Pendidikan Bukan Sulap
Sim salabim, kurikulum baru dimulai hari pertama tahun ajaran
2013/2014, Senin, 15 Juli 2013! Jiwa dunia persulapan tampaknya sudah
merasuk sangat dalam ke jiwa pemerintah (baca: Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan – Mendikbud).
Sejuta anjing boleh menggonggong
sekuat tenaga, sang kafilah dengan kepercayaan diri terlalu tinggi tetap
berlalu. Pada 15 Juli ini sebanyak 6.325 SD, SMP, SMA, dan SMK di 295
kabupaten dan kota yang tersebar di 33 provinsi mulai menerapkan
kurikulum baru. Kurikulum tanpa nama ini menggantikan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) yang diberlakukan secara nasional sejak 2006.
Ini berarti mulai tahun ajaran baru ini di sebagian besar sekolah tetap
menerapkan kurikulum “tradisional”, sedangkan di sebagian kecil sekolah
menerapkan kurikulum “modern”.
Tentu kita tidak atau belum bisa
memprakirakan, apa dan bagaimana kelak materi ujian nasional (UN)-nya.
Apakah materi UN buat siswa yang menganut kurikulum lama berbeda dengan
materi UN buat siswa yang menganut kurikulum baru? Apakah kualitas
lulusan sekolah penerap Kurikulum 2013 dianggap lebih baik daripada
lulusan sekolah pengguna kurikulum lama? Entahlah. Satu hal yang pasti,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud ) lagi-lagi
menciptakan diskriminasi sekolahsekolah di negeri ini.
Niat
baik Mendikbud Muhamad Nuh niscaya kita hargai. Akan tetapi, niat sebaik
apa pun bila tidak dilakukan dengan proses yang baik dan benar, pasti
hasilnya buruk. Sebagus apa pun bahan mentahnya, dalam hal ini Kurikulum
2013, bila proses pembuatan dan pelaksanaannya buruk, percayalah,
hasilnya pun pasti buruk. Secara universal dari dahulu kala lembaga
pendidikan selalu mengajar dan mendidik para siswa dan mahasiswa agar
berorientasi pada proses, bukan pada hasil. Proses yang baik niscaya
akan membuahkan hasil yang baik pula.
Terus terang, kita sangat
pesimistis kurikulum berbiaya Rp829 miliar ini dapat diterapkan para
guru. Tidak mustahil pelaksanaan kurikulum yang dibuat sendiri oleh
Kemendikbud (tidak melibatkan para guru) ini jauh lebih amburadul
daripada pelaksanaan UN SMA pada April lalu. Mengapa? Bayangkan,
buku-buku pelajaran SMA yang meliputi ekonomi, fisika, kimia, bahasa
Inggris, dan delapan pelajaran lainnya baru mulai ditulis pada Jumat
lalu (12/7). “Bukunya mulai kami tulis sekarang,” ujar Wakil Mendikbud
Musliar Kasim, Jumat lalu (Koran Tempo, 13/7).
Lalu kapan
dicetak dan diedarkannya? Sebagian guru sasaran (yang menerapkannya
langsung di kelas/ sekolah) juga baru dilatih (baca: diceramahi) pada
pekan lalu (8–12 Juli). Bayangkan, hanya lima hari. Sebagian guru
lainnya baru dilatih di sekolah masing-masing mulai Selasa (16/7).
Pelatihan sangat singkat para guru tersebut berbiaya Rp521 miliar.
Dahulu (2006) sebelum KTSP diterapkan, para guru dilatih (bukan
diceramahi) selama dua pekan hingga dua bulan. Aroma proyek (uang) dalam
pembuatan dan pelaksanaan Kurikulum 2013 jauh lebih tercium tajam
ketimbang inovasi pendidikan.
Semoga tidak ada anggota DPR yang
meminta dan menerima komisi untuk terpaksa menyetujui kurikulum terbaru
tersebut pada akhir Mei lalu. Ada satu hal mendasar yang diabaikan
Kemendikbud , yakni prinsip dan strategi difusi inovasi. Kemendikbud
mengabaikan hukum alam komunikasi. Sejak 1940-an, para ahli komunikasi
sudah membuktikan bahwa mendifusikan sebuah inovasi pasti membutuhkan
proses yang sangat panjang dan lama d e n g a n usaha-usaha yang
intensif sekali.
Untuk diterima sebuah inovasi saja dibutuhkan
waktu yang sangat lama, apalagi sampai mengamalkannya. Kurikulum 2013
pastilah sebuah inovasi di bidang pendidikan di sekolah. Ini tidak bisa
difusikan dengan gaya instruktif melalui jalur birokrasi Kemendikbud dan
dinas- dinas pendidikan di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota,
apalagi dengan ancaman sanksi berat bagi para guru yang enggan
menerapkannya. Sebagai ilustrasi, sejak 1950- an pemerintah sudah
mendifusikan inovasi di bidang kependudukan bernama Keluarga Berencana
(KB).
Tidak terhitung berapa besar biaya yang dikeluarkan
negara untuk difusi inovasi tersebut. Pemerintah sudah menggunakan
berbagai media dan strategi. Buktinya, hingga kini masih b a n y a k w a
r g a m a s - y a r a k a t negeri ini yang tidak mau ber-KB, meskipun
secara kognitif mereka paham betul motif dan tujuan program nasional
yang sangat bagus itu. Dalam teori komunikasi ini disebut disonansi
kognitif. Contoh lainnya, UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional dan UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen.
Ini juga
inovasi. Ternyata hingga kini masih banyak guru dan dosen yang tak
pernah membaca kedua UU tersebut. Bayangkan, kaum terpelajar itu tidak
tertarik membaca hukum yang mengatur profesi mereka sendiri. Sudah
terlalu sering pemerintah dan DPR membuahkan inovasi di bidang hukum
atau undang-undang, tetapi itu menjadi sia-sia karena aspek komunikasi
(pendifusiannya) diabaikan.
Agaknya Kemendikbud tidak perlu
malu berguru kepada produsen barang-barang (konsumsi) yang sangat gencar
mempromosikan dan mengiklankan produk- produk inovatif mereka, baik
melalui media massamaupuncara lain yang dianggap efektif. Meskipun sudah
mengeluarkan banyak biaya promosidanpemasaran, belum tentu warga
masyarakat mau mengonsumsi barang-barang baruyangmerekatawarkan.
Realitas ini menuntut kegigihan dan konsistensi mereka untuk terus
mendifusikan informasi tentangproduk- produkinovatifmereka.
Daripada harus mengorbankan para siswa dan guru, menurut kita, Mendikbud
tidak perlu merasa kehilangan muka di depan rakyat bila kurikulum
(inovasi) terbaru tersebut didifusikan dulu dengan baik kepada semua
pemangku kepentingan pendidikan, terutama para guru dan pengelola
sekolah. Lebih baik terlambat asal selamat. Untuk apa Mendikbud
mengebut, tetapi akhirnya pendidikan nasional masuk ke jurang dalam?
Bukankah kurikulum hanyalah alat mencapai tujuan pendidikan nasional?
Jangan lupa, sekitar Oktober 2014, presiden baru kita niscaya memilih
Mendikbud baru pula.
Apakah kelak terbukti kepercayaan
masyarakat selama ini bahwa ganti Mendikbud ganti pula kurikulum?
Kemungkinan besar ini akan terjadi. Lagi-lagi para guru dan siswa
menjadi korban Mendikbud kelak. Ini juga berarti pendidikan nasional
kita akan terus berlari-lari di tempat, kalau bukan berlari-lari mundur.
Pada saat yang sama, pendidikan di negara-negara jiran kita berlari
semakin kencang dan kita pasti tertinggal semakin jauh.
Yah,
beginilah nasib negara besar yang senantiasa menjadikan pendidikan
formal sebagai komoditas politik dan proyek bagi pemerintah dan DPR.
Siapa pun tahu bahwa Muhamad Nuh tidak sama dengan Nabi Nuh. Segenap
jajaran Kemendikbud juga harus yakin bahwa pendidikan bukanlah sulap.
Sim salabim…! S SAHALA TUA SARAGIH
Dosen Prodi Jurnalistik, Fikom, Unpad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar