MANGKAL: Dua pemilik Sado
tengah mangkal di Simpang Sado menunggu para penumpang yang akan mengunakan jasa
angkutan sado.
|
ANDRI MUSTARI, Jambi
Adalah Mardi, seorang kusir Sado yang senang dengan wajah
berseri ketika dirinya dipercayakan sebagai “sopir” sado miliknya saat membawa Kepala
Museum Siginjai Jambi Badmiril Amri, Ketua Dekranasda Provinsi Jambi
Yusniana Hasan Basri Agus, Kepala Dinas Budpar Provinsi Jambi, Ketua Dekranasda
Kota Jambi Yuliana Fasha pada acara Museum
Siginjai Jambi menggelar kegiatan pameran alat transportasi dan alat angkut
tradisional Jambi, (10/3/ 2014).
Namun Mardi hanya merasakan wajah berseri itu. Betapa tidak,
profesi sebagai kusir Sado yang digelutinya selama puluhan tahun, kini nasibnya
di ujung tanduk. Menurut penuturan Mardi, alat transportasi darat yang sudah
mulai rapuh, yaitu alat transportasi Sado.
Kata Mardi, dengan keadaan saat ini, disamping kurangnya
peminat masyarakat untuk menggunakan sado, ditambah lagi kurangnya perhatian
dari pemerintah, kemungkinan besar sado di Jambi, akan bakalan rapuh dan habis.
“Sado di Jambi sudah mulai rapuh dan habis,” kata Mardi.
Menurut pria berusia 54 tahun ini, dirinya telah menjadi
kusir Sado selama 30 tahun. Selain itu ia juga mengatakan bahwa, sado di Jambi,
sudah ada pada sejak tahun 1950 an. Orang tua mardi juga merupakan salah
seorang kusir Sado. Hingga saat ini pekerjaan ayahnya ia teruskan untuk menjadi
seorang kusir Sado.
Pada tahun 1950 an, Sado merupakan alat transportasi yang
sangat disukai dan sangat digemari oleh para masyarakat Jambi. Bukan hanya itu,
para turis manca negara pun senang menaiki Sado untuk berkeliling Jambi.
Terhitung pada tahun 1950 an, jumlah sado ribuan, dan hingga
tahun 1973 jumlah sado menjadi menurun hanya mencapai 500 Sado. “Pada tahun 50
an itu jumlah sado banyak sekali, jumlahnya ribuan, tapi di tahun 1973 jumlah
sado menurun. Sekitar 500 sado lah yang masih ada di Jambi dan masa itu alat
transportasi modern sudah mulai berkembang di Jambi,” cerita Mardi.
Sado Sisa 5 Unit
Lokasi Simpang Sado, Pasar Kota Jambi sesungguhnya adalah
tempat mangkalnya para sado yang ada di Kota Jambi. Akan tetapi para kusir sado
merasa sedih karena tempat yang merupakan tempat sado, diambil oleh para
masyarakat yang memiliki kendaraan roda empat, atau dijadikanya tempat untuk
parkir kendaraan.
“Sebenarnya simpang sado ini, tempat pangkalan kami, tapi sekarang
sudah menjadi tempat parkir oleh orang-orang kaya,” katanya. Selain itu, Mardi
juga menjelaskan bahwa, saat ini jumlah Sado yang ada di Kota Jambi, tinggal 5
Sado.
Bagi Mardi, pekerjaan yang ia lakukan hanya lah seuah hobi
dari dirinya, untuk mengandalakan penghasilan dari kusir sado. Menurut Mardi
tidak cukup, penghasilan yang bisa diperoleh hanya mencapai Rp 50 ribu, dan itu
hanya digunakan untuk membeli makan kuda.
Penghasilan itupun tidak tetap didaptkan oleh seorang Mardi.
“Penghasilan kami paling Rp 50 ribu, itu pun kadang ada kadang tidak ada. Tapi
cukuplah untuk makan kuda,” kata Mardi.
Mardi memiliki 5 orang anak, yang saat ini dua diataranya
masih tinggal bersamanya. Oleh karena itu, ia pun memberikan kebebasan kepada
anaknya untuk berkerja, dalam bentuk pekerjaan yang halal.
“Saya punya anak lima. Dua masih tinggal dengan saya, mereka mau kerja, ya saya izin yang penting
kerjanya halal,” kata Mardi.
Menyerah
dari Kuli Bangunan
Dulu, sebelum menjadi kusir sado, Mardi bekerja sebagai kuli
bangunan. Hingga akirnya Mardi memutuskan untuk menjadi tukang sado, karena
memelihara kuda merupakan salah satu hobinya, tidak heran jika sampai saat ini
kendaraan sado Mardi masih bertahan.
“Ini sudah menjadi hobi saya, dari kecil saya sudah terbiasa
merawat dan memelihara kuda, makanya saya bertahan hingga sekarang, kalau bukan
karena hobi, mungkin sudah punah sado-sado yang ada di Jambi ini karena
rata-rata mereka penambang yang lain juga hobi,” ujar Mardi.
Ia mengaku, telah banyak perubahan terhadap keberadaan sado
di Kota Jambi saat ini, terutama jumlah sado itu sendiri, yang awalnya mencapai
ratusan orang, namun kini tinggal 5 orang saja yang bertahan. Keadaan ini
dikarenakan sepinya penikmat jasa angkutan sado.
“Mungkin karena perkembangnya zaman menjadi salah satu
faktor minimnya peminat sado, karena sekarang sudah banyak alat tranportasi
yang lainnya, dulu yang awalnya pakai sado sekarang pakai mobil pakai motor,” paparnya.
“Sado saat ini untuk rekreasi saja bagi warga, jadi mereka
naik sado untuk senang-senang, bukan jadi alat transportasi,” tambahnya.
Menurut Mardi, satu kendaraan sado hanya bisa membawa 3 atau
4 orang. Sedangkan rute yang bisa ditempuh hanya seputaran pasar dan
daerah Ancol saja, kecuali kalau sewa. “Untuk ongkosnya tergantung jauh
dekatnya permintaan pelanggan, kalai hanya di daerah-daerah sini saja, misal
dari sini mutar sampai ke Ramayana, pulang pergi ongkosnya kurang lebih 40 ribu,”
katanya.
Terkait penghasilan, saat ini tidak dapat dipastikan olehnya.
Jika dulu bisa untuk memenuhi kebutuhan hidup, namun sekarang untuk biaya makan
kudanya saja bisa dikatakan kurang. Oleh karena itu Mardi juga melayani jasa
sewa, dari jasa sewa itulah bisa membantu biaya hidupnya.
Mardi mengungkapkan untuk kudanya itu sendiri, kerja tidak
kerja tetap mengeluarkan dana untuk biaya makannya yang setiap harinya Rp
40.000.
“Kalau sekarang mah boro-boro untuk pemilik kuda, untuk
makan kuda saja tidak cukup,” ujarnya.
Mardi mulai mencari penumpang dari jam 09.00 sampai jam
12.30 sedangkan untuk sorenya ia memilih istirahat karena tidak ada penumpang.
Menurut Mardi kurangnya perhatian dari pemerintah daerah juga bisa menyebabkan
punahnya sado tersebut.
“Lihat saja, untuk terminalnya hanya ala kadarnya,
inipun kadang dipakai untuk parkir mobil,” paparnya.
Ditanya apakah ia berniat untuk beralih profesi? Mardi
mengaku, meski punya modal pun Mardi akan tetap bertahan sebagai tukang sado,
kaena ingin tetap melestarikan sado yang ada di Jambi.
“Namanya saja Simpang Sado, kalau bukan kita yang
melestarikan mau siapa lagi, ada simpangnya tapi kalau tidak ada sadonya
gimana,” ungkapnya.
Oleh karena itu, ia berharap adanya perhatian dari
pemerintah, demi kelangsungan dan pelestarian sado di Jambi tetap terjaga.
Saat ini sado sudah tidak seperti dahulu lagi, akan tetapi Mardi
masih mempunyai pengharapan, kalau pemerintah membuat sebuah kebijakan tentang
pelestarian sado. Karena baginya sado juga merupakan
salah satu alat tranportasi tradisional yang memiliki nilai budaya yang tinggi
untuk daerah Jambi.
Harapan Mardi adalah, semoga alat transportasi seperti sado
ini tidak punah, pemerintah harus memberikan sebuah perhatian bagi para Kusir
Sado, untu bisa beroperasi
kembali, sehingga alat tradisional ini pun tidak punah. “Kami berharapa alat tradisional
ini bisa dilestarikan,” kata Mardi.(*/lee)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar