Oleh : Radesman Saragih, SSos
Ibadah subuh Paskah di GKPS Jambi, Minggu (20/4) pukul 05.00 WIB. Foto insert Vik Pdt Parulihan Sipayung STh saat menyampaikan pesan Paskah pada ibadah itu. Foto Rosenman M/HARIAN JAMBI |
Seluruh
umat Kristen di dunia memperingati wafatnya Tuhan Yesus Kristus atau Jumat
Agung, Jumat (18/4/2014) dan dilanjutkan dengan peringatan bangkitnya Tuhan
Yesus dari kematian atau Paskah, Minggu (20/04/2014). Seluruh ritual ibadah
Jumat Agung dan Paskah yang dilaksanakan umat Kristen di berbagai belahan dunia
mendapat antusiasme tinggi.
Baik
itu ritual drama atau fragmen penyaliban Yesus Kristus maupun ritual lainnya.
Antusiasme tersebut nampak dari membludaknya jumlah umat Kristen yang mengikuti
ibadah-ibadah atau misa Tri Suci Paskah, yakni Kamis Putih, Jumat Agung dan
Paskah, terutama di gereja-gereja yang berada di perkotaan.
Ibadah subuh Paskah di GKPS Jambi, Minggu (20/4) pukul 05.00 WIB. Foto insert Vik Pdt Parulihan Sipayung STh saat menyampaikan pesan Paskah pada ibadah itu. Foto Rosenman M/HARIAN JAMBI |
Secara hakiki, umat Kristen menyambut antusias kematian dan
kebangkitan Tuhan Yesus Kristus karena dua peristiwa tersebut merupakan puncak
iman umat Kristen. Kalau Tuhan Yesus tidak menjalani sengsara di Kayu Salib dan
bangkit dari kematian, niscaya tak ada maknanya iman Kristen.
Berkat kematian dan kebangkitan Tuhan Yesus Kristus, manusia
yang percaya pada Yesus Kristus pun mendapatkan keselamatan, yakni kehidupan
kekal. Kebangkitan Yesus dari kematian mengalahkan kuasa maut, sehingga
orang-orang yang percaya kepada-Nya pun mendapat anugerah keselamatan hidup
kekal.
Pemahaman secara rohani kematian dan kebangkitan Tuhan Yesus
tersebut sudah cukup mendalam bagi umat Kristen, sehingga peringatan Jumat
Agung dan Paskah pun menjadi suatu peristiwa sakral yang dirayakan melalui
ibadah yang senantiasa khusyuk dan khidmat. Berbeda dengan perayaan Natal atau
kelahiran Yesus yang dirayakan dengan rasa suca cita.
Namun dari sisi pemahaman rasa kemanusiaan atau sosial, umat
Kristen masih sering melupakan makna kematian dan kebangkitan Tuhan Yesus
Kristus. Dikatakan demikian karena sering kali umat Kristen hanya merayakan
kematian dan kebangkitan Tuhan Yesus secara ritual semata tanpa diikuti aksi
nyata dalam kehidupan sosial di tengah masyarakat, gereja dan keluarga.
Salah satu makna kematian dan kebangkitan Tuhan Yesus yang
terlupakan dalam ritual Jumat Agung dan Paskah ialah aksi sosial dengan
memperhatikan dan menolong orang-orang yang membutuhkan pertolongan, baik di
lingkungan masyarakat, gereja dan keluarga. Umat Kristen masih kerap melupakan
orang-orang yang terpinggirkan dalam kehidupan, termasuk di masa Jumat Agung
dan Paskah karena kurangnya pemahaman mengenai makna kematian dan kebangkitan
Tuhan Yesus Kristus dalam kehidupan sehari-hari.
Pengorbanan Yesus
Bunda Theresa yang berjuang dan menghabiskan hidupnya untuk menolong anak-anak miskin/ terlantar dan orang miskin di Kota Calcutta, India. (Foto IST Warna/ Harian Jambi) |
Kematian Tuhan Yesus di Kayu Salib dan kebangkitan-Nya dari
kematian merupakan salah satu wujud dari jiwa pengorbanan yang tulus ikhlas
Tuhan Yesus untuk menyelamatkan manusia dari belenggu dosa dan maut.
Pengorbanan Tuhan Yesus tersebut juga disertai dengan kesetiakawanan dan rasa
solider terhadap manusia yang terjerat dosa dan terancam maut yang kekal.
Menyikapi makna sosial kematian dan kebangkitan Tuhan Yesus
tersebut, tentunya umat Kristen pun perlu mengembangkan dan mewujudkan pengorbanan
dan kesetiakawanan sosial dalam kehidupan sehari-hari, baik di tengah
masyarakat, gereja dan keluarga.
Pengorbanan yang tulus ikhlas dan kesetiakawanan sosial
tersebut penting dihidupkan di tengah umat Kristen karena belakangan ini jiwa
pengorbanan dan kesetiakawanan sosial di tengah kehidupan masyarakat, termasuk
gereja cenderung semakin menipis. Kehidupan sosial belakangan ini semakin sarat
dengan gaya atau pola hidup individualis, egois dan ekslusif. Sikap kontra
sosial tersebut juga turut menerpa kehidupan umat Kristen.
Sikap individualis, egois dan ekslusif tersebut bahkan telah
menjadi gaya hidup masyarakat saat ini. Warga masyarakat semakin banyak
menonjolkan dan mengutamakan kepentingan diri – sendiri, keluarga sendiri dan
kelompok sendiri.
Yang lebih memprihatinkan, sikap kontra sosial tersebut
bahkan kerap disertai perilaku mengganggu, meresahkan hingga mengorbankan orang
lain, keluarga lain dan kelompok masyarakat lain.
Gaya hidup individualis, egois dan eksklusif yang juga
sering disertai sikap materialis dan hedonis menyebabkan rasa solidaritas
social atau kesetiakawanan sosial di tengah masyarakat semakin menipis. Orang
tak lagi peduli terhadap kesusahan hati, kesulitan hidup sesama. Ironisnya, menipisnya
rasa kesetiakawanan sosial ini
juga menjalar di tengah kehidupan umat Kristen.
Pengaruh Materialisme Hidup
Kealpaan umat Kisten untuk membangkitkan rasa kesetiakawanan
soaial dipengaruhi terjebaknya pada gaya hidup yang lebih mengutamakan
peningkatan kebutuhan materi dalam hidup ini. Perjuangan hidup (struggle for
life) manusia di era modern ini terkadang menyebabkan manusia lebih
mengutamakan gaya hidup homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi
sesamanya). Fenomena ini Nampak dari sifat manusia yang cenderung individualis,
egosentris dan ekslusif.
Manusia lebih mementingkan diri sendiri, kelompok sendiri
tanpa peduli orang lain. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan
sendiri manusia tega mengorbankan dan mencelakai sesama. Mencelakai bukan hanya
dalam bentuk tindakan semata, tetapi juga dalam bentuk perkataan – perkataan
yang menyakitkan hati sesama.
Padahal sebagai makhluk sosial yang beragama, bermartabat
dan berhati nurani, setiap orang dituntut memiliki prinsip hidup homo homini
socius, yakni menganggap manusia adalah teman atau sahabat bagi sesama. Prinsip hidup seperti ini mampu menjadi landasan bagi
setiap orang untuk mengasihi, memperdulikan dan menolong sesama.
Membangun Kesetiakawanan
Dalam kondisi kehidupan masyarakat seperti ini, tentunya
umat Kristen/Gereja perlu terus membangun rasa kesetiakawanan sosial dan jiwa
pengorbanan seperti yang telah ditunjukkan Tuhan Yesus melalui pengorbanan-Nya
di Kayu Salib.
Pertanyaannya, mampukah umat Kristen/Gereja menjadikan
membangkitkan kesetiakawanan sosial dan jiwa pengorbanan di tengah kehidupan
sosial yang semakin egosentris? Sebagai orang percaya dan senantiasa mampu
meneladani Tuhan Yesus Kristus, tentunya tidak ada kata mustahil bagi umat
Kristen/Gereja untuk mengembangkan atau membangun kembali kesetiakawnan sosial
di tengah masyarakat kita.
Pemerintah Indonesia sendiri pun turut merasa penting
pengembangan kesetiakawnan sosial tersebut. Hal itu tercermin dari
kebijakan Pemerintah Republik Indonesia (RI) menetapkan Hari Kesetiakawanaan
Sosial Nasional setiap tanggal 20 Desember sejak Pemerintahan Orde Baru.
Sebelum dicanangkannya Hari Kesetiakawanan Sosial itu, Pemerintah RI
telah mencanangkan Hari Bakti Ssosial tahun 1948.
Adanya perhatian pemerintah itu juga menunjukkan bahwa
kesetiakawanan sosial merupakan hal yang sangat penting disemaikan kembali di
tengah kehidupan manusia, termasuk di lingkungan Gereja. Gereja dan umat
Kristen mampu menjadi pelopor kesetiakawanan sosial karena telah terlebih
dahulu mendapatkan kelepasan dari belenggu roh-roh ketakutan, kebodohan,
kemalasan dan berbagai kesulitan hidup berkat iman dan kepercayaan kepada Tuhan
Yesus Kristus.
Selain itu, umat Kristen harus lebih mampu menunjukkan
kesetiakwanan sosial sebagai teladan bagi masyaakat umumnya, sebab,
kesetiakawanan merupakan salah satu ciri kehidupan umat Kristen. Betapa
berkembang pun pembangunan fisik Gereja, betapa banyak pun kekayaan materi yang
dimiliki umat Kristen, hal itu tak akan berarti untuk menunjukkan kesaksian
terhadap Kasih Kristus jika tak disertai rasa kesetiakwanan sosial.
Landasan Iman
Firman Allah menjadi landasan iman bagi umat Kristen untuk
mengutamakan kesetiakawanan sosial dalam hidup ketimbang mengejar materi dalam
menjalani hidup ini. Sebagai makhluk sosial yang beragama, bermartabat dan
berhati nurani, setiap orang dituntut memiliki prinsip hidup homo homini
socius, yakni menganggap manusia adalah teman atau sahabat bagi sesama.
Prinsip hidup seperti ini mampu menjadi landasan bagi setiap orang untuk
mengasihi, memperdulikan dan menolong sesama.
Prinsip hidup seperti ini penting dikembangkan dalam gaya
hidup masyarakat sekarang dan di masa depan, termasuk di lingkungan Gereja
(umat Kristen) untuk menunjukkan/menyaksikan bahwa Allah yang dipercaya orang
Kristen memang penuh belas kasihan.
Tuhan Yesus sebagai Juru Selamat dan Teladan Hidup umat
Kristen dalam Mateus 5 : 42 mengatakan : “Berilah kepada orang yang meminta
kepadamu dan janganlah menolak orang yang mau meminjam padamu”.
Firman tersebut mengharapkan orang percaya (umat Kristen)
selalu hidup berbelas-kasihan. Kemudian dalam Yohannes 15 : 13disebutkan,
“Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan
nyawanya untuk sahabt-sahabatnya. Ayat ini mengingatkan orang percaya agar
senantiasa bersikap setia kawan dalam hidup ini. Sedangkan Galatia 6 : 2 menyebutkan
:“Bertolong-olonganlah menanggung bebanmu!” dan ayat 9 : “Janganlah kita
jemu-jemu berbuat baik…”.
Belas kasihan yang diharapkan Yesus Kristus tersebut
hendaknya dapat diwujudkan orang-orang percaya terhadap sesame tanpa memandang
muka, kelas sosial, suku, ras, agama dan antar kelompok (SARA). Belas kasihan
itu dapat dilakukan melalui kepedulian/kesetiakawanaan sosial. Kesetiakawanan
sosial ini tidakhanya dilaksanakan dengan memberikan sedekah kepada orang tidak
mampu seperti sering dilakukan di tengah masyarakat dan Gereja selama ini.
Kesetiakawanan sosial tersebut dapat dilakukan melalui
pemberian pertolongan kepada orang kurang mampu secara terencana dan
berkelanjutan hingga orang tersebut mampu menolong diri sendiri (to help
people to help them selves).
Pertolongan tersebut bukan hanya dari segi materi atau uang,
tetapi juga pertolongan berupa pemberian keterampilan, pendidikan,
perhatian/motivasi agar orang yang membutuhkan pertolongan tetap semangat
mengarungi hidup yang penuh tantangan ini.
Semoga melalui peringatan Jumat Agung dan Paskah kali ini,
umat Kristen/Gereja di mana pun berada semakin meningkatkan kesetiakawanan
sosial. Selamat Paskah.
Penghargaan:
St Radesman Saragih S.Sos
saat pegang Piala Anugerah Adinegoro Suara Pembaruan pada Puncak HPN 2012 di
Jambi.
|
(Penulis adalah
pemerhati sosial dan alumni Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung,
Jawa Barat, kini bekerja sebagai wartawan Harian Umum Suara Pembaruan Jakarta di Jambi./*/lee)
(Tulisan Ini Sudah Naik di Harian Jambi Edisi Cetak Senin 21 April 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar