Senin, 23 September 2013

Guntur Sitohang Dinobatkan Maestro Gendang Dunia


Selama 75 Tahun Abdikan Diri Melestarikan Taganing

Guntur Sitohang Dinobatkan Maestro Gendang Dunia

Selama 75 Tahun Abdikan Diri Melestarikan Taganing

Bupati Samosir Mangindar Simbolon bersama musisi dari Nasional dan Internasional saat membukaan Like Toba World Drum Festival di Samosir, Sumut, Selasa (10/9). (Foto: ANDRI GINTING/SUMUT POS)
Banyak hal membuat Danau Toba dijadikan sebagai tujuan wisata. Selain keindahannya yang sudah diakui dunia, tak sedikit juga seniman-seniman asal Samosir yang melegenda. Bahkan, ada yang mengabdikan dirinya untuk melestarikan kekayaan musik Batak.

Rano Hutasoit, Samosir

Pagelaran Festival Danau Toba yang diselenggarakan sejak 8 sampai 14 September 2013 lalu, menjadi refleksi bersama atas keberadaan para seniman Batak yang katanya mulai tak diketahui keberadaannya.

Di antara keramaian pengunjung penutupan FDT 2013 di Bukit Beta Tuktuk, dipamerkan empat set alat musik pukul yang disebut dengan Taganing. Taganing bukan lagi hal baru bagi orang Batak, khususnya di Kabupaten Samosir.

Seorang pemuda yang tidak asing bagi para peserta World Drum Festival, karena sudah berbagi ilmu dan pengalaman di panggung Heritage Festival Danau Toba, Martahan Sitohang, terlihat sibuk mengangkat dan memasang empat set Taganing. Tiga set Taganing terlihat masih berwarna cerah dan seolah masih baru dibuat.

“Tiga Taganing itu baru saja dibuat ayahku. Sementara satu set Taganing berwarna kusam ini, merupakan karya pertama ayahku yang dibuat tahun 1982 dan saya (Martahan, red) belum lahir saat itu,” ujar pemuda tersebut sembari mengecek kesiapan Taganing.

Sembari terus mengecek kelengkapan Taganing, Martahan bercerita, kalau ayahnya seorang seniman Batak bernama Guntur Sihotang. Tidak terhitung lagi karya Taganing yang diciptakan seniman Batak itu.

“Ayahku itu menghabiskan seluruh waktu bahkan hidupnya untuk melestarikan musik dan kebudayaan Batak,” ujar pemuda itu dengan bangga.

Tertarik berbincang soal ayahnya, dia kemudian menghentikan aktivitasnya. Martahan terlihat lebih fokus bercerita dengan menuturkan tentang keluarganya.

Ada sebelas anak dari sang kreator Taganing (Guntur, red), di antaranya Megawati Sitohang, Maya Sitohang, Martogi Sitohang (di Jakarta: seniman), Junihar Sitohang  (perajin alat Taganing di Medan), Mona Sitohang, Hardoni Sitohang (di Medan dosen Nomensen), Naldi Sitohang, tinggal di Samosir, Senida Sitohang tinggal di Samosir, Martahan Sitohang (tinggal di Jakarta sebagai penggiat seni), Efrida Sitohang tinggal di Samosir dan anak angkat Julia Sitohang yang merupakan kewarganegaraan Amerika. Sedangkan istrinya br Habeahan sudah meninggal beberapa tahun lalu.

“Jika berangkat dari Tuktuk menuju kampung halaman di Harian Boho, Desa Turpuk Limbong, Kecamatan Harian, akan memakan waktu sekitar 1,5 jam naik sepedamotor,” ujarnya.

Kata Martahan, awalnya dia tidak tertarik dengan kesenian Batak termasuk dengan Taganing. Namun setelah kuliah di Etno Musikologi USU, barulah dia tertarik dengan apa yang digeluti ayahnya selama ini.

“Keluarga kami (keturunan Guntur, red) bahkan hingga cucu secara turun temurun, mengapresiasi apa yang sudah dikerjakan ayah kami, untuk tetap mencintai budaya Batak walau bukan berarti semuanya harus menjadi seniman,” ujanya.

“Ada 50 peserta didik Taganing yang dilatih melalui gereja. Selain bermain Taganing, diharapkan generasi penerus orang Batak tahu dan mengerti apa itu Taganing. Mereka tidak harus menjadi pemain musik atau seniman, namun perlu ada kecintaan dan niat melestarikan budaya Batak,” sebutnya berpesan.

Di sebelah panggung bertuliskan World Drum tersebut, ternyata ada juga seorang pria paruh baya juga sedang mengecek beberapa alat musik tiup untuk persiapan penutupan FDT 2013. Di sela-sela cek sound, pria yang mengenakan ulos di bahunya itu, mengaku bernama Hardoni Sitohang dan juga anak Guntur Sitohang.

“Malam ini keluarga kami diberi kesempatan untuk performance (tampil, red) di penutupan FDT, sebagai penghargaan atas pelestariaan adat Batak,” ujarnya.

Menurut Hardoni, melestarikan budaya Batak khususnya musik Toba, harus dengan hati nurani. “Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan melestarikan budaya Batak itu,” ujar dosen Universitas Nommensen Medan tersebut.

Hardoni menjelaskan, saat ini tugas generasi muda untuk melestarikan musik Batak. “Selama lima tahun saya pernah mengajar musik Batak Toba di salah universitas negeri di Medan, walau hanya dengan gaji Rp374 ribu per semester,” ujarnya.

Hardoni berpendapat, ada hal yang perlu diperbaiki dalam pengembangan Danau Toba sebagai kawasan pariwisata. Jika bicara keindahan Danau Toba, dunia sudah mengakui-nya. Namun saat ditanya ada apa di Samosir? Maka sangat sulit dijawab. Padahal Samosir juga sarangnya para musisi nasional.

“Ada tortor cawan, mangalahat horbo, pertunjukan Taganing dan sebagainya, sudah langka ditemui di tempat asalnya. Padahal, budaya itu sebagai modal utama wisata Danau Toba. Saya tetap berpegang teguh dengan prinsip ayahku yang menyatakan, hidup ini bukan karena pangkat dan uang. Berbanggalah jadi parhuta-huta (orang kampung) yang melestarikan dan membanggakan budaya Batak,” ujarnya.

Berselang beberapa saat, panggung FDT pun mulai dimasuki beberapa pemain musik. Ribuan pengunjung pun sontak bersorak ria menyambut keluarga besar Guntur Sitohang mengisi panggung berukuran besar itu.

Taganing karya pertama Guntur Sitohang pun, memukau penonton dari atas panggung penutupan FDT. Kesempatan yang diberikan kepada keluarga Guntur untuk tampil di panggung penutupan FDT, Sabtu (14/9) membuat ribuan warga yang memadati lapangan Beta Tuktuk tercengang.

Gerimis yang membasahi lapangan tidak menyurutkan semangat penonton. Dari penampilan pertama cucu Guntur Sitohang, penampilan kedua dari pihak boru Guntur Sitohang dan penampilan terakhir dari seluruh anak Guntur Sitohang, membuat panggung Worl Drum hening dan larut dalam kenikmatan suara indah dari berbagai alat musik daerah Batak tersebut.

Sementara karena kondisi kesehatan yang sudah mulai menurun, Guntur harus digendong dan dinaikkan di kursi roda naik ke panggung. Namun itu juga tidak membuat semangatnya surut untuk terus berkarya dan menunjukkan pada dunia bahwa Taganing dan musik Batak itu punya nilai seni yang sangat tinggi.

Begitu di atas panggung, tangannya mulai meraih pemukul (stik) Taganing dan memainkannya dengan alunan musik khas Batak. Dia juga didampingi Bupati Samosir yang mengaku bangga bisa bersama dalam satu panggung dengan Guntur Sitohang.

Tak berapa lama, dia kemudian turun panggung dan diberikan aplaus oleh ribuan penonton.“Songon tona nama huhilala na marTaganing on. (Sudah seperti panggilan jiwa bagiku melestarikan musik Batak ini),” ujar Guntur Sihotang ditemui usai tampil.

Saat ditanya sejak berapa tahun mengeluti alat musik Batak, pria yang akrab disapa Guru Guntur Sitohang itu mengatakan, sejak berusia 2 tahun sudah menekuni musik Taganing.

“Saya juga bangga beberapa dari anak saya mengkuti jejak saya untuk fokus mendalami musik Batak. Saya bangga, anak-anak bahkan cucu-cucu saya, fasih memainkan berbagai alat musik Batak. Bisa memainkan alat musik Taganing, hasapi, sarune bahkan ada mengikuti jejak membuat Taganing,” ujarnya penuh bangga.

Tiga Taganing yang ditampilkan pada penutupan FDT tersebut, kata Guru Guntur, merupakan hasil karyanya sendiri selama sebulan terakhir. Sedangkan satu Taganing merupakan karya pertamanya sejak membuat alat musik Batak. Berkarya selama 75 tahun untuk melestarikan alat musik Taganing, mulai dari membuat, memainkan, bahkan bisa diwariskan kepada anak-anaknya, akhirnya membuahkan hasil. Guru Guntur Sitohang mendapat gelar Maestro Batak dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang diserahkan Bupati Samosir pada penutupan FDT 2013.

“Guru Guntur Sitohang sudah terbukti dapat melestarikan budaya Batak, bahkan bisa menurunkan semangat melestarikan budaya Batak hingga ke anak cucu. Seniman-seniman nusantara sudah sepakat untuk mengabadikan Guru Guntur Sitohang menjadi Maestro Gendang Dunia, walaupun tinggal di desa karena kepeduliannya,” ujar Bupati Samosir Mangindar Simbolon saat memberikan gelar bergengsi tersebut.

Sebelumnya, saat membuka kegiatan World Drum Festival, Selasa (10/9) di Bukit Beta, Bupati Samosir Mangindar Simbolon juga mengeluarkan air mata. Ia lalu terisak saat memanggil salah satu tokoh masyarakat, sekaligus seniman asal Harainboho, Pangururan yang sudah terkenal di tingkat Internasional. Ia tak mampu membendung air matanya.

“Dalam pembukaan kegiatan World Drum Festival ini, saya mengundang Guru Guntur Sitohang sebagai ahli seni budaya untuk hadir di sini. Saya sebagai Ketua Umum FDT 2013 mengucapkan terima kasih kepada seluruh pengunjung dan peserta,” katanya sambil menangis. (MSC). Bupati Samosir Mangindar Simbolon bersama musisi dari Nasional dan Internasional saat membukaan Like Toba World Drum Festival di Samosir, Sumut, Selasa (10/9). (Foto: ANDRI GINTING/SUMUT POS)
 
Banyak hal membuat Danau Toba dijadikan sebagai tujuan wisata. Selain keindahannya yang sudah diakui dunia, tak sedikit juga seniman-seniman asal Samosir yang melegenda. Bahkan, ada yang mengabdikan dirinya untuk melestarikan kekayaan musik Batak.

Pagelaran Festival Danau Toba yang diselenggarakan sejak 8 sampai 14 September 2013 lalu, menjadi refleksi bersama atas keberadaan para seniman Batak yang katanya mulai tak diketahui keberadaannya.

Di antara keramaian pengunjung penutupan FDT 2013 di Bukit Beta Tuktuk, dipamerkan empat set alat musik pukul yang disebut dengan Taganing. Taganing bukan lagi hal baru bagi orang Batak, khususnya di Kabupaten Samosir.

Seorang pemuda yang tidak asing bagi para peserta World Drum Festival, karena sudah berbagi ilmu dan pengalaman di panggung Heritage Festival Danau Toba, Martahan Sitohang, terlihat sibuk mengangkat dan memasang empat set Taganing. Tiga set Taganing terlihat masih berwarna cerah dan seolah masih baru dibuat.

“Tiga Taganing itu baru saja dibuat ayahku. Sementara satu set Taganing berwarna kusam ini, merupakan karya pertama ayahku yang dibuat tahun 1982 dan saya (Martahan, red) belum lahir saat itu,” ujar pemuda tersebut sembari mengecek kesiapan Taganing.

Sembari terus mengecek kelengkapan Taganing, Martahan bercerita, kalau ayahnya seorang seniman Batak bernama Guntur Sihotang. Tidak terhitung lagi karya Taganing yang diciptakan seniman Batak itu.

“Ayahku itu menghabiskan seluruh waktu bahkan hidupnya untuk melestarikan musik dan kebudayaan Batak,” ujar pemuda itu dengan bangga.

Tertarik berbincang soal ayahnya, dia kemudian menghentikan aktivitasnya. Martahan terlihat lebih fokus bercerita dengan menuturkan tentang keluarganya.

Ada sebelas anak dari sang kreator Taganing (Guntur, red), di antaranya Megawati Sitohang, Maya Sitohang, Martogi Sitohang (di Jakarta: seniman), Junihar Sitohang (perajin alat Taganing di Medan), Mona Sitohang, Hardoni Sitohang (di Medan dosen Nomensen), Naldi Sitohang, tinggal di Samosir, Senida Sitohang tinggal di Samosir, Martahan Sitohang (tinggal di Jakarta sebagai penggiat seni), Efrida Sitohang tinggal di Samosir dan anak angkat Julia Sitohang yang merupakan kewarganegaraan Amerika. Sedangkan istrinya br Habeahan sudah meninggal beberapa tahun lalu.

“Jika berangkat dari Tuktuk menuju kampung halaman di Harian Boho, Desa Turpuk Limbong, Kecamatan Harian, akan memakan waktu sekitar 1,5 jam naik sepedamotor,” ujarnya.

Kata Martahan, awalnya dia tidak tertarik dengan kesenian Batak termasuk dengan Taganing. Namun setelah kuliah di Etno Musikologi USU, barulah dia tertarik dengan apa yang digeluti ayahnya selama ini.

“Keluarga kami (keturunan Guntur, red) bahkan hingga cucu secara turun temurun, mengapresiasi apa yang sudah dikerjakan ayah kami, untuk tetap mencintai budaya Batak walau bukan berarti semuanya harus menjadi seniman,” ujanya.

“Ada 50 peserta didik Taganing yang dilatih melalui gereja. Selain bermain Taganing, diharapkan generasi penerus orang Batak tahu dan mengerti apa itu Taganing. Mereka tidak harus menjadi pemain musik atau seniman, namun perlu ada kecintaan dan niat melestarikan budaya Batak,” sebutnya berpesan.

Di sebelah panggung bertuliskan World Drum tersebut, ternyata ada juga seorang pria paruh baya juga sedang mengecek beberapa alat musik tiup untuk persiapan penutupan FDT 2013. Di sela-sela cek sound, pria yang mengenakan ulos di bahunya itu, mengaku bernama Hardoni Sitohang dan juga anak Guntur Sitohang.

“Malam ini keluarga kami diberi kesempatan untuk performance (tampil, red) di penutupan FDT, sebagai penghargaan atas pelestariaan adat Batak,” ujarnya.

Menurut Hardoni, melestarikan budaya Batak khususnya musik Toba, harus dengan hati nurani. “Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan melestarikan budaya Batak itu,” ujar dosen Universitas Nommensen Medan tersebut.

Hardoni menjelaskan, saat ini tugas generasi muda untuk melestarikan musik Batak. “Selama lima tahun saya pernah mengajar musik Batak Toba di salah universitas negeri di Medan, walau hanya dengan gaji Rp374 ribu per semester,” ujarnya.

Hardoni berpendapat, ada hal yang perlu diperbaiki dalam pengembangan Danau Toba sebagai kawasan pariwisata. Jika bicara keindahan Danau Toba, dunia sudah mengakui-nya. Namun saat ditanya ada apa di Samosir? Maka sangat sulit dijawab. Padahal Samosir juga sarangnya para musisi nasional.

“Ada tortor cawan, mangalahat horbo, pertunjukan Taganing dan sebagainya, sudah langka ditemui di tempat asalnya. Padahal, budaya itu sebagai modal utama wisata Danau Toba. Saya tetap berpegang teguh dengan prinsip ayahku yang menyatakan, hidup ini bukan karena pangkat dan uang. Berbanggalah jadi parhuta-huta (orang kampung) yang melestarikan dan membanggakan budaya Batak,” ujarnya.

Berselang beberapa saat, panggung FDT pun mulai dimasuki beberapa pemain musik. Ribuan pengunjung pun sontak bersorak ria menyambut keluarga besar Guntur Sitohang mengisi panggung berukuran besar itu.

Taganing karya pertama Guntur Sitohang pun, memukau penonton dari atas panggung penutupan FDT. Kesempatan yang diberikan kepada keluarga Guntur untuk tampil di panggung penutupan FDT, Sabtu (14/9) membuat ribuan warga yang memadati lapangan Beta Tuktuk tercengang.

Gerimis yang membasahi lapangan tidak menyurutkan semangat penonton. Dari penampilan pertama cucu Guntur Sitohang, penampilan kedua dari pihak boru Guntur Sitohang dan penampilan terakhir dari seluruh anak Guntur Sitohang, membuat panggung Worl Drum hening dan larut dalam kenikmatan suara indah dari berbagai alat musik daerah Batak tersebut.

Sementara karena kondisi kesehatan yang sudah mulai menurun, Guntur harus digendong dan dinaikkan di kursi roda naik ke panggung. Namun itu juga tidak membuat semangatnya surut untuk terus berkarya dan menunjukkan pada dunia bahwa Taganing dan musik Batak itu punya nilai seni yang sangat tinggi.

Begitu di atas panggung, tangannya mulai meraih pemukul (stik) Taganing dan memainkannya dengan alunan musik khas Batak. Dia juga didampingi Bupati Samosir yang mengaku bangga bisa bersama dalam satu panggung dengan Guntur Sitohang.

Tak berapa lama, dia kemudian turun panggung dan diberikan aplaus oleh ribuan penonton.“Songon tona nama huhilala na marTaganing on. (Sudah seperti panggilan jiwa bagiku melestarikan musik Batak ini),” ujar Guntur Sihotang ditemui usai tampil.

Saat ditanya sejak berapa tahun mengeluti alat musik Batak, pria yang akrab disapa Guru Guntur Sitohang itu mengatakan, sejak berusia 2 tahun sudah menekuni musik Taganing.

“Saya juga bangga beberapa dari anak saya mengkuti jejak saya untuk fokus mendalami musik Batak. Saya bangga, anak-anak bahkan cucu-cucu saya, fasih memainkan berbagai alat musik Batak. Bisa memainkan alat musik Taganing, hasapi, sarune bahkan ada mengikuti jejak membuat Taganing,” ujarnya penuh bangga.

Tiga Taganing yang ditampilkan pada penutupan FDT tersebut, kata Guru Guntur, merupakan hasil karyanya sendiri selama sebulan terakhir. Sedangkan satu Taganing merupakan karya pertamanya sejak membuat alat musik Batak. Berkarya selama 75 tahun untuk melestarikan alat musik Taganing, mulai dari membuat, memainkan, bahkan bisa diwariskan kepada anak-anaknya, akhirnya membuahkan hasil. Guru Guntur Sitohang mendapat gelar Maestro Batak dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang diserahkan Bupati Samosir pada penutupan FDT 2013.

“Guru Guntur Sitohang sudah terbukti dapat melestarikan budaya Batak, bahkan bisa menurunkan semangat melestarikan budaya Batak hingga ke anak cucu. Seniman-seniman nusantara sudah sepakat untuk mengabadikan Guru Guntur Sitohang menjadi Maestro Gendang Dunia, walaupun tinggal di desa karena kepeduliannya,” ujar Bupati Samosir Mangindar Simbolon saat memberikan gelar bergengsi tersebut.

Sebelumnya, saat membuka kegiatan World Drum Festival, Selasa (10/9) di Bukit Beta, Bupati Samosir Mangindar Simbolon juga mengeluarkan air mata. Ia lalu terisak saat memanggil salah satu tokoh masyarakat, sekaligus seniman asal Harainboho, Pangururan yang sudah terkenal di tingkat Internasional. Ia tak mampu membendung air matanya.

“Dalam pembukaan kegiatan World Drum Festival ini, saya mengundang Guru Guntur Sitohang sebagai ahli seni budaya untuk hadir di sini. Saya sebagai Ketua Umum FDT 2013 mengucapkan terima kasih kepada seluruh pengunjung dan peserta,” katanya sambil menangis. (MSC).Rano Hutasoit, Samosir

Tidak ada komentar: