Menteri ESDM, Ignasius Jonan.Detik.com |
BERITAKU-Jakarta-Pemerintah Indonesia berhasil menyelesaikan negosiasi dengan PT Freeport Indonesia. Perusahaan tambang Amerika Serikat (AS) ini akan menjual atau melakukan divestasi sahamnya sebesar 51% kepada pihak Indonesia.
Sebelumnya, Freeport hanya mau melepaskan 30% sahamnya saja. Menteri ESDM, Ignasius Jonan, atas perintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta agar kedaulatan negara bisa berdiri tegak, tanpa mengganggu iklim investasi di dalam negeri.
Akhirnya setelah negosiasi panjang, pemerintah berhasil membuat Freeport bersedia melepas 51% sahamnya. Artinya Indonesia akan menjadi pemegang mayoritas saham di pengelolaan tambang emas tembaga milik Freeport Indonesia di Papua.
Sebelumnya, Freeport hanya mau melepaskan 30% sahamnya saja. Menteri ESDM, Ignasius Jonan, atas perintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta agar kedaulatan negara bisa berdiri tegak, tanpa mengganggu iklim investasi di dalam negeri.
Akhirnya setelah negosiasi panjang, pemerintah berhasil membuat Freeport bersedia melepas 51% sahamnya. Artinya Indonesia akan menjadi pemegang mayoritas saham di pengelolaan tambang emas tembaga milik Freeport Indonesia di Papua.
"Arahan Presiden, kedaulatan negara diutamakan, dan bisa tetap menjaga iklim investasi yang kondusif," kata Jonan kepada detikFinance, Sabtu (2/9/2017).
Pemerintah berpikir panjang dalam mengambil alih 100% pengelolaan tambang Freeport, tanpa bernegosiasi terlebih dahulu karena ini akan menimbulkan citra negatif bagi iklim investasi di dalam negeri. Akan banyak investor asing yang takut berakhir sama dengan Freeport, ini pasti akan mengganggu perekonomian di dalam negeri.
Karena itu dilakukan negosiasi bisnis yang hasilnya tidak merugikan negara. Pemerintah memperpanjang kontrak Freeport di Papua selama 10 tahun hingga 2031 dan dapat diperpanjang 1 kali lagi sampai 2041 sesuai ketentuan yang berlaku.
Kontrak Freeport memang akan habis pada 2021. Namun dalam perpanjangan kontrak tersebut, Indonesia akan menguasai 51% saham di pengelolaan tambang tersebut.
"Kita beli 51% itu beli saham manajemen pengelolaannya, bukan deposit tambangnya. Deposit tambang Freeport di Papua itu milik negara," tegas Jonan.
Banyak yang berpendapat belakangan ini, kenapa pemerintah tidak menghentikan operasi Freeport di 2021 dan mengambil alih 100% tambang tersebut? Jawabannya, risikonya terlalu besar, demikian juga uang untuk investasi yang dibutuhkan.
Tambang sebesar Grasberg di Papua yang dikelola Freeport tidak boleh dibiarkan menganggur lama. Dampak ekonomi tambang ini bagi rakyat Papua sudah terlalu besar.
Dengan menguasai 51% saham, pihak Indonesia sudah menjadi pemegang saham mayoritas, dan bisa mulai belajar banyak mengelola tambang sebesar itu. Belum pernah ada perusahaan Indonesia yang mengelola tambang sebesar Grasberg, yang tingkat kompleksitasnya sangat tinggi.
Alasan Perpanjangan
Saat ini Freeport mengembangkan tambang bawah tanah di Grasberg dengan membuat jalan hingga ratusan kilometer. Butuh teknologi dan pengalaman tinggi untuk melakukannya.
"Kalau diakhiri 2021 dan misalkan sekarang diserahkan ke Antam, maka Antam maka harus menyiapkan smelter mulai sekarang juga. Ini kewajiban Undang-Undang, baik perusahan tambang asing maupun lokal, harus bisa membangun smelter. Biaya pembangunan smelter untuk tambang sebesar Grasberg milik Freeport besar. Membangun smelter untuk kapastias Freeport sebesar 3 juta ton per tahun, itu butuh Rp 40 triliun," Jonan menjelaskan.
Memang saat ini 90% pekerja di Freeport adalah warga negara Indonesia. Tapi belum ada perusahaan tambang di Indonesia yang menguasai teknologi pertambangan sebesar Freeport. Bila pemerintah tidak memperpanjang kontrak Freeport, maka semua teknologi dan peralatan akan dibawa pulang atau dijual oleh Freeport.
Ini membutuhkan dana yang sangat besar untuk membelinya. Sementara tambang bawah tanah yang dibangun Freeport di Grasberg tidak boleh didiamkan terlalu lama dan pengambilalihan yang akan memakan biaya menjadi 100% atas seluruh investasi peralatan, teknologi, manajemen serta biaya modal yang sudah dikeluarkan Freeport.
Bila pemerintah tidak mau membayar ganti rugi atas investasi Freeport dengan alasan nasionalisasi, itu akan menjadi skandal besar dan dampaknya akan sangat luas bagi ekonomi, sosial, dan politik di dalam negeri dan hubungan ekonomi global.
Nah, jauh lebih baik menguasai 51% sebelum 2021 yang nilainya masih jauh lebih terjangkau dibandingkan mengambil alih 100% di 2021 dengan risiko transisi dan alih teknologi yang belum tentu berjalan lancar.
Presiden juga sangat menjunjung tinggi kesempatan dan kemampuan saudara-saudara sebangsa dan setanah air, makanya proses transisi manajemen dan pengelolaan dapat dilakukan bertahap setelah kita menguasai mayoritas sahamnya.
Sejauh ini, tambang besar yang 100% diambil alih oleh pihak Indonesia adalah tambang Newmont, yang sekarang dikuasai oleh grup Medco. Namun, tambang Newmont ini tidak sebesar Freeport.
Satu catatan penting, apabila Freeport menolak membangun smelter atau menolak menjual 51% sahamnya atau menolak membayar penerimaan negara yang lebih besar, maka tidak ada jalan lain, yaitu tidak memperpanjang konsesi setelah 2021 dan kita harus siap mengelola sendiri dan membayar seluruh investasi yang telah dikeluarkan oleh Freeport selama ini.(*)
Sumber: https://finance.detik.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar