi proses peradilan. Bencana lumpur panas Lapindo bisa menjadi
salah satu contoh. Bertahun-tahun masyarakat yang menjadi korban bencana
tersebut menuntut keadilan yang hingga kini belum jelas keberadaannya.
Uniknya lagi, pemerintah rela mengambil alih tanggungjawab menanggulangi
dampak letusan lumpur Lapindo melalui penggunaan dana APBN sejak tahun
2007 hingga kini. Dugaan yang mencuat, kejanggalan ini terjadi lantaran
perusahaan yang seharusnya bertanggungjawab dalam masalah ini dimiliki
oleh seorang tokoh politik terkemuka di negeri ini.
Kedua, tekanan pihak asing dan para pemodal. Keraf (2002) mengatakan
bahwa perusahaan-perusahaan asing multinasional banyak sekali menerapkan
standar ganda sekaligus menggunakan superioritas ekonomi dan politik
untuk melindungi kepentingan bisnisnya di negara-negara sedang
berkembang.
Dan ditambah lagi, beberapa regulasi di negeri ini justru
sangat “ramah” kepada perusahaan-perusahaan asing tersebut meski
keberadaannya acapkali menimbulkan masalah sosial bahkan lingkungan.
Ketiga, konflik kepentingan berbagai sektor.
Banyak kewenangan instansi
yang didukung perundang-undangannya masing-masing. Undang-Undang yang
sudah ada saat ini pun masih bersifat sangat sektoral dan terpilah-pilah
sehingga pengelolaannya tidak efektif, tidak memberikan kepastian dan
perlindungan hukum.
Sebagaimana kita ketahui, koordinasi antar sektor dan antara
pemerintahan pusat dan daerah pun sangat lemah sehingga acap kali
terjadi tumpang tindihnya kebijakan dan perencanaan pengelolaan
sumberdaya alam.
Dalam kasus perusakan hutan yang sering disorot
misalnya, yang sering terjadi bukannya upaya berbagai pihak untuk duduk
bersama mencari solusi, sebaliknya terjadi saling tuding serta
menyalahkan antar instansi kehutanan dengan instansi lain, antara
pemerintah pusat dan daerah.
Sebagai solusi atas berbagai masalah ekologi dewasa ini, menurut Arne
Naess sebagaimana dikutip Keraf (2002) hanya dapat diatasi dengan
melakukan perubahan cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam
secara fundamental dan radikal.
Dibutuhkan sebuah pola hidup atau gaya
hidup baru yang tidak hanya menyangkut orang per orang, tetapi juga
budaya masyarakat secara keseluruhan. Artinya, dibutuhkan etika
lingkungan hidup yang menuntun manusia untuk berinteraksi secara baru
dalam alam semesta. Perubahan dari etika antroposentrisme ke etika
biosentrisme dan ekosentrisme.
Pandangan etika biosentrisme dan ekosentrisme, bahwa manusia
pertama-tama harus dipahami sebagai makhluk biologis, makhluk ekologis.
Manusia hanya bisa hidup dan berkembang sebagai manusia utuh dan penuh,
tidak hanya dalam komunitas sosial, tetapi juga dalam komunitas
ekologis, yaitu makhluk yang kehidupannya tergantung dari dan terkait
erat dengan semua kehidupan lain di alam semesta.
Tanpa alam, tanpa
makhluk hidup lain, manusia tidak akan bisa bertahan hidup, karena
manusia hanya merupakan salah satu entitas di alam semesta. Manusia
berada dalam alam dan terikat serta tergantung dari alam dan seluruh
isinya.
Akhirnya, upaya menyelamatkan bumi dari ancaman perusakan oleh
manusia menjadi tanggung jawab kita semua. Prinsip etika lingkungan
hidup harus disebarluaskan layaknya “virus” ke sebanyak-banyaknya
manusia agar semakin banyak pula manusia yang berkomitmen menjaga dan
memelihara bumi ini.
Bukan mengeksploitasi habis-habisan isi bumi ini
dengan nafsu keserakahan dan kerakusan karena seperti pernah dinyatakan
Mahatma Gandhi; Earth provides human need but not human greed (Bumi
menyediakan dan mampu memenuhi kebutuhan manusia tapi tidak
kerakusannya). (*)
Penulis adalah Alumnus Fisipol USU
Penulis adalah Alumnus Fisipol USU
Foto diatas bisa menggambarkan betapa tidak ber etikanya perusahaan dengan lingkungan. Pertambangan yang pada akhirya merusak lingkungan hidup. Foto Dok Rosenman Manihuruk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar