Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 8 Mei 2014 memutuskan
untuk mempertahankan BI Rate sebesar 7,50%, dengan suku bunga Lending Facility (LF)
dan suku bunga Deposit Facility masing-masing tetap pada level 7,50% dan 5,75%.Kebijakan tersebut masih
konsisten dengan upaya mengarahkan inflasi menuju ke sasaran 4,5±1% pada 2014
dan 4,0±1% pada 2015. Serta menurunkan defisit transaksi berjalan ke tingkat
yang lebih sehat.
ROSENMAN M, Jambi
Demikian disampaikan Kepala
Unit Komunikasi dan Koordinasi Kebijakan Kantor Perwakilan Bank Indonesia
Provinsi Jambi, Ihsan W Prabawa, kepada Harian Jambi Kamis (8/5).
Disebutkan, Bank Indonesia
menilai respon
kebijakan yang ditempuh Bank Indonesia dan Pemerintah dapat
mengarahkan penyesuaian ekonomi pada triwulan I 2014 dan April 2014 tetap
terkendali.
Hal ini tercermin pada inflasi
yang masih berada dalam tren menurun dan defisit transaksi berjalan yang
mengecil. Permintaan domestik juga tetap terkelola dengan baik, meskipun
pertumbuhan ekonomi pada triwulan I 2014 menurun dan tercatat lebih rendah dari
perkiraan akibat kontraksi pada ekspor riil, terutama komoditas pertambangan.
Ke depan, Bank Indonesia terus
mencermati berbagai risiko, baik dari global maupun domestik, dan menempuh
langkah-langkah antisipatif guna memastikan agar stabilitas ekonomi tetap
terjaga dan mendukung perbaikan kinerja transaksi berjalan.
Ditambahkan, untuk itu, Bank
Indonesia akan senantiasa memperkuat bauran kebijakan moneter dan
makroprudensial serta meningkatkan koordinasi dengan Pemerintah dalam
pengendalian inflasi dan defisit transaksi berjalan, serta kebijakan untuk
memperkuat struktur perekonomian domestik dan pengelolaan Utang Luar Negeri
(ULN), khususnya ULN korporasi.
Pemulihan Ekonomi Global Masih
Berlanjut
Disebutkan, asesmen Bank Indonesia menunjukkan pemulihan ekonomi global masih
berlanjut. Perbaikan kondisi ekonomi global terutama ditopang oleh
perekonomian negara-negara maju seperti AS dan Eropa sebagai dampak stimulus
moneter yang masih berlanjut. Perbaikan kondisi ekonomi global tersebut
berdampak pada kenaikan volume perdagangan dunia.
Namun demikian, perlambatan
pertumbuhan ekonomi terjadi di Tiongkok sejalan dengan kebijakan penyeimbangan
ekonomi yang ditempuhnya. Harga komoditas juga masih cenderung menurun,
khususnya pada komoditas karet, tembaga dan batubara.
Ke depan, Bank Indonesia akan
terus mencermati berbagai risiko dari perekonomian global, terutama risiko yang
bersumber dari normalisasi kebijakan the Fed dan risiko perlambatan ekonomi
Tiongkok.
Pertumbuhan Ekonomi
Indonesia Triwulan I 2014 Melambat
Pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan I 2014 melambat terutama dipengaruhi
ekspor riil yang mencatat kontraksi. Pertumbuhan ekonomi triwulan I 2014
tercatat sebesar 5,21% (yoy), menurun dari pertumbuhan triwulan IV 2013 sebesar
5,72% (yoy) dan lebih rendah dari perkiraan awal Bank Indonesia.
Kontraksi ekspor riil terutama
akibat penurunan ekspor pertambangan seperti batubara dan konsentrat mineral. Antara
lain karena melemahnya pemintaan terutama dari Tiongkok dan menurunnya harga.
Serta pengaruh temporer dari
dampak kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah. Selain itu, konsumsi
pemerintah yang melambat juga berkontribusi terhadap perlambatan ekonomi. Namun demikian, konsumsi rumah
tangga dan investasi masih tumbuh cukup baik untuk menopang pertumbuhan ekonomi
triwulan I 2014. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga didorong oleh keyakinan
konsumen yang tetap kuat dan dampak pemilu legislatif.
“Investasi juga sedikit
meningkat ditopang oleh investasi nonbangunan yang kembali tumbuh positif,
terutama investasi mesin. Sedangkan pertumbuhan investasi bangunan melambat,”
kata Ihsan
W Prabawa.
Sejalan dengan moderasi
permintaan domestik, impor riil juga melambat, namun tidak dapat mengimbangi
kontraksi pada ekspor riil sehingga belum dapat memperbaiki kinerja ekspor
neto.
Pertumbuhan Ekonomi Tidak Merata
Ditinjau secara regional, pertumbuhan ekonomi triwulan I 2014 tidak
terjadi secara merata di seluruh wilayah Indonesia. Hasil analisis Bank
Indonesia menunjukkan perlambatan pertumbuhan ekonomi terutama akibat penurunan
pertumbuhan ekonomi di wilayah yang berbasis sektor pertambangan yakni di
Kawasan Timur Indonesia (KTI).
Pertumbuhan ekonomi KTI pada
triwulan I 2014 tercatat 4,6% (yoy), menurun tajam dari 6,6% (yoy) pada
triwulan IV 2013 sejalan penurunan produksi sektor pertambangan sebagai dampak
implementasi kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah.
Berbeda dengan KTI, wilayah
Jawa dan Sumatera mencatat pertumbuhan masing-masing 5,8% (yoy) dan 5,4% (yoy)
pada triwulan I 2014. Bahkan pertumbuhan ekonomi di kawasan Jakarta meningkat
dari 5,6% (yoy) pada triwulan IV 2013 menjadi 6,0% (yoy) pada triwulan I 2014.
Kenaikan pertumbuhan ekonomi
di kawasan Jakarta banyak ditopang kenaikan sektor perdagangan dan sektor
pengangkutan.
NPI Membaik
Sementara itu Kinerja Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) membaik pada
triwulan I 2014. NPI diperkirakan kembali mencatat surplus ditopang
menurunnya defisit transaksi berjalan dan meningkatnya aliran masuk modal
asing.
Defisit transaksi berjalan
triwulan I 2014 diperkirakan 2,06% dari PDB, menurun dari defisit pada triwulan
IV 2013 sebesar 2,12% dari PDB. Penurunan defisit transaksi berjalan
dipengaruhi oleh kontraksi impor nonmigas sejalan dengan moderasi pertumbuhan
ekonomi, meskipun ekspor juga mencatat kontraksi.
Perbaikan defisit transaksi
berjalan juga dipengaruhi penurunan defisit neraca jasa, khususnya jasa
pengangkutan, sejalan dengan menurunnya kegiatan impor. Sementara itu, aliran
masuk modal asing baik dalam bentuk investasi langsung maupun investasi
portofolio tercatat meningkat didorong sentimen positif terhadap perbaikan
fundamental ekonomi Indonesia. Aliran masuk modal asing tercatat masih
berlanjut pada bulan April 2014.
Dengan perkembangan positif
pada NPI tersebut pada April 2014. Cadangan devisa Indonesia meningkat
menjadi 105,6 miliar dolar AS, setara 6,1 bulan impor atau 5,9 bulan impor dan
pembayaran utang luar negeri Pemerintah.
Serta berada di atas standar
kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Ke depan, Bank Indonesia akan
terus memantau beberapa risiko global dan domestik yang dapat mempengaruhi
prospek defisit transaksi berjalan dan ketahanan eksternal.
Termasuk mengenai perkembangan
Utang Luar Negeri milik swasta. Pada triwulan II dan III 2014, defisit
transaksi berjalan diperkirakan meningkat sesuai pola musiman. Antara lain
akibat peningkatan impor menjelang puasa dan hari raya serta repatriasi
pendapatan dan pembayaran bunga. Meskipun secara keseluruhan tahun 2014 defisit
transaksi berjalan diperkirakan tetap dapat ditekan di bawah 3,0% dari PDB.
(hji/lee)
***
Fundamental Ekonomi Membaik
Fundamental ekonomi yang membaik dan diikuti penguatan kinerja NPI
mendorong nilai tukar rupiah dalam tren menguat pada triwulan I 2014. Sebelum
kemudian sedikit terkoreksi pada April 2014. Pada akhir triwulan I 2014,
rupiah menguat 7,13% dibandingkan dengan level akhir 2013.
Demikian disampaikan Kepala
Unit Komunikasi dan Koordinasi Kebijakan Kantor Perwakilan Bank Indonesia
Provinsi Jambi, Ihsan W Prabawa, kepada Harian JambiKamis
(8/5).
Disebutkan, penguatan terutama
terjadi sejak Februari 2014 sejalan dengan meningkatnya aliran masuk modal
asing. Namun penguatan rupiah sedikit terkoreksi pada bulan April 2014
dipengaruhi pernyataan The Fed yang lebih hawkish, kekhawatiran
atas perlambatan ekonomi Tiongkok, dan eskalasi ketegangan geopolitik di
perbatasan Ukraina-Rusia.
Pada April 2014, rupiah
ditutup di level Rp11.562 per dolar AS, melemah 1,74% dibandingkan dengan level
akhir Maret 2014. Secara rata-rata, rupiah pada April 2014 tercatat Rp11.439
per dolar AS, melemah 0,17% dari bulan sebelumnya.
Perkembangan nilai tukar
rupiah sampai April 2014 tersebut juga diikuti dengan perkembangan positif pada
struktur mikro pasar valas seperti volume transaksi valas yang meningkat dan
selisih bid-ask yang menipis sehingga menunjukkan kondisi pasar valas domestik
yang semakin likuid.
Ke depan, Bank Indonesia tetap
konsisten menjaga stabilitas nilai tukar rupiah sesuai dengan nilai
fundamentalnya dan didukung berbagai upaya untuk meningkatkan pendalaman pasar
uang.
Inflasi Tren Menurun
Inflasi berada dalam tren menurun sehingga semakin mendukung prospek
pencapaian sasaran inflasi 2014 yakni 4,5±1% dan menopang tetap terkendalinya
penyesuaian ekonomi. Inflasi triwulan I 2014 mencapai 7,32% (yoy),
menurun dari triwulan sebelumnya yaitu 8,38% (yoy).
Penurunan ini ditopang oleh
menurunnya tekanan dari inflasi volatile food dan inflasi inti. Penurunan
tekanan inflasi berlanjut pada April 2014 yang mencatat deflasi 0,02% (mtm)
atau 7,25% (yoy), menurun dibandingkan dengan inflasi Maret 2014 sebesar 0,08%
(mtm) atau 7,32% (yoy).
Tren berlanjutnya penurunan
tekanan inflasi pada April 2014 juga didorong oleh koreksi harga pangan yang
tajam, terutama pada beras dan aneka hortikultura seiring dengan tingginya
pasokan domestik terkait datangnya musim panen.
Selain itu, inflasi inti tetap
terkendali seiring moderasi permintaan domestik, minimalnya tekanan harga dari
eksternal, serta ekspektasi inflasi yang tetap terjaga. Ke depan, Bank
Indonesia akan tetap mencermati sejumlah risiko inflasi, termasuk potensi
tekanan penyesuaian administered prices dan potensi peningkatan harga pangan
terkait dampak El Nino yang menyebabkan musim kemarau di beberapa daerah.
Stabilitas Sistem Terjaga
Stabilitas sistem keuangan juga tetap terjaga ditopang oleh ketahanan
sistem perbankan dan perbaikan kinerja pasar keuangan. Ketahanan
industri perbankan tetap kuat dengan risiko kredit, likuiditas dan pasar yang
cukup terjaga, serta dukungan modal yang masih kuat.
Menurut Ihsan W Prabawa, pertumbuhan kredit kepada sektor swasta melambat dari 21,4%
(yoy) pada triwulan IV 2013 menjadi 19,1% (yoy) pada triwulan I 2014, sejalan
dengan pelemahan permintaan domestik.
Bank Indonesia akan terus
berkoordinasi dengan OJK untuk mengarahkan pertumbuhan kredit ke depan sehingga
dapat menopang pertumbuhan ekonomi ke arah yang lebih sehat dan seimbang.
“Kinerja pasar modal pada
triwulan I 2014 dan April 2014 juga membaik, tercermin pada IHSG yang berada
dalam tren meningkat dan imbal hasil SBN yang menurun. Perbaikan kinerja pasar
modal ini didorong meningkatnya optimisme investor terhadap perekonomian
domestik,” katanya. (hji/lee)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar