The Fed Bakal Naik, Apa Imbasnya ke Sektor Keuangan RI?
RISTA RAMA DHANY, Jakarta
“Orang banyak khawatir termasuk pemerintah sampai menyiapkan
langkah antisipasi jika The Fed naikkan suku bunga, pasar saham Indonesia akan
anjlok karena uangnya lari ke Amerika," ujar Pengamat Ekonomi Universitas
Indonesia Faisal Basri di acara Publikasi Riset & Diskusi "Ekspektasi
Pebisnis Terhadap Pemerintahan Baru", di Gedung WTC Sudirman, Rabu (15/10).
Faisal mengatakan, hal tersebut tidak benar, dan tidak perlu dikhawatirkan
berlebihan, karena walaupun The Fed menaikkan suku bunganya, investor akan
pikir dua kali membawa balik uangnya ke Amerika.
“Uang itu kan tidak bodoh, return saham di Amerika Serikat
itu hanya 2,5%, bandingkan di Indonesia return sahamnya mencapai 23% jauh lebih
untung mereka di Indonesia. Memang ada masanya ketika DPR kita ribut IHSG
anjlok, tapi dua-tiga hari kemudian balik lagi, itu sebagai sinyal DPR jangan
ngaco," tegasnya.
Faisal menegaskan, patut menjadi catatan, bahwa ekonomi
Indonesia tahun lalu sudah mengalahkan Inggris, dan tahun ini sudah mengalahkan
Prancis.
“Ekonomi Indonesia punya prospek bagus, sudah mengalahkan
Inggris dan Prancis, apalagi market cap Indonesia baru 45% masih sangat luas,
naik 6% saja itu uang segar yang bisa digunakan pengusaha untuk mendorong usaha
dan investasinya sangat banyak sekali," tutupnya.
Sementara perkembangan ekonomi dunia saat ini makin tidak
pasti. Sejumlah lembaga seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia
menurunkan perkiraan pertumbuhan ekonomi global tahun ini dari 3,3% menjadi
3,4%.
“Akibat ketidakpastian ekonomi global yang makin besar, IMF
dan Bank Dunia kembali menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi yang sebelumnya
3,4% menjadi 3,3% tahun ini. Ini revisi keempat kali yang dilakukan kedua
lembaga tersebut, yang artinya ketidakpastian makin besar," papar Destry
Damayanti, Kepala Ekonom PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), di acara Indonesian
Economic Outlook, di Plaza Mandiri, Jakarta, Rabu (15/10/2014).
Destry mengungkapkan, ada beberapa hal yang membuat ketidakpastian ekonomi
global makin membesar. Misalnya kawasan Eropa yang sepertinya belum pulih benar
dari krisis yang melanda sejak 2010.
“Empat dari 10 negara di Eropa masih mengalami krisis
ekonomi yang serius. Sementara Jerman yang diharapkan karena ekonominya paling
kuat di Eropa justru komitmennya untuk membantu negara lain terlihat tidak
serius," paparnya.
Faktor lainnya, lanjut Destry, adalah harga komoditas yang
belum pulih. "Tentu ini menjadi hambatam bagi negara seperti Indonesia,
India, Brasil, dan Venezuela karena masih mengandalkan ekspor bahan
mentah," katanya.
Kemudian, tambah Destry, perekonomian Tiongkok juga masih
melambat. Jika perlambatan ekonomi Tiongkok memburuk, dampaknya akan sangat
signifikan karena Tiongkok adalah salah satu pusat perdagangan dunia.
“Ekonomi Tiongkok belum mengalami hard landing, masih soft
landing makanya masih tumbuh 6%. Banyak negara jaga-jaga jangan sampai
ekonomi Tiongkok mengalami hard landing," tuturnya.(dtk/lee)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar