Foto: Chaidir Anwar T/detikcom
Pekanbaru - Siang itu, sebuah papan
tulis kecil diletakkan di gundukan tanah di bawah rindangnya hutan
belantara Taman Nasional Bukit Dua Belas, Sorolangun, Provinsi Jambi.
Seorang anak Rimba, Beteguh (14) mencoba memposisikan diri sebagai guru
bagi anak-anak di komunitasnya.
"Oi..Bebudak mari bepelojoran," suara suara ajakan itu disampaikan Beteguh bagi 6 orang 'murid' yang usianya setara dengannya.
Semangat menuntut ilmu itu disambut antusias anak-anak Rimba. Mereka belajar dengan hanya mengenakan kain yang melilit alat kelaminnya atau dalam bahasa setempat disebut cawot. Mereka bertelanjang dada di tengah hutan belantara ditemani kicauan burung dan teriakan siamang.
Sang guru, Beteguh, menuliskan angka di papan tulis yang sederhana itu. Murid-muridnya mengeluarkan buku tulis serta pensil. Alas tanah menjadi lantai 'sekolah' mereka.
Dengan cekatan, Beteguh menulis angka dan mengajarkan anak rimba melafalkan huruf dan angka. Ia meminta anak-anak menyebutkan kembali nama-nama angka yang ditunjuknya. "Nio huruy apo??" (ini angka berapa?)," tanya Beteguh menunjuk angka 3.
Dengan cepat, murid-muridnya berebutan menyebut angka 3. Tapi ada juga yang menyebutnya angka 4. "Kalau mirip burung terbang, itu angka tiga," kata Betuguh kepada muridnya.
Seperti itulah carai Beteguh mengenalkan angka dan huruf kepada anak-anak Rimba. Enam muridnya belajar dengan tekun. Mereka merupakan bagian dari 1.700 jiwa suku Rimba yang menetap di Bukit Dua Belas, Sorolangun, Jambi.
Rintangan dan kondisi sulit tak menyurutkan langkah Beteguh. Tak kurang dari 50 orang anak rimba menjadi anak didiknya. Mereka tersebar di berbagai kelompok di Bukit Dua Belas, seperti kelompok orang Rimba di Sungai Gemuruh, Sungai Punti Kayu, Sungai Tengkuyungon, Tanah Kepayong, Pisang Krayak, dan Nuaron Godong.
Jarak antar kelompok berjauhan, hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama 1 - 3 jam perjalanan. Namun Beteguh dengan senang hati melakukannya. Karena ia ingin tak ada lagi anak-anak Rimba yang buta aksara. Juga, tak ada anak-anak Rimba yang dengan mudah ditipu hanya karena tak mengerti huruf dan angka.
Beteguh yang merupakan putra dari Mangku Basemen ini mengaku awalnya sempat malu dan takut untuk ikut belajar. "Kalau ada Ibu Guru datang, akeh lari, malu.. tapi akeh perlahan mulai diajak samo guru Warsi, kamudian akeh tokang baca tulis hitung (saya pintar baca tulis dan hitung) dan akeh dimasukkan ke SD dan kini SMP," sebut remaja yang bercita-cita untuk menjadi peneliti ini.
Bagi komunitas Rimba, sekolah dianggap budaya luar yang tidak lazim untuk diikuti. Pendidikan masih dicap sebagai budaya yang akan merusak tatanan budaya dan keyakinan mereka. Namun demikian, lewat pendampingan LSM Warung Informasi (Warsi), keyakinan mereka luluh. Dunia pendidikan mulai diminati anak-anak Rimba yang hidup bergantung pada kemurahan alam.
"Seiring kian tingginya interaksi dengan orang terang (sebutan orang rimba untuk masyarakat di luar komunitas mereka) pendidikan baca tulis dan hitung dianggap menjadi kebutuhan," ujar Manager Komunikasi KKI Warsi, Rudi Syaf, kepada detikcom.
Sejak 1998, KKI Warsi memperkenalkan pendidikan alternatif. Konsepnya disesuaikan dengan adat dan budaya. Materinya seputar baca tulis dan hitung (calistung).
Dengan keterbatasan staf fasilitator, Warsi kemudian mengembangkan kader-kader pendidikan, yaitu orang Rimba yang mempunyai kemampuan lebih untuk mengajar. Salah satu kader pendidikan itu adalah Beteguh. Ia aktif sejak 2010 silam.
Beteguh yang kini tercatat sebagai siswa kelas VIII SMP 12 Satu Atap Sarolangun, awalnya merupakan peserta pendidikan alternatif Warsi sejak 2006 lalu. Pada 2011, Beteguh diikutkan ujian persamaan di SD 191 Pematang Kabau, Sarolangun.
Tugas Beteguh sebagai kader pendidikan adalah mengajar anak-anak rimba lainnya yang tersebar di sejumlah kelompok baca tulis dan hitung. "Sebenarnya ada 6 anak Rimba yang kini duduk di SMP kelas dua. Namun di antara mereka yang paling rajin untuk berbagai ilmu itu Beteguh. Dia tanpa kenal lelah, setiap libur sekolah, bertugas menjadi guru di komunitasnya," kata Rudi Syaf.
Awalnya, Beteguh dan 6 anak Rimba hanya belajar selama 3 hari. Selanjutnya libur 4 hari. Sang guru datang mengajar di sekretariat Warsi di pintu masuk TN Bukit Dua Belas. Namun kini ketika sudah tercatat sebagai siswa reguler, Beteguh belajar 2 minggu di sekolahnya, dan 2 minggu berikutnya, ia masuk ke dalam rimba untuk mengajar anak-anak rimba.
"Kami belajar huruy (huruf) dan angka supaya kami tidak dipaloloi (dibodohi) orang. Supaya hutan rimba tempat kami hidup terpelihara dengan baik. Sebab hutan rimba inilah sumber penghidupan kami," sebut anak ketiga dari 7 bersaudara ini.
Terasa aneh memang, dua pekan sekolah dua pekan lagi libur. Tapi itulah dispenisasi yang diberikan pihak sekolah untuk anak-anak Rimba. Selama sekolah, mereka mondok di sekretariat Warsi yang jaraknya hanya sekitar 2 km dari sekolah SMP-nya.
Di kantor Warsi itulah, Beteguh sang guru cilik itu, dengan tekun belajar. Nanti setelah dua pekan, dia akan kembali bersama 5 temannya lagi ke dalam hutan yang mereka harus tempuh berjalan kaki selama 7 jam.
Mereka kembali bergumul dengan belantara sembari membantu orangtuanya menyadap karet. Ketika kembali ke hutan, segala pakaian yang selama ini mereka kenakan, seperti, baju, celana panjang, semuanya mereka lepas. Celana cawot kembali dikenakan sebagai anak Rimba.
"Kata mereka lebih enak pakai cawot, terasa dingin dan mudah beraktivitas di hutan. Mereka juga tidak mudah beradaptasi dari lingkungan yang asri tiba-tiba hidup sebagaimana kebanyakan orang. Itu sebabnya dengan berbagai pertimbangan, pihak sekolah tidak menyamakan mereka sebagaimana murid lainnya," kata Humas Warsi, Reni, kepada detikcom.(Detik.Com)
Jika anak Rimba dipaksa sekolah, dikhawatirkan mereka tidak akan bersekolah lagi. Pun demikian, bukan berarti anak-anak Rimba ini ketika ujian mendapat soal yang berbeda. Setiap ujian kenaikan kelas atau ujian nasional, mereka tetap mendapatkan soal yang sama seperti siswa lainnya.
Dengan belajar calistung, paling tidak orang rimba sudah mulai tahu setiap surat yang disodorkan ke mereka. Ini juga yang menjadi misi Beteguh dan kader guru rimba lainnya, membebaskan anak-anak rimba dari buta aksara.
"Untuk saat ini, mengajak seluruh anak rimba ke sekolah formal masih belum menjadi solusi. Selain beban mata pelajaran di sekolah formal, pola sekolah yang sehari-hari mengharuskan anak-anak masuk kelas menyulitkan anak-anak rimba," jelas Reni.
Harapan melepaskan belenggu buta aksara anak-anak Rimba kini salah satunya berada di pundak Beteguh. Beteguh bermimpi bisa menjadi Ki Hadjar Dewantara, tokoh pendidikan yang tanggal kelahirannya, yakni 2 Mei, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Meski satu sisi, Beteguh sendiri belum mengenal siapa sosok Pahlawan Nasional itu.
"Oi..Bebudak mari bepelojoran," suara suara ajakan itu disampaikan Beteguh bagi 6 orang 'murid' yang usianya setara dengannya.
Semangat menuntut ilmu itu disambut antusias anak-anak Rimba. Mereka belajar dengan hanya mengenakan kain yang melilit alat kelaminnya atau dalam bahasa setempat disebut cawot. Mereka bertelanjang dada di tengah hutan belantara ditemani kicauan burung dan teriakan siamang.
Sang guru, Beteguh, menuliskan angka di papan tulis yang sederhana itu. Murid-muridnya mengeluarkan buku tulis serta pensil. Alas tanah menjadi lantai 'sekolah' mereka.
Dengan cekatan, Beteguh menulis angka dan mengajarkan anak rimba melafalkan huruf dan angka. Ia meminta anak-anak menyebutkan kembali nama-nama angka yang ditunjuknya. "Nio huruy apo??" (ini angka berapa?)," tanya Beteguh menunjuk angka 3.
Dengan cepat, murid-muridnya berebutan menyebut angka 3. Tapi ada juga yang menyebutnya angka 4. "Kalau mirip burung terbang, itu angka tiga," kata Betuguh kepada muridnya.
Seperti itulah carai Beteguh mengenalkan angka dan huruf kepada anak-anak Rimba. Enam muridnya belajar dengan tekun. Mereka merupakan bagian dari 1.700 jiwa suku Rimba yang menetap di Bukit Dua Belas, Sorolangun, Jambi.
Rintangan dan kondisi sulit tak menyurutkan langkah Beteguh. Tak kurang dari 50 orang anak rimba menjadi anak didiknya. Mereka tersebar di berbagai kelompok di Bukit Dua Belas, seperti kelompok orang Rimba di Sungai Gemuruh, Sungai Punti Kayu, Sungai Tengkuyungon, Tanah Kepayong, Pisang Krayak, dan Nuaron Godong.
Jarak antar kelompok berjauhan, hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama 1 - 3 jam perjalanan. Namun Beteguh dengan senang hati melakukannya. Karena ia ingin tak ada lagi anak-anak Rimba yang buta aksara. Juga, tak ada anak-anak Rimba yang dengan mudah ditipu hanya karena tak mengerti huruf dan angka.
Beteguh yang merupakan putra dari Mangku Basemen ini mengaku awalnya sempat malu dan takut untuk ikut belajar. "Kalau ada Ibu Guru datang, akeh lari, malu.. tapi akeh perlahan mulai diajak samo guru Warsi, kamudian akeh tokang baca tulis hitung (saya pintar baca tulis dan hitung) dan akeh dimasukkan ke SD dan kini SMP," sebut remaja yang bercita-cita untuk menjadi peneliti ini.
Bagi komunitas Rimba, sekolah dianggap budaya luar yang tidak lazim untuk diikuti. Pendidikan masih dicap sebagai budaya yang akan merusak tatanan budaya dan keyakinan mereka. Namun demikian, lewat pendampingan LSM Warung Informasi (Warsi), keyakinan mereka luluh. Dunia pendidikan mulai diminati anak-anak Rimba yang hidup bergantung pada kemurahan alam.
"Seiring kian tingginya interaksi dengan orang terang (sebutan orang rimba untuk masyarakat di luar komunitas mereka) pendidikan baca tulis dan hitung dianggap menjadi kebutuhan," ujar Manager Komunikasi KKI Warsi, Rudi Syaf, kepada detikcom.
Sejak 1998, KKI Warsi memperkenalkan pendidikan alternatif. Konsepnya disesuaikan dengan adat dan budaya. Materinya seputar baca tulis dan hitung (calistung).
Dengan keterbatasan staf fasilitator, Warsi kemudian mengembangkan kader-kader pendidikan, yaitu orang Rimba yang mempunyai kemampuan lebih untuk mengajar. Salah satu kader pendidikan itu adalah Beteguh. Ia aktif sejak 2010 silam.
Beteguh yang kini tercatat sebagai siswa kelas VIII SMP 12 Satu Atap Sarolangun, awalnya merupakan peserta pendidikan alternatif Warsi sejak 2006 lalu. Pada 2011, Beteguh diikutkan ujian persamaan di SD 191 Pematang Kabau, Sarolangun.
Tugas Beteguh sebagai kader pendidikan adalah mengajar anak-anak rimba lainnya yang tersebar di sejumlah kelompok baca tulis dan hitung. "Sebenarnya ada 6 anak Rimba yang kini duduk di SMP kelas dua. Namun di antara mereka yang paling rajin untuk berbagai ilmu itu Beteguh. Dia tanpa kenal lelah, setiap libur sekolah, bertugas menjadi guru di komunitasnya," kata Rudi Syaf.
Awalnya, Beteguh dan 6 anak Rimba hanya belajar selama 3 hari. Selanjutnya libur 4 hari. Sang guru datang mengajar di sekretariat Warsi di pintu masuk TN Bukit Dua Belas. Namun kini ketika sudah tercatat sebagai siswa reguler, Beteguh belajar 2 minggu di sekolahnya, dan 2 minggu berikutnya, ia masuk ke dalam rimba untuk mengajar anak-anak rimba.
"Kami belajar huruy (huruf) dan angka supaya kami tidak dipaloloi (dibodohi) orang. Supaya hutan rimba tempat kami hidup terpelihara dengan baik. Sebab hutan rimba inilah sumber penghidupan kami," sebut anak ketiga dari 7 bersaudara ini.
Terasa aneh memang, dua pekan sekolah dua pekan lagi libur. Tapi itulah dispenisasi yang diberikan pihak sekolah untuk anak-anak Rimba. Selama sekolah, mereka mondok di sekretariat Warsi yang jaraknya hanya sekitar 2 km dari sekolah SMP-nya.
Di kantor Warsi itulah, Beteguh sang guru cilik itu, dengan tekun belajar. Nanti setelah dua pekan, dia akan kembali bersama 5 temannya lagi ke dalam hutan yang mereka harus tempuh berjalan kaki selama 7 jam.
Mereka kembali bergumul dengan belantara sembari membantu orangtuanya menyadap karet. Ketika kembali ke hutan, segala pakaian yang selama ini mereka kenakan, seperti, baju, celana panjang, semuanya mereka lepas. Celana cawot kembali dikenakan sebagai anak Rimba.
"Kata mereka lebih enak pakai cawot, terasa dingin dan mudah beraktivitas di hutan. Mereka juga tidak mudah beradaptasi dari lingkungan yang asri tiba-tiba hidup sebagaimana kebanyakan orang. Itu sebabnya dengan berbagai pertimbangan, pihak sekolah tidak menyamakan mereka sebagaimana murid lainnya," kata Humas Warsi, Reni, kepada detikcom.(Detik.Com)
Jika anak Rimba dipaksa sekolah, dikhawatirkan mereka tidak akan bersekolah lagi. Pun demikian, bukan berarti anak-anak Rimba ini ketika ujian mendapat soal yang berbeda. Setiap ujian kenaikan kelas atau ujian nasional, mereka tetap mendapatkan soal yang sama seperti siswa lainnya.
Dengan belajar calistung, paling tidak orang rimba sudah mulai tahu setiap surat yang disodorkan ke mereka. Ini juga yang menjadi misi Beteguh dan kader guru rimba lainnya, membebaskan anak-anak rimba dari buta aksara.
"Untuk saat ini, mengajak seluruh anak rimba ke sekolah formal masih belum menjadi solusi. Selain beban mata pelajaran di sekolah formal, pola sekolah yang sehari-hari mengharuskan anak-anak masuk kelas menyulitkan anak-anak rimba," jelas Reni.
Harapan melepaskan belenggu buta aksara anak-anak Rimba kini salah satunya berada di pundak Beteguh. Beteguh bermimpi bisa menjadi Ki Hadjar Dewantara, tokoh pendidikan yang tanggal kelahirannya, yakni 2 Mei, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Meski satu sisi, Beteguh sendiri belum mengenal siapa sosok Pahlawan Nasional itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar