Halaman

Rabu, 05 Maret 2014

KONFLIK SAD-PT ASIATIK PERSADA, Sulitnya Mencari Perdamaian Dibalik Konflik Lahan


(HARIAN JAMBI EDISI CETAK PAGI RABU 5 FEB 2014)
Konflik lahan antara petani dengan perusahaan kerap menciptakan persoalan panjang. Konflik lahan ini seakan tak pernah habis-habisnya menjadi sorotan masyarakat luas, dan juga media. Bahkan Mabes Polri dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) harus turun tangan untuk mencari solusinya, namun tetap gagal. Sulitnya mencari perdamaian dan kata sepakat konflik lahan, ibaratkan meluruskan benang basah.

ROSENMAN M, Jambi

Saling klaim pembenaran, itulah yang terjadi antara konflik lahan warga Suku Anak Dalam (SAD) Kelompok 113 Desa Bungku, Bajubang Kabupaten Batanghari dengan PT Asiatic Persada. Saling klaim terhadap lahan seluas 3.520 hektare yang  menjadi haknya SAD, kekeuh tetap dipertahankan PT Asiatik Persada.

Bahkan Pemerintah Kabupaten Batanghari diketahui menganggarkan dana sebesar Rp 1,2 M hingga  Rp 1,3 M per tahun untuk menangani konflik antara warga SAD dengan PT Asiatic Persada sejak diterbitkannya Instruksi Presiden No 2 tentang penanganan konflik tahun 2012 dan pembentukan tim terpadu, namun hasilnya nihil.

Anggota DPRD Batanghari Amin Z alias Amin Tajam mengatakan, anggaran yang telah digelontorkan oleh Pemkab Batanghari untuk menangani konflik itu tidak sesuai dengan hasil kerjanya. 

Karena hingga kini penangangan konflik lahan SAD dengan PT AP belum juga menemukan titik kesepakatan dan penyelesaian. Sementara anggaran dihabiskan dengan pertanggung jawaban yang dipertayakan.

Amin Tajam meminta agar Tim Terpadu bentukan Pemkab Batanghari tidak melakukan pemborosan anggaran, dan segera menyelesaikan persolan tersebut. “Dewan tidak akan keberatan memberikan anggaran besar asalkan rincian kegiatan rasional. Sehingga tidak ada kesan menghamburkan uang negara,” kata Amin.

Menurut Amin, dirinya memaklumi pembentukan Timdu berdasar Inpres No 2 Tahun 2012 tentang penangan konflik, namun Timdu harus berhemat dan mengambil langkah efisien. 

“Dana yang dihabiskan Timdu harus masuk akal, jangan terkesan hanya melakukan pemborosan. Kalau bisa efisien dengan dana yang cukup kecil, kenapa hal itu tidak dilakukan. Bahkan hingga kini belum ada kata sepakat atau damai soal konflik tersebut,” ujar Amin.

Kinerja Tim Terpadu Mandul

Kinerja Tim Terpadu dalam soal kasus lahan di Batanghari, hingga saat ini belum menemukan hasil yang konkrit. Bahkan anggaran Rp 1,2 miliar hingga Rp 1,3 miliar yang digelontorkan Pemkab Batanghari perlu dipertayakan peruntukannya. 

Amin juga mempertayakan, soal anggaran yang besar untuk penanganan persoalan itu. Menurut dia, anggaran itu terlalu besar, sehingga perlu audit BPK. “Saya kira usulan itu masih terlalu besar. Jika perlu akan kami minta untuk diaudit kembali oleh BPK. Jangan sampai ada pemborosan yang sengaja dianggarkan,” katanya.

Amin juga mencurigai kalau dana penanganan konflik lahan di Batanghari dijadikan lahan korupsi. Penanganan konflik lahan SAD dengan PT AP terus berlarut-larut tanpa adanya pencapaian kata sepakat.

Sekretaris Timdu Batanghari, Fahrizal, menghindar saat wartawan ingin mengkonfirmasi soal dana konflik tersebut. Dia berdalih belum bisa memberikan informasi jumlah kasus yang berhasil ditangani oleh timdu selama ini karena belum direkapitulasi.

Diverifikasi di Pengungsian

Tim Terpadu Pemerintah Kabupaten Batanghari, Sabtu pekan lalu melakukan verifikasi terhadap ratusan orang yang mengatasnamakan warga Suku Anak Dalam (SAD) Kelompok 113 Desa Bungku, Bajubang terkait konflik lahan dengan PT Asiatic Persada.

Camat Bajubang Ibnu Hajar mengatakan, pihaknya turun langsung bersama aparat Desa Bungku melakukan pendataan terhadap warga SAD 113 yang saat ini masih bertahan di tenda pengungsian RT 08, Dusun Johor, Desa Bungku.

Dalam pendataan itu, diketahui mana warga Desa Bungku, Suku Anak Dalam (SAD) asli dan atau warga pendatang. Hasil pendataan dan verifiksi akan diserahkan ke Tim Terpadu Pemerintah Kabupaten Batanghari atau Pemerintah Provinsi Jambi dan Pemerintah Pusat, lanjut Hajar.

Lahan 2000 Hektare

Perjuangan ratusan SAD 113 memperoleh 3.550 hektare lahan yang mereka tuntut dari PT Asiatic Persada, beberapa kelompok SAD lainnya bersedia diverifikasi dan direlokasi di lahan 2.000 hektare.
Kini mereka justru sudah dua bulan ini menikmati hasil panen mereka. Ustari, anggota kelompok Jemu Lilit yang menerima pola kemitraan konflik lahan warga SAD dengan PT Asiatic Persada mengakui cukup senang dengan kondisi saat ini.

“Kami senang ditempatkan di lahan dua hektare ini. Untuk itu kami minta kejelasan hitam di atas putihnya. Alangkah ruginya jika saat ini warga SAD lainnya masih berkonflik. Sebab, lahan di lokasi 2.000 hektare itu saat ini hanya tinggal memanen hasil buah sawit,” ujar Ustari.

Disebutkan, buah mereka dijual ke Pabrik Kelapa Sawit milik PT Asiatic Persada dengan harga pasaran. Setelah itu, mereka yang melakukan pemanenan juga mendapatkan upah harian dari pihak perusahaan.

Disebutkan, untuk kelompok Jemu Lilit Semat saat ini memiliki anggota yang berjumlah 83 KK. Bila masing-masing KK mendapatkan 2 hektare lahan, mereka memiliki lebih kurang 164 hektare.
Lahan yang telah diberikan tersebut belum dibagi-bagi untuk setiap KK. Sehingga mereka melakukan pemanenan dan hasilnya akan dibagi rata untuk semua anggota.

Terpisah, Manejer PT AP, Tampubolon, mengatakan, untuk tiap dua hektare lahan, petani yang ditempatkan akan mendapatkan lebih kurang 2,5 juta per bulan. Nilai yang diterima sendiri bergantung dari lahan yang dikelola masing-masing KK tersebut. “Namun kejelasan ke depannya tetap  menunggu penyelesaian Pemkab Batanghari,” katanya.

Dikatakan, buah sawit yang ada di lahan tersebut pemanenannya dilakukan oleh pihak perusahaan PT Asiatic Persada. Lalu buah yang sudah dipanen tersebut juga dibeli langsung oleh pihak perusahaan dengan harga pasar. Sedangkan upah angkut, muat dan bongkar juga ditanggung pihak perusahaan. Serta perawatan kebun juga akan dikelola oleh pihak perusahaan.

Karyawan PT AP Hadapi SAD

Sebanyak dua ribu karyawan PT Asistic Persada di Kabupaten Batanghari siap menghadapi warga SAD yang ingin masuk ke lokasi yang disengketakan. Bahkan SAD sempat dihadang Barikade Polisi di Batanghari.

Ribuan karyawan PT AP sempat mengancam warga SAD Kelompok 113 yang hendak masuk kembali ke lokasi di Tanah Menang, Pinang Tinggi dan Padang Salak, Kamis 20 Februari lalu. 

Sementara Tim Terpadu Pemkab Batanghari tidak memperbolehkan warga SAD masuk ke daerah yang mereka tuju. Bahkan seluruh karyawan PT AP telah diintruksikan managemen perusahaan untuk mempertahankan lahan yang menjadi milik perusahaan.

Mabes Polri Turun

Berlarutnya konflik lahan SAD dengan PT AP membuat Kompolnas Mabes Polri turun ke Batanghari. Namun Kapolres Batanghari AKBP Robert A Sormin membantah kalau empat orang tim dari Mabes Polri, Selasa lalu, mencari keterangan atas laporan Kompolnas terkait sikap Kapolresta Batanghari yang arogan dan berpihak dalam menangani perkara lahan antara PT Asiatic Persada dengan warga SAD. 

Namun Robert A Sormin membenarkan pihaknya menerima kedatangan tim dari Mabes Polri ke Polres Batanghari. “Ndak, ndak, ndak, ini hanya kunjungan kerja biasa saja,” sebutnya .

Bahkan Kapolres Batanghari Robert A Sormin sempat dinilai telah berpihak dan menyalahi kewenangannya sebagai aparat dalam menangani perkara lahan antara PT Asiatic Persada dan warga Suku Anak Dalam di Batanghari.

Pernyataan itu disampaikan oleh tim dari Mabes Polri berdasarkan laporan warga Suku Anak Dalam kepada Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) di Jakarta pada 4 Februari lalu. 

Tim yang datang ke Mapolres sekitar pukul 9.00 itu terdiri atas Irbitjemen SDM II itwil V, Kombes Drs Sukisto. Irbit Jemen Ops II Itwil V, Kombes Drs. Sukamto, SH. M.si. Aliditor Itwil V, Kombes Drs Gusti K Gunawan, MM. Dan Kanit II Den A Bripinal, Kompol Nganti Irawan, SH. MA.

Sementara Kapolda Jambi Satriya Hari Prasetya mengatakan, kedatangan tim dari Mabes Polri ke Mapolres Batanghari, untuk mengklarifikasi laporan Kompolnasham ke Mabes.

Kapolres Batanghari  Salahi Kewenangan

Kapolres Batanghari Robert A Sormin, dinilai telah berpihak dan menyalahi kewenangannya sebagai aparat dalam menangani perkara lahan antara PT Asiatic Persada dan warga Suku Anak Dalam di Batanghari.

“Kami datang untuk untuk mengecek kebenaran laporan Kampolnas atas lanjutan laporan dari warga Suku Anak Dalam (SAD) terkait Kapolres Batanghari, AKBP Robert A Sormin, yang dinilai terlalu arogan dalam penyelesaian kasus konflik lahan antara warga SAD dengan PT Asiatic Persada,” kata salah satu anggota tim Mabes Polri.

Kapolres Batanghari telah menyalahgunakan kewenangan sebagai Kepala Polres Batanghari dalam penangan konflik warga SAD dengan PT Asiatic Persada. Dalam laporan itu, tertulis Kapolres dianggap arogan berpihak pada perusahaan karena lebih gencar tekanannya dari pemerintah provinsi.(*/Dibantu Okta Fransiska/lee)
***
Arogansi Kapolres Berdampak Buruk Terhadap SAD

Sikap arogan yang ditunjukkan Kapolres Batanghari, Robert A Sormin terhadap ribuan warga SAD Kelompok 113 yang berduyun-duyun mendatangi Rumah Dinas Bupati, Rabu pekan lalu, berdampak buruk terhadap SAD.

Sikap arogan yang memarahi massa SAD yang datang menggunakan ratusan motor dan puluhan mobil itu sebelumnya bahkan nyaris bentrok dengan aparat kepolisian. 

Menurut Kapolres, Warga SAD kelompok 113 ini mengingkari perjanjian sebelumnya, yaitu melakukan mediasi di rumah adat, namun mereka malah mendatangi kantor Bupati Batanghari. “Sekarang kembali ke rumah adat, jangan di sini,” ujar Robert A Sormin.

Akhirnya ribuan massa itu menuruti dan langsung ke arah rumah adat Kabupaten Batanghari. Di depan rumah adat Kabupaten Batanghari, Agus Pranata pendamping warga SAD dari Serikat Tani Nasional berorasi, mengatakan mereka menolak pola kemitraan dengan pihak PT Asiatic Persada, karena pola kemitraan yang dilakukan selama ini hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu. 

Jalan Panjang SAD

Menurut SAD, keberadaan PT AP sejak tahun 1980-an tidak memberikan manfaat bagi masyarakat SAD yang berdiam di sekitar wilayah perusahaan itu. Namun, justru kesengsaraan yang terjadi. Menyikapi hal ini, banyak pihak yang mengecam keberadaan perusahaan asal Malaysia itu.

Berbagai usaha dilakukan oleh masyarakat SAD. Bahkan, aksi menduduki Pendopo Kantor Gubernur Jambi, untuk mengadukan nasib mereka terjadi berulang-ulang. Karena, lahan yang mereka diami secara turun temurun, saat ini telah dirampas oleh perusahaan tersebut.

Terkait masalah tersebut, akan dilakukan pengukuran dan pemetaan ulang terhadap lahan seluas 3.520 hektare, yang  menjadi haknya SAD. Tetapi, hal itu tidak dilakukan padahal pihak PPN yang sudah siap untuk hal itu. 

“Mereka (perusahaan, red) membuat tim terpadu dalam menyelesaikan masalah, yang sebetulnya itu bisa menambah masalah,” ujar Wakil Ketua Komnas HAM, Dianto Bachriadi. 

Hasil dari investigasi yang dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), sejak tahun 1980 akhirnya banyak ditemukan pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi. Kemudian juga, saat ini pihaknya akan mendesak PPN Pusat untuk meninjau kembali izin Hak Guna Usaha (HGU) dari PT Asiatic Persada tersebut.  

“Terjadi kekerasan konflik dan sebagainya. Dan mereka juga banyak melakukan pengingkaran-pengingkaran terhadap kesepakatan,” ungap Dianto.  

Pihaknya akan berusaha untuk mengembalikan warga SAD ke tempat semula. Sebelumnya SAD ada yang berada di Komnas HAM Pusat dan Balai Adat Jambi. Karena, akibat dari penggusuran dan penertiban secara “membabi buta” yang dilakukan oleh pihak perusahaan asal Negeri Jiran (Malaysia) tersebut. 

Diketahui juga bahwa sebelumnya sudah ada peta dari Departemen Kehutanan yang menyatakan lokasi penggusuran tersebut adalah kampung halaman mereka (SAD, red). Peta tersebut diidentifikasi sejak tahun 1978. 

Dalam hal ini, lahan tersebut pihak perusahaan tidak memiliki HGU dan baru memiliki izin lokasi dan telah dicabut beberapa tahun yang lalu, tetapi diterbitkan kembali. Kemudian status tanah tersebut saat ini adalah tanah negara.   

Perhatikan Aspek Sosial
 
Pengamat Sosial, Sya’roni S Ag M Pd mengatakan, bahwa seyogyanya pemerintah harus memperhatikan aspek-aspek sosial dari fungsi tanah yang juga dijamin dalam UUPA. Kemudian mempertimbangkan aspek-aspek hukum adat dalam penguasaan atas tanah. “Seperti itu seharusnya yang menjadi pertimbangan,” ujarnya.

Konflik tersebut pada dasarnya adalah konsekuensi dari sistem pemberian izin atau penguasaan tanah oleh perusahaan tertentu, dengan mengkesampingkan aspek-aspek sosial fungsi tanah bagi manusia.
Kemudian juga ditambahkannya, bahwa dengan proses perizinan yang tidak berbasis pada data yang benar. Sehingga mengakibatkan terjadi ketidaksinkronan antara jumlah tanah yang diizinkan dengan fakta di lapangan. (lee)(HARIAN JAMBI EDISI CETAK PAGI RABU 5 FEB 2014)
Sumber:
http://harianjambi.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar