Acara Merola adat Bugis |
Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman budaya, tradisi, adat istiadat, bahasa, suku dan agama paling beragam di dunia. Bahkan setiap
daerah merupakan miniatur keragaman budaya Indonesia. Salah satunya adalah
daerah Provinsi Jambi. Sebagai warga perantau, suku Bugis khususnya Suku Wajo,
masih sangat kental menggunakan tradisi dan adat-istiadatnya di Jambi.
Provinsi Jambi salah satu daerah yang penduduknya majemuk
yang terdiri dari berbagai suku, termasuk Etnis Bugis. Keragaman suku tersebut
sebagai kekayaan budaya lokal yang harus terus terjaga dengan baik.
Salah seorang tokoh masyarakat Bugis Wajo, Andi Basok
Pawellangi mengatakan, Jambi salah satu daerah yang ditempati oleh banyak etnis
Bugis.Jambi juga merupakan daerah yang penduduk aslinya adalah orang Melayu
Jambi. Sesuai dengan historisnya Jambi merupakan sebuah kawasan kerajaan Melayu
Kuno.
Sedangkan suku Bugis memiliki asal daerah dari Sulawesi Selatan.
Namun dengan perkembangan zaman, hal ini pun telah mulai hilang, sehingga warga
Suku Bugispun banyak datang keJambi.
Walaupun Jambi mayoritas adalah suku Melayu, akan tetapi
bagi suku Bugis sebagai penduduk di Jambi, bukan
merupakan sebuah alasan untuk tidak menggunakan adat istiadat atau tradisi
warga suku Bugis.
Akan tetapi sebagai warga Indonesia harus selalu menjunjung tinggi persaudaraan, dengan itu warga suku Bugis
selalu menjunjung tinggi istilah adat orang Jambi yaitu dimana langit dijunjung
disitu bumi dipijak.
Sehingga warga atau orang suku Bugis pun melaksanakan
tradisi atau adat yang ada di Jambi. Andi Basok Pawellangi mengatakan, pihaknya
tidak melupakan tradisi adat istdiadat orang Bugis.
“Akan tetapi jita juga tidak boleh melupakan adat dan
tradisi orang Jambi karena kita tinggal di Jambi,” kata Andi Basok lagi.
Sejarah Suku Bugis
Andi Basok Pawellangi juga
menceritakan tentang sejarah asal mulanya suku Bugis. Ia mengatakan, bahwa asal usul kata “bugis” adalah to ugiyang merujuk pada pimpinan kerajaan
Cina pertama yang ada di Pammana yang saat ini menjadi Kabupaten Wajo yang bernama
La Sattumpugi.
Mereka yang berada dibawah pemerintahan raja ini menyebut
dirinya sebagai To Ugi yang artinya
adalah pengikut raja La Sattumpugi.
Berkembangnya adat istiadat suku Bugis ini lalu mengarah
pada munculnya banyak kerajaan seperti Bone, Luwu, Wajo, Soppeng, Sinjai, Barru
dan masih banyak yang lainnya. Saat ini semua kerajaan-kerajaan tersebut
menjadi kabupaten, dimana orang Bugis adalah penduduk mayoritas.
Tradisi Adat Bugis
Suku Bugis dengan adat istiadatnya yang unikselain itu Andi Basok
Pawellangi juga menjelaskan bahwa ada tiga hal yang bisa
memberikan gambaran tentang budaya orang bugis, yaitu konsep ade, siri, na pesse dan simbolisme orang bugis adalah sarung
sutra.
Ade dalam bahasa Indonesia yaitu adat istiadat.Sedangkan dari segi
adat orang bugis bisa dilihat dari empat jenis yaitu dikenal dengan Ade Maraja. Adat ini digunakan oleh
kalangan raja atau para pemimpin dan diteruskan dengan keturunanya.
Selain itu Ade
Puraonro, yaitu suatu adat yang sudah dipakai sejak lama di masyarakat
secara turun temurun seperti halnya adat dan tradisi pernikahan. Ade Assamaturukeng yaitu sebuah adat
untuk membuat sebuah aturan melalui sebuah kesepakatan bersama.
Terakhir adalah Ade
Abiasang yaitu adat dipakai dari dulu hingga sekarang yang selalu
diterapkan di kehidupan bermasyarakat. Menurut Andi Basok Pawellangi, ada
terdapat lima prinsip dasar dari ade
atau adat yaitu ade bicara (adat
berbicara ).
Sebuah aturan dalam berkomunikasi antar sesama, Ade Rapang lebih mengarah kepada tingkah
laku seseorang. Ade Wari mengacu
kepada sebuah hirarki keturunan sedangkan Ade
Syara sebuah aturan mengenai hukum Islam.
Sedangkan siri (
Malu ) merupakan sebuah pronsip tegas bagi tingkah laku orang bugis. Pepatah
orang Bugis mengatakan bahwa hanya orang yang punya Siri atau malu lah yang dianggap sebagai manusia.
Pepatahnya berbunyi “Naia Tau De’e Sirina, De Lainna Olokolo’e.
Siri’ e mitu tariaseng tau” artinya barang siapa yang tidak punya siri, maka
dia bukanlah siapa-siapa, melainkan hanya seekor binatang, kata Andi Basok
Pawellangi.
Kebudayaan orang Bugis yang masih sering dipergunakan oleh
masyarakat Jambi, yaitu tradisi pernikahan orang Bugis. Kata Andi Basok
Pawelangi, bahwa tradisi yang dipergunakan dalam pernikahan orang bugis
memiliki tiga tahapan.
Pertama dikenal dengan istilah tahapan pra nikah yaitu Madduta/ Lao Lettu yaitu tahapan
pendahuluan yang harus dilewati sebelum pesta perkawinan (mappabotting)
dilangsungkan.
Jika lelaki belum dijodohkan sejak kecil (atau sebelum dia
lahir) maka keluarganya akan mulai mencari-cari pasangan yang kira-kira
dianggap sesuai untuknya. Bagi kaum bangsawan, garis keturunan perempuan dan laki-laki
akan diteliti secara seksama
untuk mengetahui apakah status kebangsawanan mereka sesuai atau tidak.
“Jangan sampai tingkatan pelamar lebih rendah daripada
perempuan yang akan dilamar. Madduta
artinya meminang secara resmi. Zaman dulu dilakukan dengan beberapa kali,
sampai ada kata sepakat, inilah yan disebut Madduta,”
kata Andi Basok Pawelangi.
Selain itu juga dikenal dengan “sompa” yaitu, mas kawin atau
mahar sebagai syarat sahnya suatu perkawinan. Besarnya sompa telah ditentukan menurut golongan atau tingkatan derajat
gadis. Penggolongan sompa tidaklah selalu sama dengan pengistilahnnya ada dalam
bentuk uang “real” adapula dalam bentuk “kati”.
Setelah itu ada dikenal dengan istilah Ma’pisseng/ ma’tale unda’ngeng/ atau memberi kabar
Setelah kegiatan madduta
atau peminangan telah selesai, dan menghasilkan kesepakatan.
Maka kedua belah pihak keluarga calon mempelai akan
menyampaikan kabar. “menyebar undagan kepada sanak keluarga dan masyarakat,” ucap Andi Basok.
Setelah itu ada lagi yang dikenal dengan Mappalettu Selling. Kegiatan ini merupakan kelanjutan dari proses sebelumnya
yaitu mappaisseng, dan biasanya pihak
keluarga calon mempelai akan mengundang seluruh sanak saudara dan handai
taulan. (*/lee)
======
KOLOM
Mengenal Adat Pernikahan
Etnis Bugis
Tradisi adat perkawinan etnis Bugis juga penuh
dengan keragaman. Undangan tertulis ini dilaksanakan kira-kira 10 atau 1 minggu
sebelum resepsi perkawinan dilangsungkan. Kegiatan ini disebut juga Mappalettu
Selleng karena diharapkan pihak yang diundang akan merasa dihargai bila para
pembawa undangan ini menyampaikan salam dan harapan dari pihak yang mengundang
kiranya bersedia datang untuk memberi restu.
Kemudian ada lagi yang dikenal dengan istilah Ma’sarapo atau baruga. Sarapo atau baruga adalah bangunan tambahan yang
didirikan di samping kiri/kanan rumah yang akan ditempati melaksanakan akad
nikah.
Sedangkan baruga
adalah bangunan terpisah dari rumah yang ditempati bakal pengantin dan
dindingnya terbuat dari jalinan bambu yang dianyam yang disebut wlsuji
“walasuji”.
Di dalam sarapo
atau baruga dibuatkan pula tempat
yang khusus bagi pengantin dan kedua orang tua mempelai yang disebut lmi
“lamming”. Tetapi akhir-akhir ini masyarakat Bugis sudah jarang lagi mendirikan
sarapo oleh karena sudah ada beberapa gedung atau tenda yang dipersewakan lengkap
dengan peralatannya, namun kadang pula masih ada yang melaksanakan terutama
bagi kalangan bangsawan dan orang berada.
“Ma’sarap/ baruga, sudah jarang
digunakan, karena sekarang sudah bisa disewa seperti tenda dan sebagainya,” ucap
Andi Basok.
Setelah itu ada lagi yang dikenal dengan Ma’pacci, mappatemme Al-quran, mappanre
dewata/ tudang penni. Mappacci merupakan upacara
adat mappacci yang dilaksanakan pada
waktu tudampenni satu malam sebelum
hari H atau menjelang acara akad nikah/ijab kabul keesokan harinya.
Upacara mappacci
adalah salah satu upacara adat Bugis yang dalam pelaksanaannya menggunakan daun
pacar (Lawsania alba), atau Pacci. Sebelum kegiatan ini dilaksanakan biasanya
dilakukan dulu dengan mappanrétemme
(khatam Al-Quran) dan barazanji.
Daun pacci ini dikaitkan dengan kata paccing
yang makananya adalah kebersihan dan kesucian. Dengan demikian pelaksanaan mappacci mengandung makna akan
kebersihan raga dan kesucian jiwa.
Kata Andi Basok Pawellangi, selain itu, sebelum acara mappacci dimulai, biasanya dilakukan padduppa (penjemputan) mempelai. Calon
mempelai dipersilakan oleh Protokol atau juru bicara keluarga.Calon mempelai
dipersilakan menuju pelaminan.
Pelaminan di sisi para pendamping. Duduk saling
berdekatan satu sama lain. Mereka duduk bersuka ria di malam tudampenni,
mappacci pada sang raja dan ratu mempelai nan rupawan. Tuntunlah dan bimbinglah
sang raja dan ratu menuju pelaminan yang bertahtakan emas.
Dalam pelaksanaan mappacci disiapkan perlengkapan yang kesemuanya mengandung arti
makna simbolis yang pertama adalah Sebuah bantal atau pengalas kepala yang
diletakkan di depan calon pengantin, yang memiliki makna penghormatan atau
martabat, kemuliaan dalam bahasa Bugis berarti mappakalebbi.
Kemudian yang kedua Sarung sutera
7 lembar yang tersusun di atas bantal yang mengandung arti harga diri, dan yang
ketiga di atas bantal diletakkan pucuk daun pisang yang melambangkan kehidupan
yang berkesinambungan dan lestari.
Dalam pelaksanaannya ini, penggunaan pacci
menandakan bahwa calon mempelai telah bersih dan suci hatinya untuk menempuh
akad nikah keesokan harinya dan kehidupan selanjutnya sebagai sepasang suami
istri hingga ajal menjemput.
Daunpacar atau pacci yang telah dihaluskan ini
disimpan dalam wadah bekkeng sebagai
permaknaan dari kesatuan jiwa atau kerukunan dalam kehidupan keluarga dan
kehidupan masayarakat.
Orang-orang yang diminta untuk meletakkan pacci
pada calon mempelai biasanya adalah orang-orang yang mempunyai kedudukan sosial
yang baik dan punya kehidupan kehidupan rumah tangga yang bahagia.
Semua ini mengandung makna agar calon mempelai
kelak di kemudian hari dapat hidup bahagia seperti mereka yang meletakkan pacci
di atas tangannya. “Kegiatan mapacci
ini mempunyai makna tersendiri bagi orang Bugis,” kata Andi Basok Pawelangi. (ANDRI MUSTARI/lee)
***
Tradisi Mappanre DewataPada Akad Nikah Bugis
Acara Mqpandre Temme pada Adat Bugis |
Setelah mapacci
dikenal lagi dengan istilah Mappanre
Dewata (makan dalam kelambu). Prosesi makan dalam kelambu ini sudah turun temurun
dari nenek moyang suku Bugis.
Biasanya ritual ini dilakukan pada waktu ada hajatan
perkawinan, tetapi bisa juga dilakukan
apabila ada hajatan yang lain, misalnya khitanan (sunatan), naik ayun (naek
tojang atau mapenerek tojang).
Setelah pernikah dilakukan maka sampailah tahapan
pernikahan, yang disebut juga dengan istiah Mappenre Bottingyang merupakan
kegiatan mengantar pengantin laki-laki ke rumah pengantin perempuan untuk
melaksanakan akad nikah.
Setelah itu Madduppa botting yang kegiatan ini
diartikan menjemput kedatangan pengantin laki-laki. Sebelum penganting
laki-laki berangkat ke rumah perempuan, terlebih dahulu rombongan tersebut
menunggu penjemput dari pihak perempuan (biasanya dibicarakan lebih dahulu
sebagai suatu perjanjian).
Bila tempat mempelai perempuan jauh dari lokasi
rumah laki-laki maka yang disepakati adalah jam tiba di rumah perempuan.
Rombongan penjemput tersebut menyampaikan kepada pihak laki-laki bahwa pihak
perempuan telah siap menerima kedatangan pihak laki-laki.
Menurut penuturan Andi Basok Pawelangi, setelah
itu barulah dilangsungkan dengan kegiatan Akad Nikah. Orang yang bersiap
melakukan akad nikah adalah bapak atau wali calon mempelai perempuan atau imam
kampung atau salah seorang yang ditunjuk oleh Departemen Agama. Dua orang saksi
dari kedua belah pihak.
“Orang yang hasrus siap terlebih dahulu untuk
akad nikah adalah, orang tua atau wali, penghulu dan juga orang yang bertindak
sebagai saksi,” kata Andi Basok Pawellangi.
Andi Basok menambahkan, setelah akad nikah
selesai maka dilanjutkan dengan acara mappasiluka
atau maippasikarawa. Acara ini merupakan kegiatan mempertemukan
mempelai laki-laki dengan pasangannya.
Pengantin laki-laki diantar oleh seseorang yang
dituakan oleh keluarganya menuju kamar pengantin. Kegiatan ini biasa disebut
juga dengan mappalettu nikka.
Akan tetapi kegiatan ini sering terjadi dipintu
kamar pemgantin perempuan, sehingga untuk masuk dilakukan dulu dialog yang
disertai dengan pemberian kenang-kenangan berupa uang dari orang yang mengantar pengantin laki-laki sebagai
pembuka pintu.
Setiba di kamar, oleh orang yang mengantar
menuntun pengantin laki-laki untuk menyentuh bagian tertentu tubuh pengantin
perempuan. “Kegiatan ini dilakukan untuk memberikan sebuah kenang-kenangan
kepada pihak pengantin wanita, setelah itu, sang pengantin pria sudah berhak
menyentuh sang pengantin perempuan, yang biasanya dilakukan adalah bersalaman,”
kata Andi Basok.
Setelah prosesi mappasiluka maka dilanjutkan dengan acara memohon maaf kepada kedua
orang tua pengantin perempuan dan seluruh keluarga dekat yang sempat hadir pada
akad nikah tersebut.
Selesai memohon maaf lalu kedua pengantin
diantar menuju pelaiminan untuk bersanding guna menerima ucapan selamat dan doa
restu dari segenap tamu dan keluarga yang hadir, biasanya acara ini dilanjutkan
dengan resepsi di malam hari.
Kemudian Tahapan setelah menikah yang dikenal dengan istilah
bugisnya adalah Mapparola.Acara ini merupakan juga prosesi penting dalam rangkaian
perkawinan adat Bugis. Yaitu kunjungan balasan dari pihak perempuan kepada
pihak lak-laki.
Jadi merupakan sebuah kekurangan, apabila
seorang mempelai perempuan tidak diantar ke rumah orang tua mempelai laki-laki.
Kegiatan ini biasanya dilaksanakan sehari atau beberapa hari setelah upacara
akad nikah dilaksanakan. Kegiatan biasanya tidak dilakukan jika pernikahan
tidak mendapat restu dari orang tua pihak laki-laki.
Pada hari yang disepakati untuk proses mapparola atau marola (mammatoa) kedua belah pihak kemudian mengundang kembali
keluarga dan kaum kerabat untuk hadir dan meramaikan upacara mapparola.
Keluarga pihak perempuan mengundang beberapa
keluarga untuk turut mengantar kedua mempelai ke rumah orang tua pihak
laki-laki. Sedangkan pihak laki-laki mengundang beberapa keluarga dan kerabat
untuk menyambut kedatangan pihak perempuan.
Kedua mempelai kembali dirias seperti pada waktu
akad nikah, lengkap pula dengan semua pengiringnya, seperti balibotting, passeppi, pembawa cerek,
pembawa tombak, pembawa payung, pembawalellu’,
indo’ pasusu.
Apabila
kedua mempelai beserta rombongan tiba di hadapan rumah orang tua laki-laki maka
disambut dengan wanita berpakaian waju tokko hitam dengan menghamburkan wenno, sebagai pakkuru sumange’ (ucapan selamat datang).
“Dilemparkan
wenno sebagai ucapan selamat datang
dan mendoakan semoga panjang umur selalu,” kata Andi Basok. Selain itu, acara mapparola ini biasanya dilakukan juga makkasiwiang yaitu mempelai perempuan
membawakan sarung untuk mertua atau orang tua laki-laki beserta
saudar-saudaranya.
Namun demikian, kata Andi Basok, setiap daerah, setiap suku
pastinya memiliki sebuah tradisi yang berbeda, akan tetapi hal itu ukanlah
sesuatu cara untuk dibeda-bedakan.
Menurutnya, Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang
berlandaskan dengan Bhineka Tunggal Ika. “Kita ini negara kesatuan yang
berlandaskan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Berbeda-beda tapi tetap satu
jua,” ucap Andi Basok Pawellangi. (ams/lee)
Andi Basok Pelewangi |
Pakaian Adat Bugis |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar