Seorang Pemulung di Pasar Angso Duo Kota Jambi. Foto Asenk Lee Saragih/Harian Jambi. |
Hidup ini memang penuh perjuangan. Untuk mencari sesuap nasi harus
bermandikan keringat bagi seseorang yang berprofesi
kurang beruntung. Namun perjuangan mereka patut dihargai dalam menggapai nafkah
dalam menghidupi keluarga. Begitu juga dengan seseorang yang berprofesi sebagai
pemulung.
MUSLIHIN, Jambi
Seringkali
kita memandang pekerja seorang pemulung pengumpul barang bekas dengan sebelah
mata. Namun dibalik pekerjaannya tersimpan usaha
yang mulia. Pekerjaan yang mereka geluti demi
menafkahi keluarga dan membiayai sekolah anaknya.
Saat
terik sinar matahari menaburkan panasnya, seseorang
lelaki tampak sedang berjalan sambil
mengumpulkan barang bekas di daerah
Telanaipura Kota Jambi tepatnya dekat SMAN 5 Kota
Jambi Jum'at
(7/3/14).
Saat itu
jam menunjukkan pukul 12.00 WIB. Harian Jambi menyambangi
dan berlahan mendekati bapak tersebut. Kedatangan Harian Jambi disambut
baik olehnya dengan ekpresi wajah sedikit tersenyum.
Ada motivasi
dibalik wajah yang lusuh berkeringat itu. Apa
yang ada dibalik pekerjaan yang digelutinya tersebut. Hombing
(39) begitu ia
memperkenalkan diri. Pekerjaan menjadi pengumpul barang bekas
sudah menjadi sebagian takdir bagi Hombing.
Karena
sulitnya mencari pekerjaan saat ini, membuat
tiada pilihan selain berusaha sendiri menciptakan pekerjaan yakni sebagai
pemulung agar bisa menyekolahkan anak. Walaupun
terkadang dipandang rendah bagi sebagian orang, namun ini merupakan profesinya halal.
“Pekerjaan
saat ini sangat sulit bang. Mungkin karena
pendidikan kami yang rendah atau pemerintah yang tidak menyediakan lapangan
pekerjaan,” ujar Hombing mengadu dengan
wajah peluh keringat.
Hombing
mengais barang bekas yang ia kumpulkan setiap harinya. Kemudian
hasilnya diperuntukkan untuk anak dan istrinya. “Hasil
kerja keras dari mengumpulkan barang bekas saya gunakan untuk biaya kehidupan keluarga,” ujarnya.
Kemudian
Hombing melanjutkan pembicaraannya. Semangat
yang menggebu setiap hari saat pagi mulai datang
kita sudah turun bekerja sampai sore waktu azan telah berbunyi. Motivasi
kerja itu juga didorong karena ada kewajiban yang mulia yaitu menyekolahkan
anak yang masih duduk di bangku
sekolah SD di Kota Jambi.
Hasil
pengumpulan barang yang ia jual terkadang hanya bisa mendapat Rp 15
ribu hingga Rp 25 ribu per hari. Ini yang
ia tabungi untuk kebutuhan keluarga dan kebutuhan anak sekolah.
“Bagi
saya tiada masalah menjadi pekerjaan pemulung yang terpenting halal dari pada
menjadi perampok, mencuri barang
milik orang lain,” katanya.
Tanpa
diketahui banyak orang bahwa sebenarnya profesi menjadi pemulung bukan saja
karena membiayai hidupnya sendiri, akan
tetapi lebih dari itu yakni tidak terlepas membiayai kehidupan istri kemudian
anak tercintanya. Ini terjadi pada banyak pemulung.(*/lee)
***
Kisah Kakek Pendorong Gerobak Pasar
Seorang Kakek Pendorong Gerobak di Pasar Angso Duo Kota Jambi tertidur pulas karena lelah. Foto Asenk Lee Saragih |
Selain
itu ditemukan kakek bernama Yahjun. Kini rambutnya
yang telah memutih, umurnya sudah mencapai 70 tahun sedang mendorong gerobak
sampah di daerah Pasar Jambi. Kulitnya yang keriput seakan tak terawat, tubuhnya yang tampak
membungkuk rukuh seakan-akan kita tidak percaya dengan aktivitasnya itu.
Kakek ini masih mampu mendorong gerobak kayu bermuatan sampah
barang bekas. Saat didekati, si kakek ini pun menuturkan sudah puluhan
tahun menjalani pekerjaan ini mencari mengumpulkan barang bekas setiap hari.
Itu dia lakukan guna membiayai hidup sendiri bekerja siang
dan malam. Kuat atau tidak kuasa terus dipaksakan
agar bisa bertahan hidup.
Hampir
tak kuasa mendengar ucapan kakek ini air mata pun terasa jatuh ke dalam hati. Dari
potongannya saja sudah miris kita melihat keadaan nasibnya apalagi setelah ia
menuturkan dengan kata-kata yang dapat mengusik qolbu.
Siapa
yang tidak prihatin melihat sosok orang tua berbeda dengan orang lain
seakan-akan hidup terbuang dalam negeri. Berbeda jauh dengan orang tua lainnya
yang bisa menghabiskan sisa umurnya dengan banyak istirahat di rumah, saling
berbagi dengan keluarga besar.
Namun nasib berkata lain, kakek ini harus beradu
dengan alam dengan terik matahari, dinginnya malam hanya untuk bertahan hidup
di masa tuanya. Dirinya masih harus bertarung tenaga untuk memungut sampah
yang bisa bernilai rupiah.
Uluran
tangan pemerintah pun diharapkan. Pemerintah
yang berkewajiban untuk mensejahterakan masyarakatnya. Suara pemerintah
selami ini yang mengatakan berhasil mengentaskan
kemiskinan di Kota Jambi, itu hanya pemanis semata.
Tetapi
sentuhan itu tidak pada setiap orang kurang mampu. Faktanya para
pemulung masih banyak berkeliaran di Kota
Jambi mulai dari tingkatan umur yang masih relatif muda umur 14 tahun hingga 70
tahunan.
Menyedihkan
memang. Hal ini menjadi tantangan dan pekerjaan rumah pemerintah ke depan untuk mensejahterakan rakyat
selayaknya terlepas dari belenggu kemiskinan.
“Kami
berharap Pemerintah Kota
Jambi memeperhatikan nasib kami yang mencari nafkah
di
jalananan. Kami memperjuangkan kehidupan keluarga kami
agar anak dapat lancar sekolah menjadi orang sukses,” ucap Hombing
dengan penuh harapan. (hin/lee)(Harian Jambi Edisi Cetak Sabtu Pagi 8 Maret 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar