Seloko
merupakan salah satu karya sejenis puisi, yang berisi betuah atau pesan dari
orang-orang terdahulu. Menyusul musik Krinok Jambi yang telah diakui sebagai
warisan nasional, seloko juga akan
diajukan sebagai warisan busaya tak benda nasional. Masyarakat Jambi khususnya
para seniman dan budayawan Jambi patut berbangga dengan banyaknya warisan
budaya Jambi, yang telah diakui sebagai warisan budaya tak benda oleh
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
ANDRI MUSTARI, Jambi
Musik asli Jambi yakni Krinok telah
mendapatkan penghargaan sebagai warisan budaya tak benda oleh Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) belum lama ini. Kemudian para seniman
dan budayawan akan mengajukan kembali salah satu warisan kebudayaan Jambi yakni
seloko, sebagai warisan budaya tak
benda nasional. Ini disampaikan Junaidi T Noor, Budayawan Jambi.
“Musik Krinok telah menjadi warisan tak
benda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Dan saat ini, kami akan
memperjuangkan, semoga tradisi seloko
ini juga mendapatkan sebuah penghargaan warisan budaya tak benda oleh
pemerintah pusat. Khususnya di bidang kebudayaan dan juga Lembaga Kebudayaan
Nasional Indonesia,” ungkapnya.
Untuk mencapai tujuan tersebut, banyak
langkah-langkah yang harus dilakukan oleh para seniman dan budayawan Jambi. Ini
dilakukan, untuk membuktikan bahwa, seloko
memang layak untuk dijadikan sebagai warisan budaya tak benda.
Menurut Junaidi, upaya yang dilakukan
tersebut
yakni, dengan mengumpulkan bukti-bukti tentang penerapan seloko di Jambi. Selanjutnya,
mempersiapkan naskah ilmiah tentang seloko
adat tersebut.
“Untuk mewujudkan itu, tentunya banyak
langkah-langkah yang dilakukan, untuk bisa mendapatkan penghargaan warisan
budaya tak benda. Diantaranya adalah mengumpulkan data-data, kajian-kajian dan
bukti-bukti tentang penerapan atau keberlakuan seloko ini di masyarakat. Yang kaitanya dengan tulisan dan
mempersiapakan naskah ilmiah tentang seloko,”
ujarnya.
Pendeta
China
Setiap daerah Melayu rata-rata memiliki
tardisi budaya seloko. Bahkan
dikatakan Junaidi, kawasan Pulau Jawa pun juga memiliki budaya seloko. Untuk Jambi sendiri menurutnya,
budaya seloko tersebut mulai
digunakan pada abad ketujuh Masehi.
“Seloko
Jambi telah ada pada abad ke tujuh. Awal mulanya, karena adanya pendeta China
yang bernama Pendeta Icing yang mendalami ajaran Buddha di kawasan Kerajaan
Hindu Buddha, yakni Candi Muarojambi. Itu dulu adalah tempat persinggahan
Pendeta muda Icing. Setelah itu, ia pun menulis itu dengan tulisan China.
Kemudian diterjemahkan oleh pendeta yang tinggal di Jambi ke terjemahan dalam
bentuk seloko. Terhitung kurang lebih
500 ribu seloko yang ditulis oleh
pendeta Jambi pada saat itu,” ungkapnya.
Dengan adanya seloko pada abad ke tujuh hingga saat ini, tradisi seloko masih sering digunakan oleh
masyarakat Jambi. Seloko ini
biasanya, digunakan dalam kegiatan-kegiatan tertentu. Salah satunya adalah pada
acara pernikahan.
“Abad ketujuh, seloko sudah ada di Jambi dan sampai saat ini, seloko itu masih dipergunakan. Seloko
yang sering ditemui adalah pada saat tunjuk ajar, acara-acara adat dan
acara-acara pernikahan. Masyarakat Jambi selayaknya menggunakan seloko adat tersebut untuk
kegiatan-kegiatan tertentu. Apalagi, kalau ini sudah disahkan. Memang tidak ada
sanksi khusus, paling hanya sanksi sosial,” ujarnya.
Ramah
dan Beretika
Dalam melestarikan budaya dan tradisi
Melayu Jambi, harus adanya keterlibatan aktif antara seniman dan pemerintah,
begitu juga dengan masyarakat itu sendiri. Dikatakan Azrai Al Basyari, Ketua Lembaga Adat Kota Jambi bahwa,
untuk membawa seloko pada pengakuan
nasional, harus mendapat dorongan dan dukungan dari masyarakat, agar pengajuan
pengakuan tersebut bias terealisasi.
Azrai Al Basyari |
“Harus adanya sebuh kerjasama dalam
melestarikan budaya tradisi Melayu Jambi. Salah satu contoh adalah dengan
diajukannya seloko ini sebagai
warisan tak benda nasional. Hal ini memerlukan sebuah dorongan oleh berbagai
pihak, agar apa yang dicita-citakan dapat terwujud,” katanya.
Dengan adanya upaya seloko ini untuk dijadikan sebagai warisan budaya tak benda, bisa
memberikan motivasi kepada masyarakat Jambi, khususnya para generasi muda, akan
pemahaman tentang budaya Jambi. Salah satunya adalah seloko.
Senada apa yang disampaikan oleh Junadi
T Noor, Azrai Al Basyari juga
menambahlan bahwa, seloko adat
merupakan bahasa komunikasi yang diterapkan di kalangan masyarakat Melayu
Jambi, khususnya masyarakat adat. Mereka terbiasa menyelesaikan sebuah
perbincangan menggunakan seloko.
Menyampaikan sesuatu hal dengan seloko
dan menyudahi hal tersebut dengan seloko
pula.
Dalam penyampaian seloko, identik dengan keramahan dan bahasa-bahasa yang penuh
dengan etika. Sehingga, masyarakat adat dalam berbahasa terlihat lebih santun
dan ramah. “Seloko itu cara
berkomunikasi yang sangat baik dilakukan. Yang mana, seloko identik dengan keramahan dan etika yang mampu menggugah hati
seseorang. Dengan demikian, orang yang menyampaikan akan baik begitu juga orang
yang menerima pun akan baik,” ujar Azrai Al
Basyari.
Masa
Lampau
Dengan perkembangan zaman saat ini, seloko hanya dilakukan pada momen-momen
tertentu saja. Ketika ditanya mengapa tidak diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari, ia mengatakan bahwa, hal tersebutlah yang membedakan kebiasaan
masyarakat Jambi zaman dulu dengan zaman sekarang.
“Terdahulu, masyarakat adat
berkomunikasi lebih cenderung kepada seloko.
Akan tetapi pada zaman sekarang ini, bahasa luar yang lebih diprioritaskan.
Sehingga dampaknya kepada anak-anak generasi muda yang tidak mengerti apa yang
menjadi identitas kita sendiri. Akan tetapi, peranan masyarakat adat saat ini
selalu berupaya dan berusaha untuk bisa mengembalikan kebudayaan tradisi, agar
selalu dapat dikembangkan dan dilestarikan. Salah satu contohnya adalah adanya
upaya untuk menjadikan seloko, menjadi
warisan budaya tak benda nasional,” ujarnya.(*/lee)
***
Kiblat
Pandangan Hidup Masyarakat Jambi
Junaidi T Noor |
Seloko
adat Jambi merupakan sebuah karya, yang mencerminkan kiblat dan pandangan hidup
masyarakat Jambi. Dengan bahasa yang santun dan beretika, penggunaan seloko bertujuan untuk bisa berkomunikasi
dengan baik. Ini disampaikan Azrai Al Basyari, Ketua Lembaga Adat Kota Jambi.
Beberapa seloko yang disebut sebagai cerminan pandangan hidup masyarakat
Jambi diantaranya, di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung, di mana
tembilang dicacak di situ tanaman tumbuh, di mana rantang dipadah di situ
aeknyo besaroh, di mana meranti rebah di situ pulo danau beserah, di mana
periuk pecah di situ pulo itingkat tingga.
“Itu seloko
yang bertujuan baik, untuk bisa berkomunikasi dengan baik pula,” ujarnya.
Selanjutnya, seloko juga dipergunakan untuk mempersatukan semua perbedaan yang
ada di dalam kehidupan bermasyarakat. Saat ini, adanya perbedaan kerap
menyebabkan adanya sebuah pertikaian, yang sering terjadi di kalangan
masyarakat. Dan di saat seperti inilah seloko
difungsikan. Agar, keduanya bias saling berkomunikasi dengan baik untuk
menyelesaikan pertikaian tersebut.
“Seloko
itu berfungsi untuk menyatukan sebuah perbedaan, agar tidak ada lagi sebuah
permasalahan yang terjadi. Seloko
mampu memberikan solusi dengan cara menyelesaikan permasalahan secara
bermusayawarah dan berkomunikasi yang baik pula dan inilah fungsi seloko,”
tegasnya.
Yang membedakan seloko Jambi dengan seloko
daerah lain adalah bunyi seloko-nya.
Kedua, orang yang menyampaikannya dan yang ketiga dari bahasa seloko-nya. Walupun daerah lain seperti
Sumatera Barat, Riau juga memiliki banyak seloko,
perbedaan dengan seloko Jambi sangat
terlihat.
“Seloko Jambi sangat berbeda dengan seloko-seloko yang ada di Sumbar maupun
di Riau. Perbedaanya adalah dari segi bunyi seloko-nya,
kedua orang yang menyampaikan dan yang ketiga adalah bahasanya,” lanjutnya.
Dalam pelestarian budaya tradisi seloko, Junaidi T Noor, Budayawan Jambi
berharap, adanya sebuah kerjasama yang baik antara masyarakat adat dan
pemerintah. Selanjunya, harus adanya sosialisasi kepada masyarakat akan
pentingnya memahami seloko.
“Harus adanya peranan dari masyarakat
adat, lembaga adat, budayawan dan instansi pemerintah yang terkait. Harus mampu
memberikan pemahaman kepada masyarakat luas tentang manfaat mengetahui seloko,” katanya.
Dengan itu juga, semoga ke depan
pemerintah daerah membuat sebuah regulasi tentang budaya Jambi, yang dimasukkan
ke dalam Muatan Lokal. Sehingga dari bangku sekolah, kebudayaan, tradisi dan
adat-istiadat Jambi bisa diketahui oleh para generasi muda. Dan semoga seloko dalam tahun ini bisa dijadikan
sebagai warisan budaya tak benda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Menanggapi hal tersebut, Azrai
mengatakan bahwa secara kelembagaan, ia sebagai Ketua Lembaga Adat Kota Jambi,
telah berupaya untuk melakukan hal tersebut. “Secara pribadi pun saya telah
membentuk sebuah kelompok yang setiap malam Rabu-nya, selalu melakukan
pelatihan bagaiman ber-seloko dan
berdiskusi tentang kebudayaan, adat-istiadat dan tradisi Jambi, yang harus
dilestarikan,” ungkapnya.
Azrai Al Basyarai yang mempunyai gelar
Depati Setyo ini, telah mendirikan sebuah perkumpulan yang diberi nama Depati
Setyo. Ini telah berdiri sejak tahun 2009. Komunitas tersebut didirikannya,
sebagai wadah diskusi para tokoh agama, tokoh adat dan tokoh masyarakat, yang
akan membahas permasalahan kebudayaan di setiap malam rabu.
“Salah satu latar belakang kelompok ini
saya dirikan, karena banyaknya pengaduan masyarakat dan juga banyaknya
masyarakat Jambi, yang tidak memahami budaya. Salah satunya adalah ber-seloko yang selalu digunakan pada waktu
melangsungkan pernikahan. Oleh karena itu, perkumpulan Depati Setyo ini kami
dirikan,” ungkapnya.(ams/lee) (Harian Jambi Edisi Cetak Jumat Pagi 25 April 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar