Rabu, 25 Mei 2011

Suku Kubu Wakili Jambi Tampil di Gebyar Wisata Nusantara

Seorang Ibu Suku Kubu Dikehidupan Sehari-hari. Foto Ilustrasi.
Temenggung (pimpinan tertinggi) Tarib Yang Pernah Mendapat Penghargaan Lingkungan Hidup Dari Presiden dengan Program (Hompongan).
Aktifitas Suku Anak Dalam di Jambi.

Jambi, BATAKPOS

Kesenian budaya Suku Anak Dalam (SAD) atau dikenal dengan sebutan Suku Kubu Jambi akan tampil mewakili Provinsi Jambi pada ajang bergengsi yakni gebyar wisata nusantara yang bertempatkan di JCC (Jakarta Convention Centre) Jakarta pada tanggal 26 Mei mendatang.

Komunitas SAD yang berdomisili di wilayah Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD) yang terletak di Kecamatan Air Hitam Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi itu akan membawakan sejumlah kesenian khas SAD.

Demikian dikatakan Kepala Dinas Budparpora Kabupaten Sarolangun, Drs Joni Rusman di Jambi, Selasa (24/5). Disebutkan, perlombaan gebyar wisata nusantara ini diikuti 33 provinsi, dari Provinsi Jambi dipercayakan kesenian dari Kabupaten Sarolangun yang menampilkan tarian khas dari SAD.

“Nama tarian yang akan ditampilkan yakni Tarian Rentak Bandan. Ini sudah berkali-kali kami uji coba penampilannya sebelum menjadi utusan dari Provinsi Jambi. Tarian Rentak Bandan ini sendiri, memiliki sejarah tersendiri. Tarian Rentak Bandan diambil dari duplikasi warga SAD TNBD saat berburu di hutan belantara di daerah mereka,”katanya.

Cerita tarian ini ketika SAD berburu, mereka tidak menyadari bahwa mereka memasuki hutan larangan. Sehingga para pemburu (SAD) tiba di hutan larangan menjadi pingsan alias kesurupan.

“Inilah duplikasi dari kisah berburu suku SAD. Jadi saat mereka pingsan di hutan larangan karena tidak dibenarkan melakukan perburuan di hutan tersebut maka saat itu untuk menyembuhkan para warga yang pingsan dipanggillah para sesepuh mereka dan melakukan ritual,”katanya.

Jumlah penari termasuk pemusik, berjumlah delapan orang. Terdiri dari dua pemusik, lima penari dan satu orang yang bertindak sebagai dukun yang kesemuanya terdiri dari laki-laki. ruk
===========
Temenggung Tarib. Foto Warsi
Jakarta - Suku Orang Rimba, menyebar di kawasan hutan di Provinsi Jambi. Dari sana terlahir seorang yang wajar rasanya menjadi panutan anak bangsa. Dia adalah Tumenggung Tarib (50) yang pernah meraih penghargaan Kehati Award dan Kalpataru. Sosok Orang Rimba ini selain konsisten menyelamatkan kawasan hutan, juga telah menemukan ramuan obat-obatan tradisional.

Orang Rimba, begitulah mereka senang disebut sebagai penduduk yang berada di kawasan hutan belantara di Jambi. Masyarakat kebanyakan dulunya mengenal mereka
sebagai komunitas Suku Kubu. Namun sejujurnya masyarakat ini lebih senang jika dijuluki Orang Rimba.

Tumenggung Tarib berasal dari Desa Pematang, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangon, Jambi. Dia hidup di kawasan penyanggah Taman Nasional Bukit Duabelas yang harus ditempuh dengan kendaraan sekitar 7 jam dari Kota Jambi. Dia merupakan pendekar hutan yang sampai sekarang teguh menyelamatkan sisa hutan dari lajunya pembalakan liar. Di kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD), hidup secara damai 6.500 jiwa Orang Rimba.

Tumenggung Tarib mengajak komunitasnya untuk menghalau semua bentuk perambahan hutan demi anak cucu mereka dan sebenarnya demi anak cucu bangsa Indonesia. Alam merupakan habitat yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan mereka sehari-hari.

Komunitas Suku Rimba pada umumnya sampai sekarang masih memeluk animisme. Namun Tarib, pada tahun lalu dengan kesadarannya sendiri tanpa ada paksaan dari pihak lain, telah memutuskan untuk mualaf. Kini sosok tokoh adat itu telah memeluk Islam.

Tarib juga dikenal sebagai orang yang merintis konsep Hompongan yakni kegiatan penanaman karet untuk masyarakatnya. Tarib berharap masyarakatnya tidak lagi hidup dengan cara berpindah-pindah. Dia menginginkan dengan pembukaan kebun karet, masyarakat bisa mendongkrak perekonomiannya.

Mengajak Orang Rimba untuk bercocok tanam, bukan hal yang mudah. Sebab, sudah ratusan tahun lamanya, suku pedalaman ini hidup berpindah-pindah dengan mata pencarian memburu di tengah kawasan hutan. Tarib harus berjuang keras menyakinkan komunitasnya untuk dapat menatap hidup yang lebih baik lagi tanpa harus memboyong keluarganya dengan nomade dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Malah tak jarang, Orang Rimba di kawasan Jambi dalam perjalanan kehidupannya sampai ke Wilayah Riau. Orang Rimba tidak mengenal batas wilayah, mereka hidup terus menerus berpindah-pindah di dalam kawasan hutan.

Tarib tidak mengenal lelah, memperkenalkan program penanaman karet untuk kehidupan baru di lingkungan masyarakatnya. Mereka terus belajar hidup berdampingan dengan masyarakat pada umumnya. Walau harus diakui, tidak sedikit pula di antara Orang Rimba harus kalah bersaing hidup berdampingan dengan masyarakat lainnya.

Kondisi ini membuat sebagian kelompok Orang Rimba ada yang menjadi pengemis di jalan lintas Sumatera. Mereka seakan menjadi manusia yang terpinggirkan di alamnya sendiri. Mereka yang menjadi pengemis ini berasal dai masyarakat di Taman Nasional Bukit Duabelas dari kelompok Tumenggung Tarib. Sulitnya mencari kehidupan memaksanya menjadi mengemis. Malah kabarnya kini sebagian Orang Rimba sudah ada yang menjadi pengemis di Kota Jambi.

Tarib, pria berkulit hitam juga telah menemukan berbagai jenis obat-obatan tradisional. Berbagai uji coba untuk meramu obat-obatan ini dia tekuni turun temurun tanpa kenal lelah dan tanpa kenal pamrih. Eksperimennya tidak pernah berhenti untuk menyalurkan bakatnya dalam meramu obat-obatan dari jenis pohon dan satwa. Hasilnya patut kita acungin jumpol. Ratusan ramuan obat-obatan sudah berhasil dia temukan.

Mulai obat-obatan untuk menambah energi, obat masuk angin, kosmetik dan berbagai jenis lainnya. Hasil eksperimennya walhasil dilirik tim biomedika dari Indofarma, LIPI, IPB Bogor, dan UI. Dan kini ramuan Tarip menjadi resep obat-obatan di tanah air kita. Terakhir biomedika dari Jepang turun tangan untuk meneliti hasil karya Tarib.

"Yang kita ketahui, terakhir tahun lalu tim biomedika dari Jepang meneliti hasil ramuan obat-obatan Tarip. Sayangnya sudah setahun ini kita belum menerima kabar hasil lab dari tim medika Jepang itu," kata Program Manajer Kebijakan dan Advokasi, Warsi, Diki Kurniawan dalam perbincangan dengan detikcom, Rabu (9/02/2011).

Karya Tarib yang begitu menakjubkan itu, tidak ada salahnya bila lembaga bidang lingkungan Kehati memberikan Kehati Award pada dirinya. Sosok pria yang sempat dua kali menikah karena istri pertamanya meninggal dunia ini meraih Kehati Award semasa Presiden Megawati Soekarnoputri.

Orang Rimba merupakan suku asli yang ada di dalam kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas. Kawasan yang luasnya 60.500 ha ini telah di diami komunitas Orang Rimba sejak nenek moyangnya dan merupakan tersisa hutan sekarang ini dari keseluruhan kawasan pengembaraan suku Orang Rimba dimasa lalu. Tingginya laju deforestasi dan konversi kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan telah menjadikan sebagian besar Orang Rimba menjadi sangat marginal karena kehilangan hak atas sumber daya dan tanah.

Karena itu hutan dalam kawasan TNBD menjadi sentra terakhir keberlanjutan budaya dan penghidupan Orang Rimba. Karena itu Gubernur Jambi Zulkifli Nurdin mengusulkan kawasan hutan tersisa ini menjadi kawasan Penghidupan Orang Rimba dan disetujui Menteri Kehutanan sebagai wilayah penghidupan dan kehidupan Orang Rimba melalui SK 258/Kpts-II/2000 Agustus 2000.

Perjalanan panjang perjuangan kawasan TNBD untuk menjadi kawasan hak hidup Orang Rimba tidak terlepas dari sejarah dan peran Temenggung Tarib. Nama Tarip sendiri diberikan oleh para dukun rimba terdahulu yang bermakna 'kearifan', yang berarti tempat berkumpulnya segala kebaikan dan kebajikan. Ia adalah salah seorang Tumenggung Orang Rimba yang sangat gigih dalam memperjuangkan kawasan hutannya. Pemimpin kelompok Orang Rimba di Sungai Pakuaji, Desa Pematang Kabau, Kecamatan Pauh, Kabupaten Sarolangun ini, bagai tak bisa dipisahkan dari Taman Nasional Bukit Duabelas: Orang Rimba butuh TNBD yang menyimpan sumberdaya pencarian mereka, dan sebaliknya, TNBD juga butuh pelestarian dan pengamanan dari mereka.

Kegigihan dalam mempertahankan TNBD itu yang membawa Temenggung Tarib dan kelompoknya mendapat penghargaan, Kalpataru 2006 dari Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia yang diserahkan langsung oleh Presiden Bapak SBY di Istana Negara. Anugerah itu diberikan karena menilai Tarib, bersama anggota kelompoknya, melakukan kegiatan yang mampu menyelamatkan hutan alam dan keanekaragaman hayati yang ada di dalam dan sekitar TNBD.

Tarib juga beberapa kali ikut dalam pertemuan Masyarakat Adat Nusantara di Jakarta. Tarip dalam pertemuan yang dengan lantang meminta keseriusan pemerintah mengakui komunitas masyarakat adat. Pemerintah diminta memberikan jaminan hidup masyarakat adat dari lajunya kerusakan hutan baik dari perambahan maupun kebijakan pemerintah yang serampangan dalam memberikan perizinan pelepasan kawasan hutan. "Tarib tidak pernah lelah berjuang untuk menyelamatkan hutan," kata Diki Kurniawan aktivis Warsi itu.

Begitu besarnya Orang Rimba telah menyuguhkan ramuan obat untuk bangsa ini. Sayangnya, pemerintah saat ini masih cenderung memandang sebelah mata atas komunitas adat. Masih banyak Orang Rimba tidak mengenyam pendidikan sebagaimana masyarakat pada umumnya. Mereka masih terpinggirkan, masih belum tersentuh secara total soal kebijakan pemerintah untuk mengangkat harkat dan martabat Orang Rimba. Mereka masih miskin akan fasilitas publik sebagaimana yang dirasakan masyarakat pada umumnya.

Padahal mereka ini membutuhkan sarana pendidikan yang layak untuk anak dan cucu mereka. Orang Rimba juga sadar, mereka tidak mau generasinya terus menerus menjadi santapan orang yang pintar. Mereka juga mengharapkan adanya perhatian pemerintah soal kesehatan. Sekarang kita tunggu keseriusan pemerintah untuk menyelamatkan kawasan hutan demi anak cucu Orang Rimba dan masyarakat Indonesia pada umumnya.(suber.detik.com)

Tidak ada komentar: