Minggu, 29 Juni 2008

Budaya Patriarki di Indonesia Membuat Terjadinya Bias Gender

Jambi, Batak Pos
Kentalnya nilai-nilai dan budaya patriarki pada masyarakat Indonesiamembuat kesempatan perempuan untuk berperan aktif diberbagai bidangsangat minim. Kesempatan kaum perempuan untuk berprestasi aktif didalam proses pembangunan masih minim. Masih ada hukum dan peraturanyang diskriminatif gender serta kebijakan dan program yang biasgender.

Memperhatikan permasalahan tersebut pemberdayaan perempuan diIndonesia perlu lebih ditingkatkan, antara lain melalui peningkatanpendidikan, kesehatan, ekonomi, partisipasi politik kaum perempuan,serta menciptakan kondisi sosial budaya dan lingkungan yang kondunsif.

Hal tersebut dipaparkan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI ,Prof Dr Meutia Hatta Swasono dalam sambutannya pada pembukaan seminarsehari Nasional dalam rangka memperingati Hari Keluarga Nasional(Harganas) XV dan Bulan Bhakti Gotong Royong Masyarakat (BBGRM) Vtahun 2008 di Abadi Convention Centre (ACC) Kota Jambi, Sabtu (28/6)pagi.

Peserta seminar dihadiri ribuan peserta dari berbagai elemenmasyarakat, kadar PKK dari seluruh peserta Harganas se Indonesia.Seminar itu juga dihadiri langsung Gubernur Jambi Zulkifli Nurdin,Ketua Umum Panitia Harganas Effi Mardiyanto, Walikota Jambi ArifienManap dan para kepala dinas dan instansi serta undangan.

Menurut Meutia Hatta, terjadinya bias gender di Indonesia ditandaidengan sejumlah indikator yakni dari hasil survei penduduk antarsensus (SUPAS) 2005-BPS menunjukkan penduduk perempuan umur 10 tahunke atas yang mampu membaca dan menulis sebanyak 77,7 juta jiwa atau49 persen. Sementara laki-laki 82,1 juta jiwa atau 51 persen.

Kemudian penduduk perempuan umur 10 tahun ke atas di Indonesia yangbuta aksara sekitar 8,6 juta jiwa atau 67 persen dan penduduklaki-laki hanya 4,3 juta jiwa atau 33 persen. Rasio angka partisipasimurni (APM) perempuan rata-rata per tahun dalam kurun waktu 2003-2006sebesar 99,4 persen.


"Di dalam Publikasi Pembangunan Manusia Berbasis Gender (Kerjasama BPSdan Kementerian PP-RI) tahun 2005 ditunjukkan bahwa perempuan pekerjaprofesional, teknis, kepemimpinan dan ketatalaksanaan di Indonesiatahun 2005 ada 41,6 persen. Sedangkan laki-laki 58,4 persen,"katanya.

Menurut Muetia Hatta, adapun rasio upah rata-rata pekerja perempuanterhadap pekerja laki-laki dalam pekerjaan upahan di Indonesia sebesarRp 74,8. "Ini berarti bahwa skala upah perempuan masih dianggap lebihrendah/murah dibandingkan dengan laki-laki,"ujarnya.
Disebutkan, keterwakilan perempuan pada Pemilu legislatif tahun 2004baru 11,6 persen atau hanya meningkat 2 persen dari Pemilu 1999 lalu.Peluang perempuan bidang politik hingga kini belum diakomudir partaipolitik.

"Walaupun sudah ada upaya khusus pemerintah untuk mengalokasikan 30persen perempuan di bidang politik dengan UU No.12/2003 tentangPemilu, ternyata belum membuahkan hasil yang signifikan karena aktivispolitik masih sering diidentikkan dengan domainnya laki-laki,"katanya.
Meutia Hatta menambahkan, indeks pembangunan gender yang digunakansebagai indikator untuk mengukur kemajuan pembangunan tentang gendermeliputi angka harapan hidup, nagka melek huruf, lama rata-ratabersekolah dan persentase angkatan kerja.

"Pada tahun 2006 masih menunjukkan angka 70,8 persen. Angka inimenduduki urutan ke 81 dari 177 negara. Berarti sepenuhnya pembangunansumber daya manusia secara keseluruhan belum sepenuhnya diikutikeberhasilan pembangunan gender atau masih terdapat kesenjangangender,"katanya.

Menurut Meutia Hatta, guna mewujudkan kesetaraan gender di Indonesiaharus meningkatkan kualitas hidup perempuan, memajukan tingkatketerlibatan perempuan dalam proses politik dan jabatan politik,menghapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, eningkatkankesejahteraan anak, meningkatkan pelaksanaan dan memperkuatkelembagaan pengarusutamaan gender dan meningkatkan partisipasimasyarakat. ruk

Tidak ada komentar: