Ketika kasus
pencatutan nama Jokowi dalam pertemuan Setya Novanto (SN) dengan Presdir
PT. Freeport mulai merebak ke public, konsentrasi nasional kemudian
menghendaki Setya Novanto diungkap secara terbuka. Menteri ESDM,
Sudirman Said (SS) merupakan punggawa pemerintahan langsung membuat
laporan resmi ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR-RI.
Namun
polemic mulai muncul. Melihat tata terbit DPR-RI, MKD kemudian sempat
“bersilat lidah”, SS tidak berhak melaporkan SN ke MKD. SS dianggap
tidak mempunyai kapasitas untuk melaporkan (tidak mempunyai legal
standing). Sebuah permulaan yang buruk MKD dan bersiap kemudian
berhadapan dengan public.
Persidangan MKD kemudian berlangsung
bak “opera show” skandal politik terbesar. MKD dan DPR yang semula
diharapkan sebagai barisan oposisi untuk melihat jalannya pemerintahan
“terjebak” dengan kepentingan pragmatis. Menyelamatkan SN dari ancaman
sanksi MKD.
Belum usai menjalani hukuman etik dari MKD terhadap
SN akibat pertemuan dengan “sang rasialisme” Donald Trump, SN kemudian
terjebak dengan pertarungan politik akibat sikap “nyeleneh” meminta
saham dengna mencatut nama Presiden dan Wakil Presiden. Sehingga tidak
salah kemudian desakan mundur disampaikan berbagai kalangan.
Namun terlepas dari berbagai polemic terhadap MKD seperti persoalan
“legal standing”, penilaian rekaman, maupun persidangan etika yang
kemudian mengarah terhadap pembuktian formil seperti persidangan pidana,
strategi yang dimainkan Jokowi benar-benar membuktikan kehandalan
Jokowi “memainkan” strategi perang.
Dengan mengirimkan hulubalang
SS ke MKD, Jokowi hendak “menjewer” SN yang dianggap “sudah
keterlaluan”. Dengan halus Jokowi menggunakan MKD sebagai tangan
“menjewer” SN. Jokowi sudah mengantongi kekuatan pertahanan politik
sehingga mengirimkan hulubalang ke sarang lawan.
Strategi
“ciamik” ini berhasil dimainkan Jokowi. Jokowi tidak terjebak dengan
polemic hiruk pikuk “kasus papa minta saham”. Jokowi memindahkan medan
pertarungan dengan mengacak-acak benteng di MKD.
MKD kemudian
“terlibat“ pertarungan internal sehingga konsentrasi public kemudian
diarahkan ke MKD. Berbagai maneuver politisi di parlemen sudah
diperhitungkan dengan cermat. Dengan melihat berbagai maneuver, Jokowi
sekaligus menguji loyalitas partai pendukung seperti PDI-P, PKB, Partai
Nasdem, Partai Hanura. Jokowi juga sekaligus menguji kesetiaan dari PAN
yang baru bergabung dan mendukung di Pemerintahan.
Dengan
dukungan public, partai-partai pendukung pemerintah harus mengambil
sikap untuk memberikan tekanan kepada MKD agar menjatuhkan putusan yang
berat kepada SN.
Teknik ini biasa dikenal dalam olahraga
beladiri jujitsu. Dengan menggunakan daya lenting dan “meminjam” tenaga
lawan, Jokowi justru menggunakan seluruh energy besar lawan untuk
mengembalikan serangan balik (counter attack). Jokowi “melentingkan” SS
dengan mengirimkan “sedikit” tenaga kepada SS, namun “meminjam” energy
besar parlemen untuk “menghukum SN”. Gema inilah yang kemudian sempat
bersuara di Hambalang ketika pimpinan Partai “berusaha” menyelamatkan
SN.
Namun dukungan ini tidak bisa diraih. Dengan posisi PKS yang
tidak mau “terlibat” arus besar melawan dukungan public dan Partai
Demokrat yang mengambil posisi “stand by”, dukungan partai kurang
berhasil diraih SN.
MKD kemudian kehilangan arah. Sehingga MKD kemudian “terjebak” dengan persoalan administrasi yang bertele-tele.
Pertaruhan semakin panas. Daya lenting Jokowi yang dimainkan di MKD
mulai memakan korban. Publik didesak untuk melihat putusan akhir MKD
dengna menyiarkan setiap detail persidangan. Publik kemudian
“menggiring” MKD sehingga tidak bisa berkelit.
Jokowi kemudian
mengeluarkan jurus-jurus kecil sebagai psywar untuk menekan MKD. Dengan
konferensi pers seperti kalimat “suara public, suara rakyat, suara
masyarakat harus didengar’ merupakan tekanan yang menggiring public
terhadap MKD.
Tidak cukup jurus-jurus kecil. Jokowi mulai
mengeluarkan gertakan yang menunjukkan kelasnya sebagai “petarung”.
Tampilnya Jaksa Agung yang hendak menyidik kasus ini, pernyataan Kapolri
yang mementahkan argumentasi tentang rekaman, Jokowi hendak memberikan
pesan. “Jangan Main-main” dengan saya. Sikap yang ditunjukkan dengan
menunjukkan telunjuk tangan. Sebuah isyarat keseriusan yang jarang
ditampilkan.
Di saat kronis, SN kemudian tidak mau dipermalukan.
SN kemudian mengundurkan diri dari ketua DPR-RI. MKD kemudian “kecele”
sehingga menjadi “reality show” menjadi membosankan.
Jokowi
berhasil “menghukum SN”, tanpa mengeluarkan energy besar. Persoalan
“papa minta saham” tidak sebesar “KPK vs Polri. Strategi ciamik Jokowi
dalam kasus “KPK vs Polri”, pertarungan dengan Tony Abbot “dalam
eksekusi hukuman mati Bandar narkoba” harus menjadi pelajaran siapapun.
Jangan meremehkan tubuh kerempeng Jokowi.(Musri Nauli)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar