Alasan Sakit. Itulah jurus ampuh para koruptor untuk mendapatkan
penangguhan penahanan. Ada saja memang cara para pelaku koruptor untuk
mendapatkan pengalihan penangguhan penahanan. Dengan bermodalkan surat
keterangan sakit dari dokter, kerap modus para koruptor untuk menghindari jeruji besi. Padahal
sebelumnya, tidak pernah tersiar bahwa koruptor yang bersangkutan pernah
megidap penyakit yang dianggap fatal.
DONI SAPUTRA, Jambi
Surat keterangan sakit dari dokter selayaknya diberikan kepada dokter
independen. Dokter independen dalam hal ini adalah dokter yang telah disediakan
terlebih dahulu oleh penegak hukum. Ini perlu, sebagai antisipasi agar tidak
terjadi manipulasi atas keterangan yang diberikan.
Kejadian seperti ini sering terjadi, baik pada tahanan kota maupun
tahanan rumahan. Dalam hal ini, mereka mendapatkan penangguhan penahanan atas
keterangan sakit yang diberikan oleh dokter. Dalam surat keterangan tersebut
dijelaskan, bahwa tahanan yang bersangkutan, sedang menderita sakit dan perlu
diberikan perhatian medis secara intensif. Dengan mempertimbangkan keselamatan
nyawa tahanan, penangguhan pun diberikan.
Terkait hal tersebut, Arpa’i, pakar hukum Universitas Jambi menjelaskan,
bahwa terdapat tiga aspek penting yang harus diperhatikan, untuk dapat
memberikan penangguhan penahanan pada seseorang.
Pertama, yakni dari
sadar kemanusiaan (analisa alamiah). Yang
memang dalam kondisi tertentu, ada
mendapatkan suatu tekanan di dalam diri, setelah
mengetahui bahwa dirinya tersandung suatu kasus.
Kedua, dilihat dari sisi penegakan hukum. Dalam
hal ini, seorang koruptor harus memperkuat
regulasi terkait pembuktian sakit yang dideritanya.
“Untuk yang
pura-pura sakit ini, seharusnya ada dokter independen untuk memperkuat
regulasinya,” katanya.
Ketiga, berkaitan dengan
proses penegakan hukum yang harus dalam dan jelas. Menurutnya, hal ini harus dikawal secara khusus. “Harus
memang ada dokter yang benar-benar independen. Kemudian dikawal oleh penagak hukum,” ujarnya.
Arpa’i menjelaskan, untuk mengantisipasi terjadinya manipulasi
keterangan sakit yang diberikan tersebut, penegak hukum sebaiknya menyediakan
dokter ahli yang memang teruji independensinya. Selanjutnya, hal ini juga harus
mendapatkan pengawasan khusus dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
“Hal itu yang
paling penting yang harus ditekankan. Karena
bisa saja seorang koruptor tersebut berpura-pura sakit. Tetapi dengan adanya
perlakuan seperti ini, kemungkinan
kepura-puraan dari koruptor tersebut tidak akan bisa terjadi,” ujarnya.
Terkait dengan proses pengalihan penahan ini Arpa’i mengatakan, harus ada perhatian dan pertimbangan khusus yang
diberikan. Karena menurutnya, untuk pengalihan penangguhan penahanan di
Provinsi Jambi, masih sangat mudah didapatkan.
“Di Jambi ini, terlihat sangat gampang sekali mendapatkan pengalihan
penahanan. Ini harus diperhatikan, bahwa proses ini tidak terlalu dalam
dianalisa. Karena terlihat mudah seseorang untuk
mendapatkan pengalihan penahanan,” ujarnya.
Menghilangkan Barang Bukti
Menurutnya,
dalam pemberian pengalihan penahanan, seseorang
seharusnya benar-benar diyakini akan kooperatif
dalam menjalani proses hukum. Namun, hal ini
menjadi sangat riskan ketika pengalihan yang didapat tersebut, digunakan
sebagai langkah untuk menghilangkan barang bukti.
“Seorang kepala
dinas yang tersandung kasus korupsi, bisa saja mereka menekan seseorang yang
akan dijadikan saksi agar menutupi terkait kasus dirinya,”
jelas Arpa’i.
Ditegaskan, bahwa seharusnya
seorang koruptor tidak layak untuk diberikan penangguhan penahan. Dalam artian,
dialihkan menjadi tahanan kota maupun tahanan rumah. Karena pada dasarnya, koruptor tersebut adalah orang-orang hebat yang memiliki
jaringan yang luas. Berbeda dengan pencuri ayam, yang tidak mempunyai jaringan
smaa sekali dan memilih pasrah.
“Ada akses
mereka, di luar bisa bertemu dengan orang. Kalaupun sakit harus ada penjagaan
dari aparat penegak hukum. Melakukan pidana luar biasa itu,
dilakukan oleh orang yang luar biasa dan harus ditindak dengan hukum secara
luar biasa,” tegas Arpa’i.
Sesuai Prosedur
Menurut salah
satu penyidik Kejaksaan Tinggi Jambi saat dikonfirmasi Harian Jambi, yang enggan disebutkan namanya, bahwa untuk mengetahui
seseorang sakit atau tidak, hanya bisa dinilai oleh dokter yang memang
benar-benar ahli dalam penyakit yang diderita, oleh
tersangka atau terdakwa yang mengajukan permohonan tersebut. Selanjutnya, sakitnya seseorang tersebut kemungkinan besar,
disebabkan oleh faktor psikis atau beban pikiran,
karena telah terbiasa dengan hidup dengan santai
dan serba mewah. Menurutnya, hal tersebut telah dilakukan sesuai
prosedur.
“Kita tidak bisa nilai, itu dokter yang
menilai. Jika sudah dikatakan oleh dokter sakit, ya kita harus bantarkan.
Kita dari pihak kejaksaan juga tidak mau untuk mengambil risiko
jika terjadi hal yang tidak diinginkan. Misalnya tahanan kita meninggal dunia,”
ujarnya.
Diungkapkannya juga,
bahwa kemungkinan hal tersebut bisa dijadikan alasan karena mereka tidak
mempunyai jalan lain untuk mendapatkan penangguhan penahanan. Tetapi
berdasarkan pengalaman sebelumnya, bahwa keterangan dokter yang mereka sediakan
dengan dokter yang kita tunjuk, keterangannya tidak berbeda dan rata-rata sama.
“Ya seperti itulah sekarang ini, tinggal kita saja yang was-was
dengan itu,” jelasnya.(*/poy)
----------------------------------------
Tersangka Punya Hak
Mendapatkan Penangguhan
Pada dasarnya, setiap tersangka yang tersandung kasus korupsi tersebut, memiliki
hak untuk mengajukan pengajuan penangguhan penahanan. Hal tersebut telah diatur
di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), bahwa setiap tersangaka
memiliki hak untuk mengajukan penangguhan penahanan. Hal ini disampaikan Sahuri
Lesmana, pakar hukum Universitas Jambi.
“Penangguhan
penahanan yang diajukan tersangka apakah ditangguhkan atau tidak itu tinggal
pertimbangan polisi, penyidik dan jaksa,” ujarnya.
Ia mengatakan,
bahwa penyidik
juga harus mempunyai alasan apabila tidak mengabulkan penangguhan penahanan
yang diajukan tersangka.
“Penyidik
harus punya pertimbangan apabila penangguhan penahan tidak dikabulkan,
pertimbangannya penyidik harus mempercepat proses penyidikannya,” ujarnya.
Terkait surat
keterangan dokter yang kerap digunakan tersangka korupsi ini, ia mengatakan
bahwa perlu disiapkan dokter khusus dari pihak penyidik. Ini dilakukan, untuk
meminimalisisr terjadinya kecurangan.
“Apabila
hanya pihak tersangka yang mempersiapkan dokter, sangat besar kemungkinan
kecurangan akan terjadi. Bisa saja seorang dokter dibayar oleh yang berkaitan,"
tandasnya.
Senada dengan
hal tersebut, Sukanto Sutoto, yang juga merupakan pakar hukum Universitas Jambi
mengatakan, bahwa permohonan penangguhan tersebut merupakan hak dari terdakwa
atau tersangka yang telah ditahan. Kemudian dalam hal ini,
Jaksa harus tetap mempersiapkan dokter ahli yang memang benar independensinya
telah teruji untuk memeriksa kesehatan si pemohon tersebut agar jelas
permasalahan yang dikeluhkannya.
“Iya benar, harus ada dokter independen
juga itu,” ujarnya.
Menurutnya, setelah diberikan pengalihan
dan penangguhan tersebut, pihak kejaksaan harus memantau kondisi
koruptor tersebut. Baik di rumah sakit atau di rumah
pribadinya. Hal ini digunakan untuk melihat apakah mereka benar-benar sakit
atau hanya pura-pura sakit.
“Harus memantau, kondisi kesehatan dari
tersangka. Bagaimana perkembangannya, jika sudah sehat ya ditahan kembali,”
jelasnya.(nui/poy)
------------------------------------
Contoh Kasus Jurus Sakit Para Koruptor
Berdasarkan
pantauan Harian Jambi, terdapat beberapa kasus dari tersangka korupsi, yang
mendapatkan pengalihan penangguhan penahanan, dengan alasan sakit. Alasan sakit
ini diperkuat, dengan adanya surat keterangan dari dokter.
Muchtar Muis
Berawal dari mantan Wakil Bupati Muarojambi
Muchtar Muis, terpidana kasus korupsi proyek pengadaan Pembangkit Listrik
Tenaga Diesel (PLTD), di Unit 22
Sungai Bahar Kabupaten Muarojambi. Kasus ini merugikan negara senilai Rp 4
miliar. Dalam hal ini, masyarakat
tidak dapat menikmati manfaatnya.
Dalam proses
persidangannya, terpidana Muchtar Muis sangat banyak memakan waktu. Sidang perdana
Muchtar Muis digelar pada Rabu 14 Desember 2011. Namun
dikarenakan terpidana mengidap sakit jantung, ia tidak dapat
mengikuti atau melanjutkan persidangan. Kemudian sidang terpaksa ditunda.
Akhirnya, mantan politisi Partai Amanat Nasional (PAN) tersebut divonis oleh Majelis Hakim
Tipikor, yang juga diketuai oleh Eliwarti pada Kamis 18 November 2013, di Pengadilan
Negeri (PN) Jambi. Dengan hukuman pidana penjara selama empat tahun dan denda sebesar Rp 200
juta.
"Mengadili, menyatakan terbukti secara sah dan
meyakinkan melakukan tindak pidana secara bersama-sama. Menjatuhkan pidana selama
4 tahun, denda Rp 200 juta. Jika tidak mampu membayar dikenakan
pidana kurungan penjara selama 3 bulan," kata Ketua Majelis Hakim dalam persidangan pada Kamis 21 November 2013.
Disisi lain,
dalam pembacaan vonis tersebut, terdakwa Muchtar Muis tidak hadir. Menurut
informasi, terpidana Muchtar Muis sedang dalam keadaan sakit dan berobat ke
Jakarta. Sidang tersebut hanya diwakili kuasa hukumnya, Rusli.
Hukuman pidana
penjara yang diberikan oleh Majelis Hakim juga lebih ringan dari tuntutan Jaksa
Penutut Umum (JPU) sebelumnya, yakni dituntut 4 tahun 6 bulan penjara, dipotong masa tahanan.
JPU mengenakan terdakwa dengan Pasal 2 ayat (1) dan subsidair Pasal 3 jo Pasal 18
Undang-Undang Nomor 31/1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagaimana diubah
dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20/2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke (1)
KUHP, memperkaya diri sendiri, dan merugikan negara.
Arifien
Manap
Kasus lainnya, yakni
terpidana
mantan Walikota Jambi Arifien
Manap, terkait kasus korupsi pengadaan dua
mobil Pemadam Kebakaran Kota Jambi pada tahun 2004. Yang merugikan negara
sebesar Rp 1,3 miliar.
Dalam proses pembuktian hukum di persidangan, sempat beberapa kali
ditunda oleh Majelis Hakim atas permintaan penasehat hukumnya, dengan alasan
bahwa mantan orang nomor satu di Kota Jambi ini tidak bisa mengikuti jalannya
persidangan, dikarenakan menderita sakit empedu dan
liver.
Namun pada akhirnya,
pada Jumat 3 Mei 2013 lalu, Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang
diketuai oleh Eliwarti memberikan hukuman pidana penjara (vonis) selama 1 tahun
3 bulan dan denda Rp 50 juta. Dengan
subsidair, jika tidak mampu membayar denda maka
akan tahan selama 2 bulan pidana penjara, kepada
terpidana mantan Walikota
Jambi dua periode, Arifin Manap.
Namun vonis yang dijatuhkan oleh majelis
hakim pada waktu itu, lebih ringan empat bulan
dibandingkan dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU), yang menuntutnya selama
19 bulan pidana penjara.
Berdasarkan
dakwaan yang dikenakan kepadanya, yakni Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Nomor
31/1999 tentang Tipikor, sebagaimana diubah dengan
Undang-Undang
Nomor 20 tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke (1) KUHP, tentang Tindak Pidana
Korupsi.
Kemas Arsyad Somad
Selanjutnya,
kasus perkara korupsi dana Program Studi Pendidikan Dokter (PSPD) Universitas
Jambi (Unja) tahun 2006-2009, dengan kerugian
negara Rp 1 miliar lebih. Yang menyeret nama mantan
Rektor Universitas Jambi Kemas Arsyad Somad dan mantan Bendahara
Program Studi Pendidikan Dokter (PSPD) Universitas Jambi (Unja) Eliyanti.
Kedua mantan orang yang dianggap penting
di Unja ini, juga beralasan sakit untuk mendapatkan
penangguhan penahanan saat dalam proses persidangan. Pada Kamis 2 Mei 2013, terpidana Kemas
Arsyad Somad diberikan pengalihan penahanan oleh Majelis Hakim, dengan
alasan terpidana mengidap sakit jantung koroner.
Sedangkan Eliyanti, mengidap sakit Vertigo. Pada akhirnya,
tepatnya Selasa 23 Juli 2013 masing-masing divonis oleh Majelis Hakim Tipikor
PN Jambi yang diketuai oleh Suprawobo selama 1 tahun 1 bulan, pidana
penjara dan denda sebesar Rp 50 juta. Dengan subsidair 2 bulan penjara. Selain
itu, diwajibkan juga membayar denda sebesar Rp 600 juta.
AM Firdaus
Belum lama kasus paling panas se-Provinsi Jambi ini
mem-booming. Salah satu tersangka
yang berkasnya sudah dilimpahkan ke Pengadilan Negeri (PN) Jambi, Yakni mantan Ketua
Gerakan Kwartir Daerah (Kwarda) Pramuka Jambi periode 2009-2011 AM Firdaus. Ia juga
mengajukan permohonan izin berobat ke rumah sakit Siloam, melalui penasehat
hukumnya. Karena mengidap sakit jantung dan pinggang kepada
Majelis Hakim Tipikor, yang
diketuai oleh Eliwarti, seusai sidang pada Selasa 17
Desember 2013 lalu.
Namun permohonan tersebut belum
diindahkan oleh Majelis Hakim. Karena
belum mendapat atau menerima konfirmasi dari pihak Lembaga Pemasyarakatan
(Lapas) Klas II A Jambi. Dikatakan oleh penasehat hukum terdakwa, bahwa pihak
pengadilan belum menerima surat rujukan dari dokter Lapas Klas II A Jambi.
"Belum ado izin dari hakim, masih menunggu surat rujukan dari Lapas,"
ungkap Ramli Taha saat dihubungi melalui ponsel miliknya beberapa waktu lalu.
Sepdinal
Selain terdakwa AM Firdaus, masih
dalam perkara yang sama, yakni tersangkan mantan Kepala Dinas (Kadis) Peternakan
dan Kesehatan Hewan Provinsi Jambi Ir Sepdinal. Ia juga
memohon kepada pihak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jambi,
untuk memberikan izin berobat dan kemudian berharap mendapatkan pengalihan penahanan
dengan alasan yang sama, namun penyakitnya saja yang berbeda.
Ir Sepdinal yang juga merupakan
bendahara Gerakan Kwarda Pramuka Provinsi Jambi periode 2009-2011 dan 2011-2013
mengidap sakit ginjal. Hal ini dikatakan oleh Sahlan selaku penasehat hukumnya
mengatakan bahwa surat tersebut sudah berikan kepada pihak penyidik pada Rabu
18 Desember 2013 lalu. "Sakitnya, baru-baru ini, hampir bersamaan dengan
masa habis penahanan," katanya.
Namun permohonan tersebut belum
diketahui apakah diterima atau tidak oleh pihak kejaksaan. Menurut informasi
terpercaya yang dihimpun Harian Jambi
dari penyidik Kejati Jambi, yang tidak mau
disebutkan namanya, bahwa pihak kejaksaan masih menelaah dan mengkroscek
terlebih dahulu terkait permohonan tersebut. "Kita telaah dulu, Sepdinal
hanya mengidap penyakit nyeri tulang dan sakit pinggang," ujarnya.
Untuk diketahui bahwa sebelumnya,
terdakwa AM Firdaus juga merupakan mantan
Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Jambi.
Tersangkut kasus ini atas jabatannya sebagai Ketua Kwarda Pramuka
Jambi periode tahun 2009-2011.
Sedangkan Ir Sepdinal, selain sebagai Bendahara
Kwarda Pramuka Jambi, juga menjabat sebagai Kepala
Dinas Peternakan Provinsi Jambi. Mereka diduga menyalahgunakan dana bagi hasil
antara Kwarda Pramuka Jambi dengan PT Inti Indosawit Subur (IIS), yang dalam
perjanjiannya 30 persen untuk Kwarda Pramuka dan 70 persen untuk PT ISS.
Berdasarkan audit BPKP ditemukan kerugian negara senilai Rp 1,5 miliar.(nui/poy) (BERITA INI SUDAH
NAIK CETAK DI HARIAN JAMBI EDISI CETAK PAGI 8 JANUARI 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar