Willy Azano Marlupi |
JAMBI-Komunitas Solidaritas Masyarakat Jambi (SMJ)
mempertayakan niat dan tujuan PM Norwegia Erna
Solberg, ke Jambi. Masih hangat dalam benak
kita tentang kasus Orang Rimba atau Suku Anak Dalam yang di beritakan mati
kelaparan karena kehabisan hutan dan yang dikarenakan krisis pangan.
Perdana Menteri Norwegia Erna Solberg, didampingi Menteri Lingkungan Hidup Kehutanan Siti Nurbaya dan Gubernur Jambi HBA, Rabu (15/4/2015). Kemudian mereka menuju Desa Senamat Ulu, Muarabungo. (Lee) |
Yang penting dicatat dalam kasus ini adalah, berita tersebut
bermula dari sebuah NGO konservasi bukan dari Orang Rimba atau masyarakatnya langsung.
Bukan pula dari hasil observasi dan investigasi lapangan, kenapa?
Karena menurut penghulu (pemimpin rimba) anggota mereka yang
meninggal disebabkan oleh penyakit menular seperti campak, malaria, DBD, flu,
batuk mejan, sesak nafas, yang dipicu oleh cuaca ektrim, dan ada juga yang
disebabkan oleh keteguran dan gagal ginjal, bukan karena kelaparan.
Kenyataan ini secara langsung sudah mengambarkan bahwa
terjadi distorsi informasi yang sangat serius, belum lagi habis rasa penasaran
tersebut, tiba-tiba PM Norwegia datang ke Jambi, ada apa? dan apakah ini saling
berkaitan?
Demikian diterangkan Koordinator Komunitas Solidaritas
Masyarakat Jambi (SMJ) Willy Azano Marlupi kepada Harian Jambi, Rabu (15/4).
Menurutnya, ada Misi Konservasi dibalik kunjungan PM Norwegia itu.
Menurut data Transparansi Internasional Indonesia (TII),
banyak negara maju dan lembaga asing mengalokasikan dana yang jika ditotal nilainya
mencapai puluhan triliun Rupiah untuk proyek REDD di Indonesia. Proyek REDD
secara umum adalah misi yang berkepentingan dengan pembangunan rendah emisi,
konservasi dan pelestarian hutan.
Disebutkan, Norwegia (untuk saat ini) adalah salah satu
negara penyumbang dana terbesar yaitu US$ 1 miliar (satu miliar dolar amerika)
yang jika kurs dengan dolar hari ini (12.000-13.000) maka angka tersebut
berkisar di angka 12-13 triliun Rupiah.
Kemudian ada dari Korea Selatan sebesar US$ 3 juta atau
sekitar Rp. 30 miliar, Australia AUD 30 juta atau sekitar Rp. 300 miliar, PBB
sebesar US$ 5,4 juta atau sekitar Rp. 53 miliar dan Bank Dunia sebesar US$ 3,6
juta atau sekitar Rp. 36 miliar.
“Dengan aliran dana sebanyak itu, REDD dinilai rawan potensi
korupsi. Apalagi REDD berhubungan erat dengan bisnis hutan yang dipenuhi mafia
dan tindak pencucian uang. Potensi korupsi REDD bisa terjadi dari proses
penentuan lahan dan penghitungan karbon yang rentan di manipulasi,” Willy Azano
Marlupi.
Ada juga yang mempermasalahkan harga diri bangsa yang
terkesan hanya sekedar “tukang cuci piring pesta orang” karena proyek REDD ini
dinilai hanya sarana bagi negara-negara maju untuk “mencuci dosa” dan lari dari
tanggung jawab sebagai penghasil emisi karbon tertinggi di dunia. Tapi anggapan
itu tentu masalah kecil di banding masalah minimnya sosialisasi yang
menyebabkan masyarakat (sekitar hutan) menjadi tersingkirkan.
Lebih lanjut Willy Azano Marlupi menjelaskan, masyarakat
banyak menolak pelaksanaan REDD karena dianggap hanya akan menguntungkan
“pemain-pemain besar” seperti pejabat pemerintah, NGO yang mewakili masyarakat,
dan korporasi pemilik lahan. Poin inilah yang sering membuat konflik sosial
sehingga REDD dinilai tidak transparan dan gagal mensejahterakan rakyat.
“Contoh, sebuah lembaga konservasi di Jambi ceritanya sejak
1998 sudah bekerjasama dengan pemerintah Norwegia untuk kepentingan Orang Rimba
atau kawasan hutan yang ada di Jambi. Dari sekian lama kerjasama tersebut
apakah masyarakat tau berapa dana yang sudah mereka terima atau kelola selama
ini? kegiatannya apa saja? Apakah mereka pernah melaporkannya ke publik? apakah
kehidupan Orang Rimba dan Masyarakat Desa di dalam dan sekitar hutan mengalami
kemajuan yang signifikan atau sebaliknya? stagnan dan tertinggal dari desa-desa
yang lainnya,” ujar Willy Azano Marlupi.
Kemiskinan dan Pelanggaran HAM
“Mari kita lihat kedalam baik itu Orang Rimba ataupun
masyarakat desa yang hidup di dalam dan sekitar kawasan konservasi (hutan
lindung, taman nasional, suaka alam, dsb) yang ada di Jambi. Salah satunya
Bukit Duabelas, adalah kawasan hidup bagi ribuan jiwa Orang Rimba yang sudah
turun temurun, yang pada tahun 2000 ditetapkan sebagai kawasan taman nasional
dengan luasan 60.500 hektar. Sebelum tahun 2000 kawasan Bukit 12 masih
berstatus sebagai Cagar Biosfer dengan luas 27.200 hektar,” kata Willy Azano
Marlupi.
Disebutkan, kawasan Bukit 12 pertahun 2000 memang bertambah
luas lebih dari 100%, tapi apakah dengan bertambah luasnya kawasan Bukit 12
tersebut sudah menjamin kebutuhan dan perkembangan hidup Orang Rimba yang ada
disana?
Kata Willy Azano Marlupi, menurut laporan KomnasHAM, tujuh tahun
paska kawasan Bukit 12 ditetapkan menjadi Taman Nasional telah melahirkan
banyak pelanggaran Hak-hak dasar Orang Rimba selaku komunitas adat atau
kelompok khusus. Karena kultur Orang Rimba (berhuma, ladang, berburu) dalam
memenuhi kebutuhan pangan berbenturan dengan ketentuan konservasi yang dibawa
taman nasional, yang mengedepankan upaya-upaya pelestarian kawasan, yang pada
akhirnya membuat mereka (Orang Rimba) secara bertahap terpaksa keluar
meninggalkan Bukit 12 karena kebutuhan dasar dan ekonomi, sirkulasi, hubungan
dari dan menuju kampung mereka yang semakin sulit.
“Cilakanya, ketika mereka diluar atau berada di lahan
pemanfaatan masyarakat desa masalahnya justru bertambah, perbedaan pandangan
dalam pemanfaatan lahan dan sumberdaya kerap menimbulkan benturan horizon
hingga memakan korban,” ujar Willy.
Disebutkan, kenyataan yang dialami Orang Rimba diatas
sepertinya lebih dulu dialami oleh masyarakat yang bersentuhan dengan kawasan
konservasi di TNKS, TNBT dan Taman Nasional Berbak, terjerembab dalam
kemiskinan dan sulit tersentuh oleh pembangunan. Padahal dana luar negeri
selama ini untuk wilayah mereka bisa jadi luar biasa besarnya.
“Pertanyaanya adalah, kemana dan untuk apa saja dana
triliunan yang dikucurkan selama ini? Apakah Orang Rimba dan Masyarakat Desa
mengetahuinya? karena mereka adalah subyek yang kehidupannya bersentuhan
langsung dengan misi dan tujuan dari proyek konservasi,” lanjut Willy.
Kemasan Issu
Kematian yang terjadi pada Orang Rimba di saat cuaca
pancaroba apalagi bersamaan dengan datangnya musim buah selama ini adalah hal
yang biasa. Atau bukan sesuatu yang aneh dalam kehidupan mereka. Kematian
disaat cuaca ektrim yang memicu wabah DBD, Flu, Batuk, Malaria, dan sebagainya
juga terjadi pada masyarakat desa dan kota. Sama saja! Dan secara jumlah justru
lebih besar.
“Sebagian pemimpin dan masyarakat di rimba pun masih
bertanya-tanya, kenapa kematian anggota mereka saat ini begitu di persoalkan?
Masuk ke tivi dan koran-koran? (hal ini masih dicari oleh mereka jawabannya),”
kata Willy lagi.
Menurut Willy Azano Marlupi, perlu diketahui, membawa
anak-anak orang rimba berobat ke rumah sakit justru membuat tingkat stres
mereka semakin tinggi dan (bisa saja) mempercepat kematian itu sendiri.
Suasana baru, orang baru, alat-alat baru, aturan baru, dan
hidup di dalam gedung adalah nuansa yang mencekam. Harusnya yang dilakukan
adalah membuat barak pengobatan di tengah-tengah kediaman/kampung mereka,
karena suasana alami adalah tempat yang sangat di sukai oleh anak-anak,
sehingga proses penyembuhan bisa lebih mudah, cepat, baik dan maksimal.
“Jika saja kisah kematian ini adalah settingan pihak tertentu
untuk mendapatkan support dari Norwegia misalnya dana konservasi, maka hal ini
menjadi sangat disayangkan karena kental dengan muatan eksploitasi dan
politisasi. Hendaknya jangan sampai terjadi, para pengelola dana Norwegia hidup
dalam kemewahan dan eksklusifitas, sedang Orang Rimba dan Masyarakat Desa hidup
dalam kemiskinan dan ancaman,” ujar Willy Azano Marlupi.
Tuntutan dan Sikap
Willy Azano Marlupi berpendapat, biarlah Orang Rimba dan masyarakat
desa yang ada di dalam dan sekitar kawasan hutan menentukan pilihan hidupnya
sendiri, sesuai dengan kebutuhan dan perkembangannya, jika pun ada kebijakan
yang terkait dengan kehidupan mereka hendaknya mengedepankan nilai-nilai
partisipatif.
“Taman Nasional ataupun kawasan konservasi harus betul-betul
memenuhi kebutuhan dasar hidup Orang Rimba. Baik di bidang pendidikan,
kesehatan dan faktor pendukung sosial, ekonomi dan budayanya, jangan sampai
sebaliknya, membiarkan mereka terlunta-lunta, membuat konflik terus meninggi,
dan menjadi obyek ekploitasi kepentingan jangka pendek saja,” katanya.
“Negara harus miliki validitas data (jumlah dan sebaran)
Orang Rimba atau SAD yang ada di Jambi, melakukan pendataan secara komprehensif,
memberikan legalitas mereka sebagai penduduk, sebagai warga negara yang sah.
Agar menjadi pegangan bersama dalam merumuskan kebijakan yang tepat guna,”
pungkas Willy Azano Marlupi. (Lee)
Gubernur HBA : PM. Erna Solberg akan Bekerjasama dengan Jambi
dan Tinjau Hutan Adat
Jambi-Provinsi Jambi dikunjungi Perdana Menteri Norwegia Erna
Solberg, didampingi Gubernur Jambi H Hasan Basri Agus dan 4 Menteri tiba di Bandara Bungo, Rabu (15/4/15). Kamis 16 April 2015 ini langsung menuju Jambi. Tujuan kunjungan ini yakni menjalin kerjasama Indonesia dengan Norwegia dalam
rangka mengurangi emisi gas dan peninjauan Hutan Adat.
Perdana Menteri Norwegia Erna Solberg |
Kata Gubernur Jambi H. Hasan Basri Agus (HBA) Kunjungan
Kerja Perdana Menteri (PM) Norwegia Erna Solberg ke Jambidan Kabupaten
Bungo bersama Duta Besar Negara Norwegia Stig Traavik berserta rombongan tiba
di Bandara Bungo, Rabu (15/4/5).
Kamis (16/4/15) bertolak ke Jambi dan melakukan pertemuan
dengan Pengusaha Kelapa Sawit se Provinsi Jambi di Aston Hotel Jambi. Turut Mendampingi
Gubernur HBA pada rapat koordinasi tersebut Asisten II Sekda Provinsi Jambi
H. Havis Husaini, Kepala Bappeda Provinsi Jambi, Fauzi Ansori, Kepala Dinas
Pariwisata Provinsi Jambi Edi Erizon, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi
Irmansyah serta Direktur WARSI ( Wahana Konservasi Indonesia) Rahmat Hidayat.
Rute dan tujuan kunjungan Perdana Menteri Norwegia Erna
Solberg guna membahas kerja sama Indonesia dan Norwegia dalam rangka mengurangi
emisi gas serta mempelajari upaya Pemerintah Provinsi Jambi dan pusat dalam
mengurus Suku Anak Dalam (SAD) dan peninjauan Hutan Adat Desa Senamat Ulu.
Gubernur Jambi HBA menyampaikan bahwa tujuan kunjungan
Perdana Menteri Norwegia ke Provinsi Jambi ke Kabupaten Bungo serta diikuti
dengan 4 Menteri yang mendampingi, diantaranya Menteri Kelautan Dan Perikanan,
Menteri Sosial, Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Luar Negeri. Langsung
menuju hutan adat Desa Senamat Ulu. (Lee)
BERIKUT KUNJUNGAN PM NURWEGIA SAAT DI BANDARA BUNGO, RABU 15 APRIL 2015
|
Perdana Menteri Norwegia Erna Solberg, didampingi Menteri Lingkungan Hidup Kehutanan Siti Nurbaya dan Gubernur Jambi HBA, Rabu (15/4/2015). Kemudian mereka menuju Desa Senamat Ulu, Muarabungo. (Lee) |
Perdana Menteri Norwegia Erna Solberg, Rabu (15/4/2015). Kemudian mereka menuju Desa Senamat Ulu, Muarabungo. (Lee) |
Perdana Menteri Norwegia Erna Solberg, Rabu (15/4/2015). Kemudian mereka menuju Desa Senamat Ulu, Muarabungo. (Lee) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar