Siang itu cuaca terik. Di warung Barokah, warung prajurit
markas Batalyon Infanteri 500/Raider, Surabaya, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dan Ibu Negara Ani Yudhoyono memilih sayur lodeh, tahu, dan tempe.
Keduanya menikmati hidangan sederhana itu dalam tiupan angin yang kering.
Sebelum makan siang, Senin (6/10) itu, Presiden dan Ibu
Negara mengunjungi rumah-rumah prajurit, masuk ke dapur, berdialog di bawah
pohon, dan bercerita masa ketika tinggal di asrama berdinding bambu yang harus
ditempel koran agar tidak bocor. Perjalanan hidup yang selalu tidak mudah.
Makan siang Presiden dan Ibu Negara di warung Barokah akan
menjadi kenangan. Dua pekan berikutnya, Presiden SBY mengakhiri masa tugas
selama 10 tahun. Masa ketika pintu-pintu informasi begitu terbuka: Batas kritik
dan fitnah menjadi sangat tipis. Maksud baik bisa ditafsirkan salah. Presiden
tidak menghindar, bahkan menerima berbagai macam kritik, juga fitnah, melalui
akun twitter-nya.
Sepuluh tahun dimulai dari jalan terjal, yang secara pasti
terus bergerak naik. Sebagai Presiden RI pertama dipilih rakyat secara
langsung, Presiden SBY langsung melakukan penataan ekonomi dan politik. Dalam
situasi ekonomi dunia yang lesu pada 2004, tren ekonomi Indonesia justru
meningkat. Dalam sepuluh tahun, pertumbuhan ekonom terus naik di atas 6 persen.
Bahkan menjadi peringkat kedua dunia pada 2009 di antara 20 negara G-20, di
bawah Tiongkok, di atas Arab, India, Rusia, dan Korea.
Pendapatan domestik bruto meningkat dari Rp2.295,85 triliun
pada 2004 menjadi Rp 9.084 triliun. Ini menempatkan Indonesia pada posisi 15
besar ekonomi dunia. Cadangan devisa juga naik dari 36,3 miliar dolar AS
menjadi 124,6 miliar dolar AS. Pendapatan perkapita tertinggi dalam sejarah
Indonesia, dari 1.188,4 dolar AS pada 2004, naik tajam menjadi 3,490,1 dolar
AS.
Jumlah kelas menengah meningkat dari 37 persen menjadi 56,7
persen. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara juga mengalami peningkatan pesat
sejak Indonesia merdeka. Pada 2004, pendapatan Rp 403,4 triliun menjadi Rp 1.667,1
triliun. Sedangkan belanja, dari Rp 427,2 triliun menjadi Rp 1.842,5 triliun.
Pada awal memimpin Indonesia, Presiden SBY mengurangi beban
dan ketergantungan kepada Dana Moneter Internasional (IMF). Utang Indonesia
sebesar Rp69 triliun dilunasi. Ini tidak saja menjadikan beban ekonomi lebih
ringan, tetapi juga melepaskan Indonesia dari tekanan politik, yang mungkin
saja terjadi seperti pada akhir Orde Baru. Rasio utang luar negeri Indonesia
pun terus dikoreksi, dari 27,8 persen pada 2004, terus turun menjadi 7,8 persen
pada 2013.
Untuk mengurangi kesenjangan pusat dan daerah, sekaligus
memacu pembangunan di daerah, Presiden SBY melahirkan Masterplan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) pada 2011. MP3EI ini terdiri
enam koridor, yakni Sumatera, Jawa, Bali-Nusatenggara, Kalimantan, Sulawesi,
dan Papua-Maluku. Sejak dibentuk, kini terjadi penyebaran proyek sebanyak 365
dengan nilai Rp 828,7 triliun.
Meningkatnya perekonomian Indonesia itu berimbas pada
anggaran pendidikan dan TNI. Anggaran pendidikan naik 20 persen menjadi Rp 268,9
triliun. Bagi TNI, bila sebelumnya tidak sedikit alat utama sistem pertahanan
tidak dapat digunakan, bahkan di antaranya kanibal, pemerintah Presiden SBY
memperbaharui dan menambah jumlahnya.
Sebagian impor, sebagian lain produk dalam negeri. Anggaran
TNI naik hampir 400 persen, dari Rp21,4 triliun pada 2004, kini Rp 84,4
triliun. Pada HUT ke-69 TNI di Surabaya, pesawat-pesawat tempur, tank, kapal
selam, persenjataan, dan alat-alat tempur lainnya dipamerkan. Ini pertunjukan
peralatan TNI terbesar sejak Indonesia merdeka.
Di foruma internasional, martabat Indonesia semakin
meningkat. Indonesia menjadi satu-satunya negara ASEAN, yang masuk dalam
Kelompok 20 Negara (G-20). G-20 merupakan kelompok 19 negara ekonomi utama
dunia, ditambah Uni Eropa. Kelompok yang dibentuk pada 1999 ini, merupakan
forum untuk menghimpun kekuatan-kekuatan ekonomi maju dan berkembang, membahas
isu-isu penting perekonomian dunia. Dalam berbagai pertemuan, Presiden SBY
menyampaikan gagasan tentang masa depan ekonomi dunia.
Buah dari keberhasilan dalam negeri --ekonomi, politik, dan
lingkungan-- menjadikan Indonesia lebih terpandang dalam pergaulan
internasional. Presiden SBY dipercaya PBB memimpin panel tingkat tinggi,
bersama PM Inggris David Cameron, dan Presiden Liberia Ellen Johnson Sirleaf.
Panel tingkat tinggi ini bertugas membuat rekomendasi kepada Sekretaris
Jenderal PBB atas agenda pembangunan global pasca-2015 menjelang berakhirnya
Tujuan-tujuan Pembangunan Milenium (MDGs).
Sepuluh tahun terasa begitu cepat untuk Indonesia yang
besar. Konstitusi mengharuskan Presiden, yang terpilih selama dua priode ini,
meninggalkan panggung kekuasaan pada 20 Oktober 2014. Presiden SBY telah
berupaya keras membangun dan mengangkat martabat bangsa Indonesia di tengah
hujatan dan budaya masyarakat yang berubah. Tidak mudah, tapi dengan segala
keterbatasan dan kekurangan sebagai manusia, Presiden telah membuat jalan untuk
pemimpin berikutnya.
Dalam berbagai kesempatan, Presiden SBY selalu berpesan
kepada pemimpin mendatang untuk meneruskan pencapaian selama 10 tahun ini.
Meningkatkan dan memperbaiki kekurangan selama ini. Tentu, ini adalah harapan,
Presiden terpilih Joko Widodo yang akan menentukan. Tapi setidaknya, kita
berharap bangsa ini tidak membangun istana pasir -- selalu kembali dari awal
ketika terjadi angin perubahan--, meniadakan hasil sebelumnya.
Terima kasih Presiden SBY. Kami tahu, Presiden manusia biasa, tidak memiliki
tongkat ajaib atau lampu Aladin, yang seketika bisa mengubah suatu yang tidak
mungkin menjadi mungkin. Mengubah saputangan menjadi burung merpati. Kami terus
mengenang sepuluh tahun yang berlalu untuk Indonesia yang diharapkan lebih baik
dan berarti.(Penulis Pemimpin Umum Perum
LKBN ANTARA 2005-2007 /ant/lee).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar