(HARIAN JAMBI EDISI CETAK PAGI RABU 5 FEB 2014) |
Konflik lahan antara petani dengan perusahaan kerap
menciptakan persoalan panjang. Konflik lahan ini seakan tak pernah
habis-habisnya menjadi sorotan masyarakat luas, dan juga media. Bahkan Mabes
Polri dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) harus turun tangan
untuk mencari solusinya, namun tetap gagal. Sulitnya mencari perdamaian dan
kata sepakat konflik lahan, ibaratkan meluruskan benang basah.
ROSENMAN M, Jambi
Saling klaim pembenaran, itulah yang
terjadi antara konflik lahan warga Suku Anak Dalam (SAD) Kelompok 113 Desa
Bungku, Bajubang Kabupaten Batanghari dengan PT Asiatic Persada. Saling klaim
terhadap lahan seluas 3.520 hektare yang menjadi haknya SAD, kekeuh tetap dipertahankan PT Asiatik
Persada.
Bahkan Pemerintah
Kabupaten Batanghari diketahui menganggarkan dana sebesar Rp 1,2 M hingga Rp 1,3 M per tahun untuk menangani konflik antara warga SAD dengan PT Asiatic
Persada sejak diterbitkannya Instruksi Presiden No 2 tentang penanganan konflik
tahun 2012 dan pembentukan tim terpadu, namun hasilnya nihil.
Anggota DPRD
Batanghari Amin Z alias Amin Tajam mengatakan, anggaran yang telah
digelontorkan oleh Pemkab Batanghari untuk menangani konflik itu tidak sesuai
dengan hasil kerjanya.
Karena hingga kini penangangan
konflik lahan SAD dengan PT AP belum juga menemukan titik kesepakatan dan
penyelesaian. Sementara anggaran dihabiskan dengan pertanggung jawaban yang dipertayakan.
Amin Tajam meminta
agar Tim Terpadu bentukan Pemkab Batanghari tidak melakukan pemborosan
anggaran, dan segera menyelesaikan persolan tersebut. “Dewan tidak akan
keberatan memberikan anggaran besar asalkan rincian kegiatan rasional. Sehingga
tidak ada kesan menghamburkan uang negara,” kata Amin.
Menurut Amin, dirinya
memaklumi pembentukan Timdu berdasar Inpres No 2 Tahun 2012 tentang penangan
konflik, namun Timdu harus berhemat dan mengambil langkah efisien.
“Dana yang
dihabiskan Timdu harus masuk akal, jangan terkesan hanya melakukan pemborosan.
Kalau bisa efisien dengan dana yang cukup kecil, kenapa hal itu tidak dilakukan.
Bahkan hingga kini belum ada kata sepakat atau damai soal konflik tersebut,”
ujar Amin.
Kinerja Tim Terpadu Mandul
Kinerja Tim Terpadu
dalam soal kasus lahan di Batanghari, hingga saat ini belum menemukan hasil
yang konkrit. Bahkan anggaran Rp 1,2 miliar hingga Rp 1,3 miliar yang
digelontorkan Pemkab Batanghari perlu dipertayakan peruntukannya.
Amin juga mempertayakan,
soal anggaran yang besar untuk penanganan persoalan itu. Menurut dia, anggaran
itu terlalu besar, sehingga perlu audit BPK. “Saya kira usulan itu masih
terlalu besar. Jika perlu akan kami minta untuk diaudit kembali oleh BPK.
Jangan sampai ada pemborosan yang sengaja dianggarkan,” katanya.
Amin juga mencurigai kalau dana
penanganan konflik lahan di Batanghari dijadikan lahan korupsi. Penanganan
konflik lahan SAD dengan PT AP terus berlarut-larut tanpa adanya pencapaian
kata sepakat.
Sekretaris Timdu Batanghari, Fahrizal,
menghindar saat wartawan ingin mengkonfirmasi soal dana konflik tersebut. Dia
berdalih belum bisa memberikan informasi jumlah kasus yang berhasil ditangani
oleh timdu selama ini karena belum direkapitulasi.
Diverifikasi di Pengungsian
Tim Terpadu
Pemerintah Kabupaten Batanghari, Sabtu pekan lalu melakukan verifikasi terhadap
ratusan orang yang mengatasnamakan warga Suku Anak Dalam (SAD) Kelompok 113
Desa Bungku, Bajubang terkait konflik lahan dengan PT Asiatic Persada.
Camat Bajubang Ibnu
Hajar mengatakan, pihaknya turun langsung bersama aparat Desa Bungku melakukan
pendataan terhadap warga SAD 113 yang saat ini masih bertahan di tenda
pengungsian RT 08, Dusun Johor, Desa Bungku.
Dalam pendataan itu,
diketahui mana warga Desa Bungku, Suku Anak Dalam (SAD) asli dan atau warga
pendatang. Hasil pendataan dan verifiksi akan diserahkan ke Tim Terpadu Pemerintah
Kabupaten Batanghari atau Pemerintah Provinsi Jambi dan Pemerintah Pusat,
lanjut Hajar.
Lahan 2000
Hektare
Perjuangan ratusan SAD
113 memperoleh 3.550 hektare lahan yang mereka tuntut dari PT Asiatic Persada,
beberapa kelompok SAD lainnya bersedia diverifikasi dan direlokasi di lahan
2.000 hektare.
Kini mereka justru
sudah dua bulan ini menikmati hasil panen mereka. Ustari, anggota kelompok Jemu
Lilit yang menerima pola kemitraan konflik lahan warga SAD dengan PT Asiatic
Persada mengakui cukup senang dengan kondisi saat ini.
“Kami senang
ditempatkan di lahan dua hektare ini. Untuk itu kami minta kejelasan hitam di
atas putihnya. Alangkah ruginya jika saat ini warga SAD lainnya masih
berkonflik. Sebab, lahan di lokasi 2.000 hektare itu saat ini hanya tinggal
memanen hasil buah sawit,” ujar Ustari.
Disebutkan, buah
mereka dijual ke Pabrik Kelapa Sawit milik PT Asiatic Persada dengan harga
pasaran. Setelah itu, mereka yang melakukan pemanenan juga mendapatkan upah
harian dari pihak perusahaan.
Disebutkan, untuk
kelompok Jemu Lilit Semat saat ini memiliki anggota yang berjumlah 83 KK. Bila
masing-masing KK mendapatkan 2 hektare lahan, mereka memiliki lebih kurang 164
hektare.
Lahan yang telah
diberikan tersebut belum dibagi-bagi untuk setiap KK. Sehingga mereka melakukan
pemanenan dan hasilnya akan dibagi rata untuk semua anggota.
Terpisah, Manejer PT
AP, Tampubolon, mengatakan, untuk tiap dua hektare lahan, petani yang
ditempatkan akan mendapatkan lebih kurang 2,5 juta per bulan. Nilai yang diterima sendiri bergantung dari lahan yang
dikelola masing-masing KK tersebut. “Namun kejelasan ke depannya tetap
menunggu penyelesaian Pemkab Batanghari,” katanya.
Dikatakan, buah
sawit yang ada di lahan tersebut pemanenannya dilakukan oleh pihak perusahaan
PT Asiatic Persada. Lalu buah yang sudah dipanen tersebut juga dibeli langsung
oleh pihak perusahaan dengan harga pasar. Sedangkan upah angkut, muat dan
bongkar juga ditanggung pihak perusahaan. Serta perawatan kebun juga akan dikelola
oleh pihak perusahaan.
Karyawan PT AP Hadapi SAD
Sebanyak dua ribu
karyawan PT Asistic Persada di Kabupaten Batanghari siap menghadapi warga SAD
yang ingin masuk ke lokasi yang disengketakan. Bahkan SAD sempat dihadang
Barikade Polisi di Batanghari.
Ribuan karyawan PT
AP sempat mengancam warga SAD Kelompok 113 yang hendak masuk kembali ke lokasi
di Tanah Menang, Pinang Tinggi dan Padang Salak, Kamis 20 Februari lalu.
Sementara Tim
Terpadu Pemkab Batanghari tidak memperbolehkan warga SAD masuk ke daerah yang
mereka tuju. Bahkan seluruh karyawan PT AP telah diintruksikan managemen
perusahaan untuk mempertahankan lahan yang menjadi milik perusahaan.
Mabes Polri Turun
Berlarutnya konflik
lahan SAD dengan PT AP membuat Kompolnas Mabes Polri turun ke Batanghari. Namun
Kapolres Batanghari AKBP Robert A Sormin membantah kalau empat orang tim dari
Mabes Polri, Selasa lalu, mencari keterangan atas laporan Kompolnas terkait
sikap Kapolresta Batanghari yang arogan dan berpihak dalam menangani perkara
lahan antara PT Asiatic Persada dengan warga SAD.
Namun Robert A
Sormin membenarkan pihaknya menerima kedatangan tim dari Mabes Polri ke Polres
Batanghari. “Ndak, ndak, ndak, ini
hanya kunjungan kerja biasa saja,” sebutnya .
Bahkan Kapolres
Batanghari Robert A Sormin sempat dinilai telah berpihak dan menyalahi
kewenangannya sebagai aparat dalam menangani perkara lahan antara PT Asiatic
Persada dan warga Suku Anak Dalam di Batanghari.
Pernyataan itu
disampaikan oleh tim dari Mabes Polri berdasarkan laporan warga Suku Anak Dalam
kepada Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) di Jakarta pada 4 Februari lalu.
Tim yang datang ke
Mapolres sekitar pukul 9.00 itu terdiri atas Irbitjemen SDM II itwil V, Kombes
Drs Sukisto. Irbit Jemen Ops II Itwil V, Kombes Drs. Sukamto, SH. M.si.
Aliditor Itwil V, Kombes Drs Gusti K Gunawan, MM. Dan Kanit II Den A Bripinal,
Kompol Nganti Irawan, SH. MA.
Sementara Kapolda
Jambi Satriya Hari Prasetya mengatakan, kedatangan tim dari Mabes Polri ke
Mapolres Batanghari, untuk mengklarifikasi laporan Kompolnasham ke Mabes.
Kapolres Batanghari Salahi Kewenangan
Kapolres Batanghari
Robert A Sormin, dinilai telah berpihak dan menyalahi kewenangannya sebagai aparat
dalam menangani perkara lahan antara PT Asiatic Persada dan warga Suku Anak
Dalam di Batanghari.
“Kami datang untuk
untuk mengecek kebenaran laporan Kampolnas atas lanjutan laporan dari warga
Suku Anak Dalam (SAD) terkait Kapolres Batanghari, AKBP Robert A Sormin, yang
dinilai terlalu arogan dalam penyelesaian kasus konflik lahan antara warga SAD
dengan PT Asiatic Persada,” kata salah satu anggota tim Mabes Polri.
Kapolres
Batanghari telah menyalahgunakan kewenangan sebagai Kepala Polres Batanghari dalam
penangan konflik warga SAD dengan PT Asiatic Persada. Dalam laporan itu, tertulis
Kapolres dianggap arogan berpihak pada perusahaan karena lebih gencar
tekanannya dari pemerintah provinsi.(*/Dibantu
Okta Fransiska/lee)
***
Arogansi Kapolres Berdampak Buruk Terhadap SAD
Sikap arogan yang ditunjukkan Kapolres Batanghari, Robert A
Sormin terhadap ribuan warga SAD Kelompok 113 yang berduyun-duyun mendatangi
Rumah Dinas Bupati, Rabu pekan lalu, berdampak buruk terhadap SAD.
Sikap arogan yang memarahi massa SAD yang datang menggunakan
ratusan motor dan puluhan mobil itu sebelumnya bahkan nyaris bentrok dengan
aparat kepolisian.
Menurut Kapolres, Warga SAD kelompok 113 ini mengingkari
perjanjian sebelumnya, yaitu melakukan mediasi di rumah adat, namun mereka
malah mendatangi kantor Bupati Batanghari. “Sekarang kembali ke rumah adat,
jangan di sini,” ujar Robert A Sormin.
Akhirnya ribuan massa itu menuruti dan langsung ke arah
rumah adat Kabupaten Batanghari. Di depan rumah adat Kabupaten Batanghari, Agus
Pranata pendamping warga SAD dari Serikat Tani Nasional berorasi, mengatakan
mereka menolak pola kemitraan dengan pihak PT Asiatic Persada, karena pola
kemitraan yang dilakukan selama ini hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu.
Jalan
Panjang SAD
Menurut SAD, keberadaan PT AP sejak tahun 1980-an tidak
memberikan manfaat bagi masyarakat SAD yang berdiam di sekitar wilayah
perusahaan itu. Namun, justru kesengsaraan yang terjadi. Menyikapi hal ini,
banyak pihak yang mengecam keberadaan perusahaan asal Malaysia itu.
Berbagai usaha dilakukan oleh masyarakat SAD. Bahkan, aksi menduduki
Pendopo Kantor Gubernur Jambi, untuk mengadukan nasib mereka terjadi
berulang-ulang. Karena, lahan yang mereka diami secara turun temurun, saat ini
telah dirampas oleh perusahaan tersebut.
Terkait masalah tersebut, akan dilakukan pengukuran dan
pemetaan ulang terhadap lahan seluas 3.520 hektare, yang menjadi haknya SAD.
Tetapi, hal itu tidak dilakukan padahal pihak PPN yang sudah siap untuk hal
itu.
“Mereka (perusahaan, red) membuat tim terpadu dalam
menyelesaikan masalah, yang sebetulnya itu bisa menambah masalah,” ujar Wakil
Ketua Komnas HAM, Dianto Bachriadi.
Hasil dari investigasi yang dilakukan oleh Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), sejak tahun 1980 akhirnya banyak ditemukan
pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi. Kemudian juga, saat ini pihaknya akan
mendesak PPN Pusat untuk meninjau kembali izin Hak Guna Usaha (HGU) dari PT
Asiatic Persada tersebut.
“Terjadi kekerasan konflik dan sebagainya. Dan mereka juga
banyak melakukan pengingkaran-pengingkaran terhadap kesepakatan,” ungap
Dianto.
Pihaknya akan berusaha untuk mengembalikan warga SAD ke
tempat semula. Sebelumnya SAD ada yang berada di Komnas HAM Pusat dan Balai
Adat Jambi. Karena, akibat dari penggusuran dan penertiban secara “membabi
buta” yang dilakukan oleh pihak perusahaan asal Negeri Jiran (Malaysia)
tersebut.
Diketahui juga bahwa sebelumnya sudah ada peta dari
Departemen Kehutanan yang menyatakan lokasi penggusuran tersebut adalah kampung
halaman mereka (SAD, red). Peta tersebut diidentifikasi sejak tahun 1978.
Dalam hal ini, lahan tersebut pihak perusahaan tidak
memiliki HGU dan baru memiliki izin lokasi dan telah dicabut beberapa tahun
yang lalu, tetapi diterbitkan kembali. Kemudian status tanah tersebut saat ini
adalah tanah negara.
Perhatikan Aspek Sosial
Pengamat Sosial, Sya’roni S Ag M Pd mengatakan, bahwa
seyogyanya pemerintah harus memperhatikan aspek-aspek sosial dari fungsi tanah
yang juga dijamin dalam UUPA. Kemudian mempertimbangkan aspek-aspek hukum adat
dalam penguasaan atas tanah. “Seperti itu seharusnya yang menjadi
pertimbangan,” ujarnya.
Konflik tersebut pada dasarnya adalah konsekuensi dari
sistem pemberian izin atau penguasaan tanah oleh perusahaan tertentu, dengan
mengkesampingkan aspek-aspek sosial fungsi tanah bagi manusia.
Kemudian juga ditambahkannya, bahwa dengan proses perizinan
yang tidak berbasis pada data yang benar. Sehingga mengakibatkan terjadi
ketidaksinkronan antara jumlah tanah yang diizinkan dengan fakta di lapangan. (lee)(HARIAN JAMBI EDISI CETAK PAGI RABU 5 FEB 2014)
Sumber:
http://harianjambi.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar