Senin, 05 Maret 2012

Minum Tuak, Tradisi Mendarah Daging Bagi Sebagian Orang Batak Hingga Ke Perantauan

Jambi, BATAKPOS

Maragat : R Siregar (43) tampak saat “maragat” (menyadap) pohon kelapa di dekat kedai tuaknya di Bangko, baru-baru ini.Lima pohon kelapa dekat rumah Siregar mampu menghidupi biaya sekolah anaknya dari tuak kelapa tersebut.foto batakpos/rosenman manihuruk

Minum “Tuak” dari kelapa atau aren kini masih menjadi andalan untuk membuang dahaga sebagian besar orang Batak hingga ke perantauan. Bahkan tuak yang diambil (diagat) dari pohon kelapa, lebih terkenal di Bangko, Merangin Provinsi Jambi dibanding tuak dari pohon aren seperti di daerah Sumatera Utara pada umumnya.

Hal itu pula yang terdapat di salah satu kedai tuak dekat GKPS Bangko, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi. Kedai tuak milik R Siregar (43) ini menjadi salah satu andalan warga Bangko asal Sumut untuk saling bersilaturahmi. Selain menyediakan tuak, teh manis dan kopi, Siregar juga menyediakan menu tambahan “tambul” penyedap tuak (daging RW).

Hal itu juga yang dapat diamati BATAKPOS saat mengikuti salah satu kegiatan Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) se Resort Jambi di GKPS Bangko, Kabupaten Merangin, baru-baru ini.

Setiap malam, kedai tuak milik Siregar banyak pengunjung. Tidak heran kalau omset Siregar selalu menjanjikan. “Minum tuak sudah menjadi tradisi mayoritas orang Batak, bahkan hingga ke tanah perantauan. Tuak juga sudah menjadi minuman vaforit di kedai tuak. Minuman ini juga merupakan selera khas kaum pria Batak,”ujar Asi Damanik warga Kota Jambi.

Menurutnya, tuak kelapa di Jambi cukup terkenal. Hampir seluruh kedai tuak di Provinsi Jambi tuak terbuat dari kelapa, bukan pohon aren seperti kebanyakan di Sumut.“Minum tuak tidaklah dilarangan, yang dilarang itu adalah mabukya,”kata Asi M.

Hal senada juga dikatakan Alex Manihuruk, warga Sumbersari (Kabupaten Tebo). Menurutnya, di Kecamatan Rimbo Bujang, banyak ditemukan kedai tuak. Kedai tuak merupakan tempat silaturahmi masyarakat Batak di perantauan, khususnya kaum Bapa atau pria.

“Kedai tuak sekarang bukan hanya dikunjungi masyarakat Batak pada umumnya. Namun di Kabupaten Tebo kedai tuak sudah banyak dikunjungi warga transmigrasi (Jawa). Minuman tuak sudah menjadi khas tradisional yang banyak membantu perekonomian petani kelapa. Minum tuak tak akan terlupakan walaupun di tanah perantauan,”kata Alex Manihuruk.

Sementara Siregar, pemilik kedai tuak di Bangko mengatakan, dirinya mampu mendapatkan tuak dari puluhan batang pohon kelapa dekat rumahnya hamper dua jerigen ukuran 40 liter per hari. Omset penjualan tuak setiap harinya berkisar Rp 500 ribu dengan harga jual Rp 3000 per gelas.

“Omset saya hari Sabtu-Minggu selalu meningkat tajam hingga Jutaan Rupiah. Hal ini bertepatan dengan kumpulnya kaum adam usai menjalankan aktifitas rutin yang mayoritas pekebun,”katanya.

Menurut R Siregar, adanya pemberantasan tuak yang dilakukan polisi, hal itu kurang mendukung perekonomian petani kelapa. “Polisi seharusnya memberantas pemabuk, bukan peminum tuak. Banyak peminum tuak bukan untuk mabuk, namun hanya untuk kebugaran tubuh. Kasihan kami penyadap tuak, padahal mata pencaharian sebagian besar dari tuak,”katanya.RUK

Tidak ada komentar: