Rupiah
membuatpergerakanspektakuler di medioFebruari.NilaitukarmatauangMerahPutih yang
sejakjelangpenutupan 2013 bertengger di kisaran Rp12 ribudolar per AS, kini mulai menjauh dari level psikologis tersebut.
Deputi
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan, per 17 Februari 2013, posisi
rupiah pada kurs tengah Bank Indonesia (BI ) ada di 11.716 per dolar AS. Sementara
di pasar spot antarbank, rupiah ditransaksikan pada 11.684 per dolar AS.
Penguatan
tersebut terbilang signifikan lantaran pada akhir Januari, kurs rupiah terhadap
greenback masih fluktuatif di kisaran
12 ribu. Bahkan,
sempat mencapai Rp12.300 per dolar AS pada 28 Januari silam.
Disebutkan,
apresiasi rupiah merupakan satu pertanda positif setelah sepanjang tahun lalu
terdepresiasi dari level 9.300-an ke 12.000-an per dolar AS. Menteri Keuangan
Chatib Basri pun ikut berkomentar, menyebut sudah saatnya nilai tukar rupiah
beranjak menguat.
Sejak
pertengahan 2013, tekanan atas rupiah memang terasa intens. Itu dipicu antara
lain oleh santernya kabar pengurangan bertahap stimulus moneter (tapering off) Bank Sentral Amerika
Serikat (The Fed). Isu itu mendorong arus modal keluar dari negara-negara emerging market, termasuk Indonesia.
Investor khawatir tapering off akan
membuat likuiditas mengetat.
Faktor
tekanan instabilitas lain adalah defisit transaksi berjalan yang sempat mencapai 4,4% dari
Produk Domestik Bruto (PDB ) di kuartal II 2013. Kondisi yang kala itu sempat
meluruhkan kepercayaan investor pasar finansial danmemasukkan Indonesia bersama
beberapanegara lain ke dalam keranjang berlabel ‘TheFragile Five’.
Menurut
Perry Warjiyo, tekanan terus berlangsung cukup kuat hinggakuartal III 2013. Trenmelemahnyarupiah beranjak mereda pada kuartal
akhirtahun lalu. Itu lantaran ditopang responsBI bersama dengan pemerintah
dalammengendalikan defisit transaksi berjalan daninflasi.
Perry
Warjiyo di Jakarta belum lama ini mengatakan, prioritas utama adalah memang
untukmenjaga stabilitas dalam jangka pendekketimbang sekadar memburu angka
tinggipertumbuhan ekonomi.
“Mengapa
untukmenjaga momentum pertumbuhan, kita jaga stabilitas terlebih dahulu jangka
pendeknya?Agar dalam jangka menengah panjang,pertumbuhan ekonomi tetap
berkelanjutan.
“Berbeda
dengan kebanyakan negara emergingmarket lain, otoritas moneter
Indonesiamengutamakan bauran kebijakan moneterdengan kebijakan makroprudensial.
Responsterhadap tekanan instabilitas tidak sematamatamelalui kebijakan suku bunga.
Maka,
di 2013, BI tidak sekadar mengereknaik suku bunga 175 basis poin, tapijuga memberi ruang
bagi rupiahuntuk terdepresiasi dengan harapanmemacu ekspor dan menekan impor.
Dengan
begitu, defisit transaksiberjalan mengempis lebih cepat.“Kalau kita lihat dari
neraca,penurunan impor, terutamanonmigas, dipengaruhi beberapafaktor. Yang
utama, depresiasinilai tukar. Barang impor jadi lebihmahal. Faktor-faktor
berikutnya,perlambatan pertumbuhan ekonomidan hasil mengendalikan kredit,”urai
Perry.
Pengendalian
kredit merujuk kepadakeberhasilan BI mengatrol lajukredit sektor otomotif dan
sektorproperti. Di sektor properti, umpama,BI memperketat loan to value
ratioyang mencerminkan seberapabesar porsi pembiayaan yang bolehdikucurkan bank
dari nilai aset objekpembiayaan.
Pertumbuhan
kreditproperti yang melambat berdampaktidak langsung terhadap imporbarang-barang
terkait.“KetentuanLTV adalah salah satu contoh kebijakan makroprudensial BI. Ketentuan
itu bukan hanya untuk mengerem laju pertumbuhan di sektor properti, tapi juga
membantu mengurangi tekanan defisit transaksi berjalan. Inilah upaya nyata BI
menjaga stabilitas makro,” ucap Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi
dan Moneter Juda Agung.
Disebutkan,
strategi otoritas moneter terbukti moncer. Inflasi 2013 yang sempat diestimasi
9%-9,8% dapat ditahan di 8,35%. Sementara, stabilitas eksternal yang diukur
dari defisit
neraca transaksi berjalan turun tajam ke bawah 2% di kuartal IV 2013.
Jauh
lebih baik ketimbang prediksi awal 2,8%. Perbaikan-perbaikan yang lebih cepat
itu menghasilkan pertumbuhan ekonomi 5,78%. Memberi keyakinan kepada BI bahwa
bauran kebijakan berefektivitas besar dan tidak berdampak buruk kepada
pertumbuhan ekonomi.
Tekanan Berlanjut
Kendati kurs rupiah mulai merekah di awal tahun kuda kayu
ini, kewaspadaan BI tidak boleh luntur. Masih ada kekhawatiran kalau penguatan
kurs tidak lebih efuoria sesaat terhadap positifnya perkembangan perekonomian
Tanah Air.
Wajar
jika Menteri Keuangan pun sempat meminta BI terus menjaga agar pergerakan kurs
rupiah tidak terlampau cepat. “Sekarang euphoric. Dalam dua hari dia (rupiah)
12.200, siang ini jadi 11.600. Ini BI perlu jaga supaya volatilitasnya jangan
terlalu drastis,” kata Chatib.
Menurutnya,
pasar keuangan tengah merespons apa yang terjadi di Indonesia dengan yang
disebutnya animal spirit. Ketika data perekonomian yang ada bagus, semua memuji
Indonesia. “Kalau senang, semua senang banget. Kalau pesimistis, pesimistis
banget.”
Maka
itu, Perry mengatakan tahun ini tantangan bank sentral tidak jadi lebih ringan.
Dari sisi global, faktor tapering off The Fed masih membayangi. “Tahun ini
tantangannya lebih kepada reaksi pasar atas kelanjutan tapering. Kita masih
akan menghadapi risk on and risk off. Kadang sentimen positif, kadang negatif.
Kadang inflownya besar, lalu keluar. Tantangan kita adalah melakukan
stabilisasi ekonomi dipengaruhi dari sisi apa yang terjadi di global.”
Dari
sisi domestik, pengendalian inflasi dan konsistensi upaya penurunan defisit
transaksi berjalan jadi keniscayaan. Mengapa? Keduanya indikator bagi investor
global. Adapun pergerakan nilai tukar memang sangat dipengaruhi factor
pergerakan ekonomi fundamental, dan faktor teknikal berupa kondisi global serta
persepsi investor.
Dari
perhitungan sisi fundamental, inflasi dan defisit transaksi berjalan yang
menurun akan membawa kurs rupiah kian stabil dan amat mungkin menguat. Di lain
hal, sisi teknikal disebut Perry agak sulit diprediksi, termasuk karena adanya
perilaku risk on dan risk off global.
Patut
pula diingat, tahun ini punada penyelenggaraan pemilihanumum (Pemilu) di dalam
negeri.Meski tidak ada catatan buruk daripenyelenggaraan ‘pesta rakyat’, sesuai
hasil survei konsumen terbaru BI, sebagian masyarakat tetap khawatir pada
stabilitas sosial politik, khususnya pascapemilu presiden putaran pertama.
Instabilitas
dapat menyulut inflasi yang bisa menyulut sentimen negatif pasar. “Yang perlu
kita lakukan adalah memastikan ekonomi fundamental mengarah seperti yang
ditargetkan supaya tidak menimbulkan persepsi buruk terhadap Tanah Air. Itu
kita kelola ke depan,” tegasnya.
Tiga Diemban
Terkait
pengelolaan persepsi tersebut, paling tidak ada tiga strategi besar yang
diemban BI . Antara lain, melanjutkan pendalaman pasar keuangan. Tahun lalu, BI
sudah merilis instrumen maupun fasilitas baru seperti term deposit valas,
lelang swap valas, sertifikat deposito Bank Indonesia,
maupun Mini Master Repurchase Agreement (Mini MRA).
Alasannya
jelas. Pendalaman pasar keuangan dapat mendukung masuknya investasi. Investasi
kerap berhadapan dengan risiko nilai tukar. Pengayaan instrumen keuangan,
khususnya instrumen valas, akan memudahkan investor dalam mengelola risiko.
Strategi
lain adalah penguatan peran kantor-kantor perwakilan BI di dalam negeri (KPw
DN). Dipayungi Departemen Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM (DPAU),
kantor-kantor perwakilan tersebut telah melakukan kajian dan pengembangan
ekonomi unggulan di setiap daerah. Perwujudannya adalah program cluster yang
fokus di sektor pertanian dan pengembangan UMKM.
Kendati
bukan skala masif, tapi hasil program cluster tersebut dapat menstimulasi pihak
swasta dan lainnya untuk turut melakukan pengembangan perekonomian setempat.
Contohnya, program cluster peternakan sapi di Salatiga, wilayah KPw BI Semarang
yang setelah berkembang kini diperebutkan pembiayaannya oleh perbankan.
Geliat
perekonomian lokal juga disupport lewat keterlibatan KPw DN dalam tim
pengendalian inflasi yang juga mencakup elemen pemerintah, serta assesment
perekonomian daerah secara berkala. Yang tentu juga amat penting adalah
optimalisasi bauran kebijakan.
Direktur
Eksekutif Departemen Strategis dan Tata Kelola Dody Budi Waluyo mengatakan
secara prinsip, BI akan terus memperkuat bauran kebijakannya dalam merespons
pelbagai tantangan perekonomian nasional di 2014, termasuk risiko tekanan atas
nilai tukar. “Itu ditempuh antara lain melalui kebijakan suku bunga dan nilai
tukar sesuai dengan fundamentalnya.
Dalam
hal ini, nilai tukar diharapkan dapat berperan menjadi shock absorber
perekonomian, bukan sebaliknya, sebagai shock amplifier,” ujar Dody yang
sebelumnya menjabat Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan
Moneter.
Ia
menambahkan, “Upaya internal yang ditempuh BI dewasa ini pada dasarnya
ditujukan untuk terus memperkuat tugas BI dalam menjaga stabilitas nilai tukar
yang mendukung kesinambungan pertumbuhan ekonomi.”
Pengamat
ekonomi Fauzi Ichsan menaksir rupiah berada dalam tren positif tahun ini,
khususnya di semester akhir. “Semester kedua, berakhirnya pemilu dan
quantitative easing AS akan menandakan kepastian terhadap rupiah. Juga, mulai
menciutnya defisit neraca transaksi berjalan, serta adanya pemerintahan baru
diperkirakan rupiah akan terus menguat,” katanya.
Ia
pun mengestimasi BI rate masih akan dinaikkan untuk menjaga pasar Indonesia
tetap atraktif, khususnya jika suku bunga The Fed beranjak dari level 0%.
“Kalau kemarin BI rate tidak naik 175 bps, mungkin rupiah sudah tembus 15 ribu
per dolar. Semua negara dengan defisit neraca transaksi berjalan besar, pasti
harus menaikkan suku bunga agar modal asing masuk,” katanya. (hji/lee)
***
Bauran
Kebijakan Bank Indonesia
-Suku
bunga: BI Rate, suku bunga deposit facility, dan suku bunga lending facility.
-Nilai
tukar: mengawal stabilitas nilai tukar melalui intervensi dan term deposit valas
(TDV).
-Penguatan likuiditas: memanfaatkan instrumen Sertifikat
Deposito Bank Indonesia (SDBI), Sertifikat Bank Indonesia (SBI), FX Swap,
Underlying ULN, dan Bilateral Swap Arrangement (BSA).
-Makroprudensial atau Stabilitas Sistem Keuangan:
kebijakan loan to value ratio (LTV) supervisory action terhadap perbankan
dengan penyaluran kredit tinggi dan potensial memengaruhi stabilitas
perekonomian, pendalaman pasar keuangan, kebijakan giro wajib minimum (GWM) LDR
dan GWM sekunder.
-Koordinasi dengan pemerintah dan lembaga terkait, baik
di dalam maupun luar negeri. (hji/lee)
********
Rupiah
Harus Stabil
Keajekan nilai tukar merupakan suatu hal krusial dalam aktivitas usaha. Tanpanya, pelaku bisnis akan kesulitan menakar peluang dan tantangan yang mereka hadapi. Setelah mengalami depresiasi lebih dari 20% di 2013, otoritas moneter dan fiskal menyebut rupiah kini dalam keseimbangan baru.
Apakah keseimbangan itu akan dapat bertahan di 2014? Ini merupakan salah satu concern dalam menjalankan bisnis di 2014. Berikut petikan perbincangan Bank Indonesia dengan Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Kebijakan Moneter, Fiskal dan Publik, Hariyadi Sukamdani.
Bagaimana pengusaha melihat kondisi rupiah saat ini?
Bagi pengusaha, yang
terpenting adalah stabilitas. Kalau stabil di 12 ribu per dolar AS misalnya,
memang otomatis akan ada penyesuaian harga baru. Namanya juga ada titik
keseimbangan baru, tapi itu tidak begitu menjadi masalah. Yang kacau itu kalau
rupiah naik turun tidak karuan. Kalau kita bicara pergerakan kurs, ada
kemungkinan akan menguat. Jadi, BI harus terus kontrol.
Pengaruh ke aktivitas sektor riil?
Dengan keseimbangan
baru, di sisi impor akan berat, karena harga barangnya menjadi mahal. Tapi,
lihat juga dari sisi ekspor, kita jadi punya daya saing, Jadi, sebetulnya kalau
volatilitas rupiah tidak tajam, it’s okay.
Kisaran rupiah yang ideal bagi pengusaha?
Harusnya di 11.000, itu
masih okay untuk pengusaha. Tapi, level 12.000-an ini masih bisa diterima,
karena kami yakin rupiah akan kembali menguat. Karena ekspor kita juga terus
mengalami kenaikan. Impor trennya mulai menurun. Seharusnya, bisa lebih positif
lagi nilai tukar rupiah ini.
Ekspektasi pengusaha untuk pengamanan kurs?
Dari kami simpel saja.
Cadangan devisa harus diperbesar, ekspor diperbesar, impor ditekan. Kalau
dilihat, impor kita itu masih dalam batas wajar. Yang bikin kacau itu impor
BBM. Makanya Kadin dulu mendukung penghapusan subsidi BBM.
Kalau subsidi ini tidak
dihentikan, tentu akan menggerus pertumbuhan ekonomi kita, karena ini akan
terus meningkat. Apalagi jumlah kendaraan pribadi di Indonesia bertambah setiap
saat.
Pertanyaannya, apa
mereka yang naik kendaraan pribadi itu layak diberi subsidi? Memang BI punya keterbatasan
untuk mengatasi permasalahan ini, ya seharusnya pemerintah yang urus.(hji/lee)
********
Tantangan Perubahan Lanskap
Tahun 2014 menandai akhir dari pemerintahan dua periode
Presiden Susilo BambangYudhoyono. Untuk itu, pemilihan umum (Pemilu) pun akan
diselenggarakan. PemiluLegislatif pada 9 April, sementara Pemilu Presiden dan
wakil pada 9 Juli. Sebagian kalangan khawatir pergantian era kepemimpinan
nasional bakal mengusik stabilitas perekonomian dan sistem keuangan.
Sebagian lagi,optimistis proses Pemilu tidak akan
berdampakmemantik dampak negatif.Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI ) Perry Warjiyotermasuk
yang optimistis Pemilu 2014 tidak akanmenimbulkan risiko atau tambahan
instabilitas yangdapat menekan nilai tukar.
“Demokrasi makin membaik,masyarakat pun sudah terbiasa
dengan Pemilu.Investor di luar negeri dilihatnya juga tidak gamang soalPemilu.
Terbukti, hingga kini para pemilik modal masih antusias berinvestasi di pasar
obligasi pemerintah maupun pasar modal Tanah Air,” katanya.
Yang sebaiknya dicermati dari Pemilu justru implikasinya
dalam jangka menengah panjang. Siapa pun pemenang Pemilu, akselerasi dan
implementasi agenda perbaikan ekonomi nasional jadi keharusan, terutama yang
menopang momentum pertumbuhan ekonomi di masa mendatang.
Pasalnya, lanskap ekonomi yang akan dihadapi pemimpin baru Indonesia kelak
tidak lagi serupa seperti beberapa tahun terakhir. Perekonomian negara-negara
maju yang sempat tumbuh negatif lantaran krisis finansial lalu, kini mulai
pulih.
Sebaliknya, pertumbuhan negara-negara berkembang lokomotif perekonomian
global, akan melambat. Harga komoditas yang kerap jadi andalan ekspor negara
berkembang tak lagi setinggi dulu.
Dan, pengurangan bertahap stimulus moneter Bank Sentral AS serta kenaikan
suku bunga acuannya akan menandai tamatnya era easymoney yang marak di 2009-2012. “Tahun-tahun ke depan, akan
lebih sulit mendapatkan arus modal asing masuk guna mendukung ekonomi kita,”
komentar Perry.
Perubahan lanskap itu mau tidak mau mengharuskan Indonesia berubah. Itu
jika ingin perekonomian terus tumbuh sembari menciptakan lapangan kerja dan
mengurangi angka kemiskinan. “Itu keniscayaan.
Siapa pun pemerintahan yang terpilih akan dihadapkan pada tantangan
perubahan lanskap,” imbuhnya. Mengembalikan laju perekonomian ke level di atas
6% tidak dapat mengandalkan sisi permintaan semata. Itu hanya akan mengulang
problem lama. Instabilitas berupa defisit neraca transaksi berjalan, inflasi
yang melambung, dan tekanan pada kurs.
Maka, kebijakan reformasi struktural jadi kunci menjaga momentum
pertumbuhan. Kebijakan reformasi struktural apa? Pertama, kebijakan memperbaiki
iklim investasi dan usaha. Sebab, ekspansi kapasitas dalam negeri pasti butuh
investasi tidak sedikit.
Salah satu strategi memacu kapasitas produksi adalah dengan juga
memperbanyak perusahaan atau industri antara. “Dulu ada konsep anak-bapak
angkat. Misalnya di otomotif, perusahaan raksasa punya anak angkat perusahaan
yang produksi velg, sekrup, dan suku cadang lain. Kita sekarang kekurangan
perusahaan menengah ini.”
Kemudian, kebijakan terkait perdagangan nasional. Populasi yang masif dan
geliat kelas menengah membuat tingkat konsumsi di Indonesia tumbuh signifikan.
Di krisis finansial 2007-2008, tingginya konsumsi membentengi perekonomian
Indonesia dari dampak melemahnya perdagangan
global. Belakangan, itu jadi bumerang ketika sebagian kebutuhan konsumsi
dipenuhi via impor.
Kebijakan untuk mengembangkan pertanian dan UMKM juga penting. Apalagi,
permintaan masyarakat kelas menengah terhadap produk pertanian berkualitas kian
menguat. “Dulu kita hanya minta beras. Sekarang hasil pertanian makin variasi.
Bahan pokok pun belum bisa penuhi. Bawang merah impor, bawang putih impor,”
ujar Perry.
Reformasi struktural mendesak yang lain
adalah pengadaan infrastruktur. Karena keterbatasan budget pemerintah, peran
swasta dalam pengadaan infrastruktur amat krusial. Jika kebijakan struktural diwujudkan, pertumbuhan ekonomi mestinya bisa melaju tanpa menekan
neraca transaksi berjalan maupun inflasi yang dapat berimplikasi pemburukan
nilai tukar.
Direktur Eksekutif Departemen Strategis dan Tata Kelola Dody Budi Waluyo
mengestimasi kalau pun ada dampak Pemilu pada kurs, sifatnya temporer sejalan
dengan sikap waitandsee para investor.
Pengalaman di masa lalu justru memperlihatkan rupiah cenderung menguat
pascapemilu sejalan dengan keyakinan investor yang kembali membaik. “Dampak
peningkatan uang selama Pemilu terhadap rupiah kami perkirakan tetap
terkendali, sejalan dengan konsistensi BI mengelola likuiditas perekonomian
sesuai dengan kebutuhan ekonomi,” katanya.
Senada dengan Dody, Wakil Ketua Umum Kadin HariyadiSukamdani melihat Pemilu
akan berimpak positif ke nilai tukar. “Justru dengan Pemilu, banyak dolar
ditukarkan ke rupiah. Kan tidak mungkin belanja kebutuhan Pemilu seperti baju,
brosur, spanduk, pakai dolar,” kata dia.(hji/lee) (Harian Jambi Edisi Cetak Pagi Senin 12 Mei 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar