KPAI Ingatkan Video
Kekerasan Anak Seperti
di Bukittinggi Tak Diunggah Lagi
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mewanti-wanti
masyarakat agar tak sembarang mengunggah video kekerasan anak di media sosial.
Mereka yang melakukannya bisa terancam pidana UU ITE.
“Diingatkan ada hak anak untuk dirahasiakan identitasnya,
baik anak yang jadi korban, yang jadi saksi maupun jadi pelaku," jelas
Ketua KPAI Asrorun Niam, Rabu (15/10).
Sejauh ini KPAI belum akan mempidanakan pengunggah video
kekerasan siswi SD di Bukittinggi itu. KPAI masih melakukan sosialisasi agar
tak terulang. Bila terjadi peristiwa itu agar dilaporkan ke pihak berwenang.
“Ini pembelajaran bagi pengunggah. Mengingatkan kepada
publik untuk cerdas menggunakan media sosial, untuk memperhatikan ketentukan
hukum dan etis. Pembelajaran dan pengingat, ini tahap sosialisasi," terang
Niam.
Menurut Niam, sosialisasi ini dilakukan agar publik tahu ada
UU Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
“Makanya ini tahap sosialisasi agar publik mengetahui ada UU
yang mengatur perlindungan terhadap hak anak untuk tidak dipublikasi.
Kepolisian diminta agar juga jadikan untuk momentum sosialisasi UU 11 Tahun
2014 tentang sistem peradilan pidana anak. Sosialisasi dulu sebelum
penindakan," tegas Niam.
Video aksi brutal siswa SD di Bukittinggi, Sumatera Barat,
tersebar luas di dunia maya. Seorang siswa dikeroyok dan dianiaya
rekan-rekannya. Tindakan para siswa itu membuat publik terperangah dan kaget.
Kasus ini sudah ditangani sekolah dan pihak pemerintah setempat.
Tangani Bullying Semua Harus Terlibat
Sementara Mendikbud M Nuh angkat bicara tentang video
kekerasan yang dilakukan anak SD di Bukittinggi, Sumatera Barat. Menurutnya,
menangani kasus bullying tidak serta merta seperti membalikkan telapak tangan.
Semua pihak, selain sekolah, harus terlibat.
“Jadi urusan kekerasan, bullying kan kekerasan toh, tidak
bisa serta merta diserahkan kepada sekolah. Tidak bisa serta merta. Tetapi
harus semuanya ikut terlibat di situ," jelas M Nuh di Istana Negara, Jalan
Veteran, Jakarta Pusat, Selasa lalu.
Mencegah bullying, harus terus menerus, selama masa pendidikan anak dari dasar
hingga tinggi dengan menanamkan nilai-nilai positif.
“Harus terus menerus kita upayakan pendidikan yang berbasis
pada penanaman nilai-nilai cinta kasih, nilai-nilai kasih sayang, itu yang
mendasarkan supaya orang itu tidak timbul kekerasan," jelas dia.
Untuk penanaman nilai, Kurikulum 2013 sudah memuat
nilai-nilai dengan menambah jam pelajaran agama juga budi pekerti. Namun hal
ini juga membutuhkan pelibatan masyarakat pula.
“Berulang kali saya sampaikan, kenapa di K13 itu kita tanamkan betul mengenai
sikap. Agama pun kita tambah dengan budi pekerti. Harapannya apa? Harapannya
supaya nilai-nilai kemuliaan itu tertanam sejak awal. Mulai dari PAUD sampai
perguruan tinggi. Dan itu harus terus-menerus, tapi itu saja tidak cukup. Harus
juga diajak masyarakat secara keseluruhan," imbuh mantan rektor ITS ini.
Pengaruh tayangan televisi diakuinya juga bisa menjadi alat bantu atau
sebaliknya, senjata yang merusak. Bila tayangan TV membangkitkan nilai kasih
sayang, maka nilai ini bisa menular pada anak.
“Tapi kalau di tayangan-tayangan itu pun juga yang
ditampilkan model-model benih-benih kekerasan, ya anak-anak akan tertular.
Intinya itu," tegasnya.
Pihaknya juga sudah meminta Kepala Dinas Pendidikan Sumatera Barat untuk
menangani kasus video kekerasan ini. Nuh mengimbau agar pihak Disdik Sumbar
mengajak media untuk melihat langsung kondisi sekolah tempat terjadinya
bullying itu agar tidak timbul spekulasi.
“Saya sudah berkomunikasi dengan kepala dinas di Sumbar, karena Ibu Kepala
Dinas sedang haji, untuk segera ditangani dengan baik. Ajak kawan-kawan media
ke sekolah langsung untuk supaya tahu duduk perkara secara persis. Ketemu
murid, guru, kepala sekolah dan orang tua sekalian. Supaya tidak modelnya
spekulasi, dispekulasi lagi. Kalau sudah selesai, jangan nanti ini tetap bergulir
menjadi sesuatu yang sudah usang gitu," harap Nuh.
Keprihatinan Menteri Linda
Video aksi brutal siswa SD di Bukittinggi, Sumatera Barat, yang
tersebar luas di dunia maya, berbagai pihak mengecamnya. Apa kata Menteri
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Gumelar?
“Memang prihatin. Sebagai menteri, saya merasa ini harus ada
kelembagaannya. Artinya apa di Bukittinggi sudah ada lembaga tertentu yang
mengurusi anak atau tidak. Perlindungan anak ini masih jauh di bawah,"
kata Linda usai mengisi kuliah umum bertema "Revousi Mental Dimulai dari
Keluarga, Kampus dan Kota Layak Anak" di Kampus ITB, Jalan Ganesha,
Bandung, Selasa (14/10).
Linda meminta korban dilindungi. Sebab, tentu saja, sebagai
anak, dia trauma sehingga perlu dilakukan trauma healing. Sedangkan pelaku
seharusnya diproses sesuai hukum peradilan anak.
“Sekolah harus ramah anak. Di mana pendidik, ortu, murid, siapa pun di sekolah
itu harus berperan dan bisa menjadikan sekolah ramah anak," kata istri
Agum Gumelar ini.
Mengenai antisipasi, Linda yang pernah menjadi anggota DPR
RI ini mengatakan pihak sekolah harus lebih jeli melihat kebiasaan anak didik. “Peran
orangtua juga harus. Jangan cuma ibu saja, tapi peran ayah juga harus ikut
terlibat," kata perempuan kelahiran Bandung ini.
Pelaku Harus Dibina
Kasus beberapa siswa siswi SD di Bukittinggi memukuli
seorang siswi. Lalu apa hukuman yang pantas bagi pelaku yang masih berusia di
bawah umur tersebut menurut Dirjen Dikdas Kemendikbud Hamid Muhammad?
“Kita harus bina, karena masih di bawah umur semua. Bisa
jadi tidak ada niatan seperti itu. Siapa tahu semalam nonton apa, lalu
dilakukan," ujar Hamid usai menghadiri Lokakarya Nasional Kebijakan dan
Pemerataan Guru di Hotel Sultan, Jl Sudirman, Jakarta.
Hamid menilai kekerasan di SD itu bukan kenakalan biasa. “Itu kan yang
jadi korban perempuan ya? Saya sampai nggak tega lihatnya. Kalau dianggap
kenakalan, bukan kenakalan biasa. Yang dipukul perempuan, temannya sendiri. Dan
lagi teman-temannya justru yang menikmati dan memvideokan," tuturnya.
Hamid menambahkan, harus dipastikan apakah kekerasan
tersebut sudah menjadi tradisi atau spontanitas. Hamid juga meminta kepsek dan
sekolah tersebut diberi sanksi berupa teguran.
“Komitmen sekolah juga jangan terjadi lagi. Ini pelajaran untuk semua, jangan
ada lagi. Harus diwujudkan sekolah yang ramah dan aman untuk anak. Kita sedang
kampanyekan itu," ucap Hamid.
Kepsek dan Guru Siswi SD Disanksi
Sementara Dirjen Pendidikan Dasar Kemendikbud Hamid Muhammad
turut berkomentar atas kasus kekerasan siswa-siswi di sebuah SD di Bukittingi.
Menurut Hamid, guru dan kepsek di SD tersebut harus diberi sanksi.
“Kami minta kepada kadis di sana untuk menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi
di situ. Kalau kejadiannya karena kelalaian guru dan kepsek, kadis harus kasih
sanksi, entah teguran atau teguran keras," ujar Hamid usai Lokakarya
Nasional Kebijakan dan Pemerataan Guru di Hotel Sultan, Jl Sudirman, Jakarta,
Selasa lalu.
Menurut Hamid, SD di Bukittinggi tersebut merupakan sekolah
swasta, bukan negeri. Karena itu kepsek dan guru tidak bisa diberi sanksi
dengan dipindah.
“Kalau negeri bisa dipindah. Jadi ini kita minta ke kepala
sekolah dan kepada yayasannya. Termasuk minta komitmen sekolah, hal seperti itu
jangan sampai terjadi lagi," kata Hamid.
Hamid berharap, kasus tersebut menjadi pembelajaran berharga bagi
sekolah-sekolah. Kekerasan tidak hanya terjadi di SMA dan SMP, namun SD.
“Ini lampu merah untuk kita sekarang. Pendidikan karakter
harus diberikan di sekolah. Termasuk dilakukannya pengawasan, karena anak-anak
SD kemampuan mengkopi apa yang dilihat dan dialami melekat. Justru mencontoh
kekerasan melalui video, tv, atau video games, termasuk kartun, luar biasa!
Kemampuan menirunya luar biasa," beber Hamid.
Kekerasan anak-anak SD di Bukittinggi beredar di Youtube.
Aksi brutal siswa-siswa anak SD terhadap seorang siswi dilakukan saat guru
sedang tidak ada di kelas.
Jangan Salahkan Anak
Sementara pemerhati anak, Kak Seto mengatakan bahwa kejadian
tersebut tidak semata-mata ditudingkan kepada anak.
“Kejadian seperti ini sering luput dari pengamatan dan anak
salah. Seharusnya guru, sekolah, dinas pendidikan, dan Mendikbud introspeksi
apa yang salah dengan sistem pendidikan. Jangan hanya anak yang
disalahkan," kata Kak Seto.
Menurut Kak Seto, sistem pendidikan sekarang ini tidak ramah anak dan terkesan
dipaksakan. Selain itu, peran orang tua juga harus dilibatkan secara penuh
dalam pendidikan.
“Kalau semua diberikan dengan cara kekerasan, paksaan, anak menjadi robot. Maka
harus ada pelatihan agar guru lebih kreatif, lebih ramah anak dan profesional
gurunya," ucapnya.
“Sekolah juga orangtua dilibatkan, adakan pertemuan rutin. Sekolah yang benar
adalah sekolah yang menyenangkan. Solusinya ya mendengar suara anak,"
tutupnya.(NALA EDWIN, Jakarta/dtk/lee)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar