Petisi Emerson untuk Calon Kapolri
Ramainya pemberitaan media soal Komjen Pol Budi Gunawan
calon Kapolri menjadi perhatian sejumlah pihak. Salah satunya Anggota Badan
Pekerja ICW Emerson Yuntho dengan membuat Petisi di Change.org tentang calon
Kapolri. Petisi itu dengan hashtag @jokowi_do2, jangan "menutup mata" dalam memilih
calon Kapolri! Tandatangani petisi ini sudah mencapai 12.537 pendukung. Dan
diperlukan sebanyak 2.463 tandatangan lagi.
R MANIHURUK, Jambi
Berikut Petisi Emerson Yuntho yang diterima Harian Jambi,
Selasa (13/1) malam. Setelah Hoegeng yang legendaris meninggal dunia, hingga
kini kita tidak memiliki figur-figur Kepala Kepolisian Republik Indonesia
(Kapolri) yang dapat dibanggakan, dipercaya dan dicintai oleh rakyat. Maka
tugas Presiden Jokowi lah untuk memunculkan kembali “Hoegeng” baru menjadi
Kapolri.
Namun harapan mendapatkan figur "Hoegeng" yang
baru nampaknya sirna. Jumat 9 Januari 2015 - dalam suratnya kepada DPR-Jokowi
secara resmi memilih Komjen Budi Gunawan sebagai calon Kapolri. Meskipun
proses selanjutnya adalah harus melalui seleksi di DPR, namun seperti kebiasaan
sebelumnya calon Kapolri yang diusung oleh Presiden dipastikan akan disetujui
oleh parlemen.
Penunjukan Budi Gunawan, mantan ajudan Presiden Megawati
Soekarno Putri sebagai calon Kapolri sungguh mengejutkan dan menjadi perdebatan
banyak pihak. Hal ini karena Budi Gunawan, sang calon Kapolri yang
dipilih Jokowi -berdasarkan Laporan Investigasi Majalah Tempo tahun 2010- diduga
memiliki transaksi keuangan yang tidak wajar. Meskipun hal ini dibantah oleh
Budi Gunawan.
Muncul pertanyaan mengapa Presiden Jokowi terkesan
terburu-buru melakukan proses seleksi calon Kapolri padahal Jenderal Pol.
Sutarman baru akan pensiun pada Oktober 2015 mendatang? Selain itu
mengapa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM) tidak dilibatkan dalam memberikan masukan mengenai figur calon Kapolri?
Mengapa harus melibatkan KPK dan PPATK? Kedua lembaga ini
telah teruji dan berperan aktif dalam upaya pemberantasan korupsi dan pencucian
uang, memiliki data dan informasi mengenai rekam jejak seseorang terkait dengan
perkara korupsi maupun transaksi keuangan yang mencurigakan. Lembaga ini juga
memiliki citra yang positif dan relatif lebih dipercaya dimata publik. Untuk
mengetahui apakah figur calon Kapolri pernah atau tidak melakukan pelanggaran
HAM, maka Komnas HAM adalah institusi yang tepat untuk dimintai keterangan.
Meski pemilihan Calon Kapolri adalah hak prerogatif
Presiden, namun jika Jokowi salah memilih figur Kapolri, maka kesalahan ini
akan berdampak rusaknya kepercayaan publik terhadap pemerintah. Tidak saja
sesaat namun bisa saja hingga lima tahun kedepan atau selama periode
pemerintahan Jokowi.
Sangat menyedihkan jika memilih figur calon Kapolri hanya
didasarkan faktor kedekatan namun memiliki persoalan secara integritas. Sulit
bagi publik untuk percaya kepada institusi penegak hukum seperti Kepolisian
jika pimpinan kepolisian yaitu Kapolri punya masalah dengan hukum.
Kami mengingatkan Presiden Jokowi jangan “menutup mata”
dalam memilih calon Kapolri.
Pertama, pemilihan Kapolri sebaiknya tidak didasarkan pada
politik dagang sapi atau politik balas budi. Penunjukan Kapolri harus didasari
pada aspek kepemimpinan (leadership), integritas, rekam jejak, kapasitas, dan
komitmen yang kuat dalam mendorong agenda reformasi dan antikorupsi.
Sebaiknya Jokowi juga tidak memilih figur Kapolri hanya
karena dia dianggap berjasa terhadap dirinya selama masa Pilpres maupun titipan
Ketua Umum atau elit partai tertentu.
Kedua, Harus dipastikan bahwa Kapolri yang nantinya dipilih
tidak bermasalah atau berpotensi menimbulkan masalah. Hal ini penting agar
pemerintahan Jokowi-JK kedepan tidak terganggu atau tercoreng kredibilitasnya
dan bahkan tersandera dengan persoalan korupsi, HAM , pencucian uang atau
persoalan hukum lain yang dilakukan oleh Kapolri ataupun yang terjadi di
internal Kepolisian.
Jokowi sebaiknya juga harus konsisten menjalankan janjinya
sebagaimana tercantum dalam Program Nawacita yaitu "Kami akan memilih
Jaksa Agung dan Kapolri yang bersih, kompeten, antikorupsi, komit dalam
penegakan hukum"
Untuk mendapatkan figur Kapolri yang terbaik maka Kami meminta
Presiden Jokowi:
1. Menarik kembali surat yang disampaikan kepada DPR pada 9
Januari 2015 berkaitan dengan proses seleksi calon Kapolri. Penarikan surat ini
harus dianggap sebagai bentuk koreksi terhadap langkah Jokowi yang
terburu-terburu dalam menetapkan calon tunggal Kapolri.
2. Melibatkan atau mengundang KPK, PPATK dan Komnas HAM
untuk memberikan masukan mengenai rekam jejak para calon Kapolri.
3. Membuka diri terhadap masukan dari semua pihak termasuk
masyarakat dan media mengenai rekam jejak para calon Kapolri.
“Dukung dan sebarkan petisi ini ya agar kita dapat memiliki
Kapolri yang bersih dan mampu bekerja sebaik-baiknya. Salam,” demikian petisi Emerson
Yuntho. (lee)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar