Senin, 23 Januari 2012

Keberadaan Orang Rimba Terancam Akibat Alihfungsi Hutan

Direktur Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Rakhmad Hidayat

Kesamaan Hak : Sekelompok Suku Anak Dalam (SAD) di Provinsi Jambi saat ikut dalam carnival budaya dalam rangka HUT Provinsi Jambi ke 55 ( 6 Januari 2012) di depan pusat perbelanjaan di Kota Jambi (8/1/12). SAD di Jambi kini menuntut kesamaan hak selaku warga negera. Foto batakpos/rosenman manihuruk.


Jambi, BATAKPOS

Alihfungsi hutan di Provinsi Jambi menjadi ancaman serius bagi kehidupan orang rimba atau biasa disebut suku anak dalam (SAD). Alihfungsi lahan yang membabi buta menjadikan ruang kehidupan orang rimba di Jambi semakin sempit. Kondisi ini menyebabkan konflik humanistik.

Demikian dikatakan Direktur Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Rakhmad Hidayat, kepada wartawan di Jambi, Kamis (19/1). Menurutnya, alihfungsi kawasan hutan baik oleh perorangan maupun perusahaan di Jambi sudah terjadi sejak dua dekade terakhir.

Disebutkan, Warsi Jambi mencatat lebih dari 853.430 hektare kawasan hutan di Jambi beralihfungsi dan dikelola perusahaan melalui izin HTI maupun HPL. Jumlah itu belum ditambah alihfungsi oleh masyarakat untuk dijadikan perkebunan seperti sawit dan karet.

Selain menimbulkan degradasi hutan, kondisi ini juga sangat riskan menimbulkan konflik kemanusiaan. Khususnya bagi orang rimba Jambi. Orang rimba Jambi menempati beberapa daerah pedalaman kabupaten di Provinsi Jambi seperti Kabupaten Batanghari, Tebo, Sarolangun, sebagian Kabupaten Bungo dan Kerinci.

Menurut Rakhmad Hidayat, Warsi Jambi juga mencatat sedikitnya ada tiga kasus besar yang melibatkan orang rimba dan menyebabkan tiga orang rimba meninggal dunia dan selebihnya luka luka.

"Proses hukum terhadap orang rimba juga menjadi kredit tersendiri. Mengingat, kasus kasus pembunuhan maupun pengeroyokkan kepada orang rimba proses hukumnya tidak jelas. Dari kondisi itu, saya menilai konflik yang menimpa orang rimba di Jambi merupakan bentuk kegagalan negara dalam mengayomi warganya,”katanya.

Orang rimba, kata Hidayat, masih dianaktirikan dan dianggap sebagai warga kelas paling bawah sehingga tidak jarang dianggap sebagai "sampah" dan menjadi tidak masalah jika terjadi pengeroyokkan atau bahkan pembunuhan kepada orang rimba.

Terkait hal itu, Rakhmad sangat berharap pemerintah daerah baik Pemprov Jambi maupun pemerintah kabupaten dapat memberikan ruang penghidupan bagi orang rimba.

“Dengan adanya ruang khusus tersebut, orang rimba akan memiliki basis dan bisa memulai belajar hidup menetap. Yang penting perlakukan seperti warga lainnya, berikan pendampingan khusus bagi orang rimba. Kawasan ruang penghidupan bisa diambil dari kawasan atau lahan eks-HPH,”katanya. RUK

Tidak ada komentar: