SEMILOKA: Semiloka Kesiapan Daerah dalam Tata Kelola Program
Penurunan Emisi yang berlangsung di Ruang Dara Jingga, Bappdea Provinsi Jambi,
Kamis (22/1). Pemateri yakni Dr Abdul Wahib Situmorang, Panel Ahli Penyusunan
Laporan Indeks Tata Kelola Hutan dari UNDP Indonesia Hendrayanto dari
Transparansi Internasional dan Komda REDD+ Jambi Rudi Syaf yang juga menjabat
Manejer KKI Warsi. ROSENMAN MANIHURUK/HARIAN JAMBI
Semiloka Kesiapan Daerah Dalam Penurunan Emisi
Suap Pada Pengurusan Izin Kehutanan Masih Tinggi
Pemerintah Provinsi Jambi setidaknya membutuhkan dana
sebesar Rp 15,8 triliun guna memulihkan kerusakan hutan di Provinsi Jambi yang
mencapai 934 hektar dari luas 2,98 juta hektar luas hutan di Provinsi Jambi.
Setidaknya dibutuhkan biaya minimum per hektar Rp 17 juta memulihkan hutan itu.
Sementara tata kelola hutan di Provinsi Jambi oleh 9 kabupaten indeksnya masih
dibawah angka 5 atau masih buruk.
R MANIHURUK, Jambi
Potensi kerugian akibat konflik kehutanan sejak tahun 2012
hingga 2013 sebanyak Rp 36 miliar. Perhitungan mempergunakan data media lokal
dengan menghitung biaya penanganan konflik per kejadian. Potensi kerugian juga
terjadi pada kerugian sosial, kerugian ekonomi dan potensi kerugian lahan.
Demikian diungkapkan Dr Abdul Wahib Situmorang, Panel Ahli
Penyusunan Laporan Indeks Tata Kelola Hutan dari UNDP Indonesia pada acara
Semiloka Kesiapan Daerah dalam Tata Kelola Program Penurunan Emisi yang
berlangsung di Ruang Dara Jingga, Bappdea Provinsi Jambi, Kamis (22/1).
Acara itu dibuka oleh Sekretaris Kepala Bappeda Provinsi
Jambi, Drs Edy Sukarno. Tampil sebagai moderator Imron Rosyadi, Sekretaris
Bappeda Provinsi Jambi. Sementara pemateri yakni Hendrayanto dari Transparansi
Internasional dan Komda REDD+ Jambi Rudi Syaf yang juga menjabat Manejer KKI
Warsi.
Menurut Abdul Wahib
Situmorang, dalam menentukan indeks tata kelola hutan, pihaknya membuat tiga
variabel meliputi peraturan dan kebijakan, kepastian aktor dan kinerja dengan
konsep, relasi dan hipotesis. Hal itu dilakukan kerangka analisa indeks tata
kelola hutan tingkat kabupaten di Provinsi Jambi.
Disebutkan, PGA Indonesia mendefinisikan tata kelola hutan
sebagai “alat” dan pada saat bersama adalah tujuan akhir satu upaya berbagai
aktor melakukan penataan penguasaan dan pemanfaatan hutan yang berkepastian,
transparan, berintegritas, akuntabel, berkeadilan dan tidak rentan korupsi.
“Dalam prosesnya pelibatan dan memastikan keterlibatan para
aktor yang hakiki menjadi satu keharusan dan Negara harus menjamin itu terjadi
melalui peraturan dan implementasi peraturan yang konsisten,” kata Abdul Wahib
Situmorang.
Dikatakan, dari penilaian yang dilakukan di kabupaten se
Provinsi Jambi, tata kelola hutan indeksnya masih dibawah angka 5. Hal itu
disebabkan kurangnya transparansi pengelolaan kehutanan, terjadinya suap pada
ijin kelola kehutanan dan tidak adanya PETA di daerah dan PETA belum menjadi
kebutuhan.
Indeks tata kelola hutan tingkat kabupaten Provinsi Jambi
yakni Kabupaten Tanjabtim 23,35, Muarojambi 25,09, Tanjabbar 26,67, Tebo 33,89,
Sarolangun 35,75, Bungo 36,04, Kerinci 38,05, Batanghari 38,23 dan Merangin 39,
87.
Menurut Abdul Wahib Situmorang, pendekatan PGA Indonesia
yang dilakukan yakni dengan pembentukan Panel Ahli mewakili
Akademisi, aktivis LSM, pemerintah, masyarakat adat dan
assosiasi pengusaha yang memiliki kompetensi dan kredibelitas yang tinggi.
Kemudian pengumpulan data dilakukan oleh pengumpul data yang berasal dari
lokasi dan memilih kompetensi dan kredibelitas.
“Setiap tahapan penting disampaikan balik kepada pemangku
kepentingan utama untuk mendapatkan masukan. Data divalidasi kembali oleh para
narasumber dalam satu pertemuan, penilaian akhir dibantu dengan skorsing yang
telah ditetapkan oleh panel ahli dan didiskusikan secara terbuka antar panel
ahli. Hasil akhir dilaporkan kembali kepada masing-masing pemangku
kepentingan,” katanya.
Abdul Wahib Situmorang menambahkan jika biaya menunda
perbaikan kerusakan dilakukan, lama waktu untuk memulihkan kerusakan hutan di
Provinsi Jambi mencapai 128 tahun dengan asumsi rata-rata kemampuan
merehabilitasinya 7250 ha per tahun. Kemudian kalau pendapatan dari reboisasi
Rp 21 miliar pertahun dipergunakan, maka diperlukan 752 tahun untuk memulihkan
kerusakan hutan tersebut.
Disebutkan, soal kepastian penegakan hukum kejahatan
kehutanan, kerangka peraturan misalnya aturan pemilihan pejabat yang trafsparan
mempertimbangkan integritas, track record dan kompetensi minim. Kemudian
pencegahan korupsi pada keloal kehutanan sangat minim hal itu berkaitan dengan
tingginya suap pada proses perizinan.
Selanjutnya kepastian para aktor atau pelaku usaha
menerapkan good corporate governance sangat minim. Kemudian pengelolaan hutan
di tingkat bawah minim dan lembaga masyarakat sipil melakukan pengawasan juga
nyaris tak ada. Sementara soal kinerja terjadi suap dalam pengurusan ijin masih
tinggi.
Dari hasil penilaian indeks tata kelola hutan di Provinsi
Jambi tersebut, pihak UNDP Indonesia memberikan rekomendasi yakni pemangku
kepentingan untuk memetakan permasalahan kehutanan, upaya perbaikan perlu
diselaraskan dengan upaya nasional melakukan perbaikan tata kelola hutan NKB
KPK 12 KL dan dukungan BP REDD+ di Jambi.
Kemudian kepastian kasawan hutan meliputi peraturan atau
kebijakan inventarisasi pihak ketiga dalam kawasan hutan, mempergunakannya
sebagai dasar penyelesaian melalui proses kepastian kawasan hutan, revisi RTRW
atau revisi izin. Kemudian peraturan atau kebijakan satu peta perizinan,
termasuk integritas peta kawasan hutan adat dan milik masyarakat. Perlu
menjamin transparansi dan keterlibatan publik.
“Keadilan atas sumberdaya hutan meliputi peraturan
pemerintah daerah mekanisme membantu masyarakat mendapatkan hak, akses atau
kemitraan di dalam kawasan hutan. Perlu menjamin prinsip non diskriminasi.
Peratusan atau SOP penanganan konflik kehutanan, perlu menjamin ketersediaan
personil yang menguasai teknik mediasi, alokasi dana penanganan konflik dan
mambangun dengan LSM letak kekuatan aktor,” ujar Abdul Wahib Situmorang.
Sementara dalam pemaparannya, Hendrayanto dari Transparansi
Internasional dan Komda REDD+ Jambi Rudi Syaf menyoroti tentang keberhasilan
REDD+ tergantung keberhasilan pengendalial konversi dan kerusakan hutan.
Disebutkan, konversi dan kerusakan hutan tergantung pelaksanaan
kebijakan kawasan hutan, perizinan dan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL).
Dalam Semiloka Kesiapan Daerah dalam Tata Kelola Program
Penurunan Emisi dihadiri peserta dari Polda Jambi, Dishut Provinsi Jambi, ESDM
Provinsi Jambi, Dinas Perkebunan Provinsi Jambi, BLHD Prov Jambi, Biro Hukum
Prov Jambi, BKPMD dan PPT Prov Jambi dan Komda REDD+ Provinsi Jambi.
Kemudian dari seluruh kabupaten se Provinsi Jambi dari
Bappeda dan Dinas Kehutanan masing-masing. Juga peserta dari Swasta yakni PT
REKI, PT Alam Bukit 30, PT Wira Karya Sakti, PT Putra Duta Indahwood, PT Pesona
Belantara Persada.
Selanjutnya peserta dari perguruan tinggi, LSM dan media
yang diantaranya KKI Warsi, Yayasan Pinse, WWF Indonesia, Frankfurt Zoological
Sociaty (FZS), Yayasan Setara Jambi, Yayasan Cappa, Flora Fauna Indonesia (FFI)
Jambi.
Pada acar itu juga dilakukan tanya jawab soal rendahnya
indeka tata kelola hutan di kabupaten se Provinsi Jambi. Setidaknya muncul
kegalauan soal rendahnya indeks tata kelola hutan di Provinsi Jambi tersebut.
(*/lee)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar