Senin, 04 Maret 2013

Sumut Mencari Pemimpin

Jhon Rivel Purba.Foto Ist FB
Wacana di Harian Medan Bisnis, 2 Maret 2013

Sumut Mencari Pemimpin
Oleh: Jhon Rivel Purba


Pemilihan umum kepala daerah (pilkada) di Sumatera Utara (Sumut) tinggal menunggu hari. Masing-masing pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang dibantu oleh tim sukses atau tim pemenangan beserta relawannnya tentu selama ini sudah berusaha menarik simpati masyarakat Sumut. Dengan menebar janji-janji manis melalui berbagai media, mereka berharap bisa menjaring suara masyarakat sebanyak-banyaknya. 

Di sisi lain, masyarakat juga berharap melalui pilkada tahun ini bisa menghadirkan pemimpin yang bersih, berintegritas, dan bisa merangkul semua golongan tanpa memandang bulu. Intinya masyarakat menginginkan perubahan. Oleh sebab itu, mereka menanti pemerintahan yang bersih dari praktik korupsi kolusi dan nepotisme (KKN), yang selama ini masih kental.

Kentalnya praktik korupsi di Sumut sudah bukan rahasia lagi. Masyarakat sudah mengalaminya langsung misalnya dalam pengurusan kartu tanda penduduk (KTP) dan izin mendirikan bangunan (IMB). Kemudian semakin jelas ketika beberapa kepala daerah di Sumut (termasuk mantan gubernur Sumut) berhadapan dengan hukum karena korupsi. Makanya, tidak mengherankan ketika Sumut beberapa waktu lalu dinobatkan sebagai daerah terkorup di Indonesia. 

Bagaimanapun juga, masyarakatlah yang menjadi korban akibat praktik korupsi tersebut. Tingginya angka kemiskinan di Sumut tidak terlepas dari dampak buruk korupsi. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) pada September 2011, warga miskin di Sumut mencapai 1,42 juta jiwa atau 10,83 persen dari total jumlah penduduk. 

Bagaimana tidak, harga barang semakin mahal dan upah buruh murah karena perusahaan harus membayar “suap” sejak masa perizinan hingga produksi; bantuan tidak sampai ke tangan masayarakat karena sudah “disunat” dari atas; petani semakin terjepit karena harga faktor produksi semakin tinggi; kebijakan politik tidak merakyat karena pejabat dipilih berdasarkan politik uang. 

Meskipun demikian, tidak sedikit masyarakat Sumut yang pesimis akan hadirnya perubahan. Bahkan banyak juga yang apatis dengan semua ini. Bukan karena mereka tak mengharapkan perubahan. Hal ini bisa terjadi karena mereka melihat kelima pasangan calon pemimpin Sumut tersebut adalah orang-orang lama. Bagi mereka, orang-orang lama ini adalah penjaga status quo yang lebih berpihak kepada kepentingan pemilik modal. Barangkali mereka memilih untuk tidak memilih atau dengan kata lain golongan putih (golput). 

Jika kita melihat tahun-tahun sebelumnya, tingkat partisipasi politik dalam pesta demokrasi di Sumut mengalami penurunan. Pada pemilihan gubernur Sumut 2008 misalnya, partisipasi pemilih hanya mencapai 63,1 persen. Bisa jadi dalam pilkada tahun ini juga, partisipasi pemilih tetap rendah. 

Selain itu, tidak bisa dipungkiri bahwa pilihan politik masyarakat Sumut dalam pilkada masih kuat dipengaruhi oleh latar belakang primordial (etnis dan agama). Hal ini bisa terlihat dari pilkada-pilkada sebelumnya. Masyarakat memilih salah satu pasangan calon karena lebih mempertimbangkan latar belakang suku dan agamanya daripada parpol pendukungnya. 

Pilihan masyarakat berdasarkan latar belakang primordial tersebut bisa tetap kental karena beberapa hal. Pertama, partai politik tidak menjalankan fungsinya sehingga masyarakat sulit membedakan ideologi parpol yang satu dengan yang lain. Apalagi selama ini parpol hanya sibuk pada saat pemilihan umum (pemilu), pilkada, kongres partai, dan kegiatan-kegiatan internal yang tidak berhubungan dengan kepentingan masyarakat. 

Kedua, calon-calon pemimpin seringkali memanfaatkan isu primordial untuk kepentingan politiknya. Di satu sisi, pemanfaatan isu primordial ini masih dianggap sebagai jala yang sanggup menjaring suara masyarakat. Di sisi lain, isu primordial ini dijadikan sebagai topeng untuk menutupi rekam jejak calon pemimpin. Dengan demikian, faktor primordial bukan jaminan melahirkan pemimpin yang bersih dan berintegritas. 

Sumut sering dikatakan sebagai miniaturnya Indonesia karena semua etnis terdapat di daerah ini. Adapun komposisi penduduk Sumut berdasarkan etnis, yaitu: Jawa 33,4 %, Tapanuli Toba 25,62 %, Mandailing 11,27 %, Nias 6,36 %, Melayu 5,86 %, Karo 5,09 %, suku lainnya 3,29 %, Tionghoa 2,71 %, Minang 2,66 %, Simalungun 2,04 %, Aceh 0,97 %, dan Pakpak 0,73 % (Kompas, 31/1/2012). Selama ini, masyarakat Sumut bisa dikatakan hidup rukun di tengah-tengah perbedaan. Inilah yang perlu dijaga. Jangan sampai gara-gara kepentingan segelintir elite, terjadi konflik yang merugikan semua pihak.

Pemanfaatan isu primordial khususnya agama dalam pilkada (sadar atau tidak) bisa menjadi bom waktu yang melahirkan konflik besar. Oleh sebab itu, masyarakat Sumut harus cerdas dalam berpolitik. Janganlah mau jadi domba yang bisa digiring dengan tali primordial bahkan dengan uang demi kepentingan politik segelintir elite. Rekam jejak dan visi calon pemimpin lebih penting dari pada asal suku serta agamanya. 

Terakhir, siapa pun pemimpin yang terpilih, tidak ada jaminan perubahan di Sumut tanpa partisipasi masyarakat. Partisipasi politik masyarakat tidak boleh hanya berhenti pada saat pilkada. Masyarakat harus ikut mendukung kinerja pemimpin terpilih nantinya dan juga mengawasinya. Demi kesejahteraan masyarakat Sumut. (Penulis adalah mahasiswa pascasarjana UGM, Yogyakarta)

Tidak ada komentar: