Jumat, 15 Februari 2013

Menuju Kota Jambi "Spektakuler"

Stevan Manihuruk.Foto Facebook Ist

Oleh: Stevan Manihuruk.
            Setelah sekitar tiga tahun menetap di kota Jambi, penulis menggambarkan kota ini sebagai kota yang “biasa saja”, “aman-aman saja”, “sedang-sedang saja”, dan tidak ada yang terlalu spektakuler baik sisi positif maupun negatifnya. Kota Jambi merupakan salah satu dari 11 daerah kabupaten/kota yang ada dalam Provinsi Jambi, sekaligus juga menjadi ibukota Provinsi Jambi. Secara historis, Pemerintah Kota Jambi dibentuk dengan Ketetapan Gubernur Sumatera No.103/1946 sebagai Daerah Otonom Kota Besar di Sumatera, kemudian diperkuat dengan Undang-undang No.9/1956 dan dinyatakan sebagai Daerah Otonom Kota Besar dalam lingkungan Provinsi Sumatera Tengah (www.kotajambi.go.id).
            Kembali ke pernyataan di awal, berikut beberapa fakta yang menghantarkan penulis pada “kesimpulan” tersebut. Dari segi “ukuran” dan tingkat kesibukan, Jambi tentu saja masih kalah dibandingkan beberapa kota besar di tanah air misalnya Jakarta, Surabaya, Medan atau bahkan kota tetangga misalnya Pekanbaru dan Palembang. Apalagi kalau indikatornya adalah jumlah gedung pencakar langit yang dimiliki. Namun, untuk mengatakan Jambi sebagai “kota kecil” juga rasanya tidak tepat karena faktanya kota ini pun sedang bergerak menuju “kota besar”.
            Situs Warta Ekonomi pada 22 Agustus 2012 lalu, juga pernah merilis peringkat 50 kota/kabupaten terkaya. Lima teratas ditempati oleh Kab. Kutai, Kota Surabaya, Kota Bandung, Kab. Siak, Kab. Bogor, Kota Medan, Kab. Kutai Timur, Kab. Bengkalis, Kab. Bandung, dan Kab. Muara Enim. Sementara kota Jambi berada pada urutan ke - 43. Peringkat yang tidak terlalu istimewa tapi masih tergolong lumayan.

Bukti lainnya bahwa kota Jambi masih dalam kategori sedang, misalnya dengan menggunakan indikator kemacetan. Sebagaimana dirilis situs inilah.com tanggal 19 Mei 2011 lalu, Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengungkapkan enam kota besar di Indonesia yang tercatat sebagai kota dengan kemacetan terparah secara berurutan adalah: DKI Jakarta, Bandung, Surabaya, Makassar, Medan, dan Denpasar. Kota Jambi tidak masuk dalam daftar tersebut meski pada jam dan lokasi-lokasi tertentu, kemacetan lalu lintas mulai biasa kita saksikan bersama di kota ini. Namun sekali lagi, kategorinya tidak terlalu parah alias sedang-sedang saja.

            Dari segi kekondusifan, kota Jambi juga tergolong “adem” karena cukup jarang terdengar adanya konflik terutama yang terkait dengan isu SARA. Bandingkan dengan kota Makassar dan beberapa kota di Pulau Jawa yang “langganan” disorot media massa lantaran terjadinya konflik bernuansa SARA.

Beberapa waktu lalu, memang sempat terjadi aksi penutupan salah satu gereja di kota ini yang dilakukan oleh Pihak Pemkot, namun itu pun tidak sampai menimbulkan gejolak yang luar biasa. Bandingkan dengan kasus GKI Yasmin, Bogor yang kasusnya telah menyita perhatian nasional bahkan dunia internasional.

            Dengan menggunakan indikator kebersihan, kota Jambi juga masih dalam kategori “sedang”. Bulan Juni tahun lalu, Walikota Jambi dr Bambang Priyanto kembali menerima sertifikat Adipura kategori kota sedang yang diserahkan langsung oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup Prof Dr Balthasar Kambuaya, MBA. Namun dari rilis 10 kota terbersih di Indonesia tahun 2012, kota Jambi sama sekali tidak termasuk di dalamnya. Urutannya: Tangerang, Palembang, Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Utara, Semarang, Malang, Balikpapan, dan kota Medan.

            Kementerian Kesehatan tahun 2010 lalu juga telah merilis data tentang kota dengan peringkat kesehatan tertinggi dan terendah/terburuk. Kemenkes membuat 24 indikator untuk menentukan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM). Hasilnya, dari 10 kota dengan nilai indikator kesehatan tertinggi, ternyata kota Jambi pun tidak termasuk di dalamnya. Secara berurutan adalah: Magelang (Jateng), Gianyar (Bali), Salatiga (Jateng), Yogyakarta, Bantul (Yogyakarta), Sukoharjo (Jateng), Sleman (Yogyakarta), Balikpapan (Kaltim), Denpasar (Bali), dan Madiun (Jatim).

            Jika di tertinggi tidak ada, mungkinkah kota Jambi termasuk di terendah? Ternyata tidak juga. Karena peringkat 10 terendah/terburuk adalah: Mappi (Papua), Asmat (Papua), Seram Bagian Timur (Maluku), Yakuhimo (Papua), Nias Selatan (Sumut), Paniai (Papua), Manggarai (NTT), Puncak Jaya (Papua), Gayo Lues (Aceh), dan Pegunungan Bintang (Papua). 

            Baru-baru ini, Kementerian Dalam Negeri juga baru saja memberikan penghargaan kepada 9 kabupaten/kotamadya terkait pelaksanaan pelayanan e-KTP selama tahun 2012. Kesembilan kabupaten/kota tersebut dinilai sebagai pelaksana pelayanan e-KTP terbaik. Penghargaan tersebut diberikan langsung oleh Mendagri Gamawan Fauzi pada Selasa 29 Januari 2013 lalu.

Sayangnya, kota Jambi tidak termasuk di dalamnya. Untuk Wilayah Indonesia Barat, yang menerima nya adalah: Kabupaten Bogor, Kabupaten Padang Pariaman, dan Kota Semarang. Untuk Wilayah Indonesia Tengah: Kota Balikpapan, Kabupaten Karangasem, dan Kabupaten Manggarai Barat. Untuk Wilayah Indonesia Timur: Kepulauan Sula, Kabupaten Manokwari, dan Kabupaten Boven Digul.

Untuk kategori “bersih” dari korupsi, posisi kota Jambi pun boleh dikatakan masih tergolong “sedang”. Pada akhir 2010 lalu misalnya, Transparency International Indonesia (TII) melansir Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2010 terhadap 50 kota.

Hasilnya menunjukkan Denpasar berpredikat sebagai kota terbersih dengan IPK 6,71. Sementara Pekanbaru dan Cirebon berpredikat terkorup dengan IPK 3,61. Kota Jambi berada pada posisi ke - 46 dengan IPK 4,13. Pada akhir 2012 lalu, FITRA juga merilis 10 kota terkorup berikut kerugian negara yang ditimbulkan dengan urutan sebagai berikut: Jakarta Utara (Rp. 321 M), Makassar (Rp. 269 M), Medan (Rp. 215 M), Banda Aceh (Rp. 206 M), Pontianak (Rp. 200 M), Jakarta Selatan (Rp. 169 M), Palu (Rp. 157 M), Palembang (Rp. 139 M), Riau (Rp. 125 M), dan Tanjung Karang (Rp. 123 M). Kota Jambi? Lagi-lagi, hampir pasti posisinya berada “di tengah”.

Walikota “Spektakuler”

            Jika perilaku pejabat publik/kepala daerah dijadikan indikator, lagi-lagi kota Jambi berada pada kategori “lumayan”. Setidaknya hingga saat ini, sang Walikota dan wakilnya masih bersih dari terpaan dugaan penyalahgunaan wewenang (korupsi).

Demikian pula, mereka pun tidak melakukan perbuatan tercela seperti yang dilakukan salah satu Bupati di Pulau Jawa yang akhirnya dilengserkan karena kasus nikah kilat dengan gadis di bawah umur pula. Namun dari segi prestasi, boleh dikatakan belum ada pula hal-hal prestisius yang bisa mereka banggakan.

Nama walikota kita jelas kurang dikenal misalnya saja dibandingkan dengan walikota Surabaya, Tri Rismaharini yang sukses menata Surabaya menjadi lebih asri, rapi dan bersih. Apalagi kalau dibandingkan dengan mantan Walikota Solo -kini menjadi Gubernur DKI-, Joko Widodo (Jokowi) yang beberapa waktu lalu dinobatkan sebagai peringkat ketiga Walikota terbaik di dunia.

Tahun ini, kota Jambi akan menggelar Pemilihan Kepala Daerah (Walikota/Wakil Walikota). Beberapa nama sudah bermunculan. Ada yang sudah terang-terangan mendeklarasikan diri, ada pula yang masih malu-malu sembari menunggu momentum. Nah, diantara beberapa nama yang sudah beredar, apakah Anda sudah menemukan calon “spektakuler” yang tentunya diharapkan atau bahkan diyakini bisa membawa kota Jambi yang kita cintai ini menjadi lebih “spektakuler” (dalam hal-hal yang positif tentunya) ?. Kalau saya, belum. (Penulis PNS di Kantor BPDAS Batanghari Jambi )

(Sudah Dimuat di Jambi Independent, 14 Februari 2013)

Tidak ada komentar: