Konflik
lahan yang terjadi antara PT REKI dengan masyarakat Desa Tanjung
Mandiri dan Desa Alam Sakti Kabupaten Batanghari tak kunjung usai. Masyarakat
enggan menyerahkan lahan garapannya, karena merasa telah memiliki lebih awal lahan
tersebut. Seorang budayawan
sekaligus Guru Besar Fakultas Kehutanan
Universitas Gajah Mada (UGM) yaitu Prof Dr Ir H San Afri Awang MSc turun kelokasi PT REKI guna mencari solusi konflik
tersebut. Harian Jambi berkesempatan mengikuti perjalanan Prof Ir
H San Afri Awang tersebut.
ANDRI MUSTARI,
Jambi
Berangkat dari keprihatinan, Guru
Besar Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada (UGM) yaitu Prof Dr Ir H San
Afri Awang M.Sc memberikan penjelasan
tentang konsep kerjasama atau yang dikenal dengan konsep kemitraan kehutanan.
Kerjasama yang dimaksud adalah antara masyarakat Tanjung Mandiri, Alam Sakti
dan pihak perusahaan PT REKI. Kegiatan ini berlangsung di Balai Dusun Tanjung
Mandiri Batanghari Selasa (4/3/14).
General
Manager Social and Goverment Relationship PT REKI, Urip Wiharjo bahwa PT REKI
(Restorasi Ekosistem Indonesia) adalah salah satu contoh perusahaan yang
bergerak di bidang pengelolaan hutan, yang bertujuan untuk memulihkan hutan
alam seperti semula.
Terkait
hutan harapan menurutnya, adalah contoh kawasan pengusaha hutan produksi yang kini
telah dialihkan kepada PT REKI, untuk mengembalikan atau memulihkan ekosistem
hutan alam seperti semula. Untuk pengelolaan, PT REKI memiliki sebuah legalitas
hukum yang berdasarkan kepada Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor
293/Menhut-II/2007: 28 Agustus 2007, mengenai Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Restorasi Ekosistem Hutan seluas
52.170 Hektar di Provinsi Sumatra Selatan.
Selanjutnya
untuk Provinsi Jambi, mengacu kepada surat keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor
327/Menhut-II/2010: 25 Mei 2010 mengenai IUPHHK Restorasi Ekosistem Hutan
seluas 46.385 Hektar di Provinsi Jambi.
Hutan
Harapan yang dikelola oleh PT REKI merupakan hutan yang dikelola secara
non-profit dan sepenuhnya dikelola oleh warga Indonesia. Program restorasi
Hutan Harapan memberikan manfaat bagi orang banyak atau warga negara Indonesia
sendiri. Khususnya untuk memberikan manfaat kepada suku asli yang bisa hidup
damai di dalamnya, dan memanfaatkan hasil hutan non-kayu, tanpa harus merusak hutan.
“Hutan
Harapan bisa dimanfaatkan oleh suku asli atau masyarakat yang berada di dalam
hutan. Hal ini merupakan salah satu pertimbangan oleh pemerintah untuk
memberikan sebuah penghidupan yang damai bagi masyarakat, atau suku asli yang
dikenal di Jambi dengan sebutan suku Bathin Sembilan,” ujarnya.
Dalam
hal ini, Suku Bathin merupakan kelompok masyarakat yang dari turun temurun
hidup, berpindah dan mencari penghidupan di dalam hutan.
Restorasi
Hutan
Harapan merupakan hutan dataran rendah terakhir yang masih tersisa di Pulau Sumatera.
Program Restorasi Hutan Harapan merupakan salah satu yang terbesar di dunia dan
yang pertama di Indonesia. Dengan ini, PT REKI selalu berupaya agar
restorasi Hutan Harapan bisa berhasil, sehingga akan dijadikan sebuah contoh
yang positif yang dapat dikembangkan dalam pengelolaan hutan alam di Indonesia
dan dunia.
“Hutan
Harapan yang dikelola oleh PT REKI, selalu berupaya agar restorasi bisa sukses.
Sehingga Hutan Harapan PT REKI bisa menjadi contoh yang positif bagi hutan alam
di Indonesia dan dunia,” tambahnya.
Negara
Indonesia merupakan salah satu negara yang dipandang oleh dunia sebagai salah
satu negara dengan kehancuran hutan tercepat di dunia. Ini diakibatkan oleh
orang-orang atau perusahaan ilegal yang mencari sebuah keuntungan dengan cara
merusak ekosistem hutan.
Hal ini juga salah satu pertimbangan sehingga lahirlah
PT REKI untuk memperbaiki ekosistem hutan dengan restorasi hutan. Apabila
restorasi ini mampu terwujud, maka hal ini nantinya akan mampu merubah citra Indonesia
di mata internasional dengan tidak lagi dikatakan sebagai negara penghancur
hutan yang tercepat.
“Adanya
restorasi hutan oleh PT REKI, apabila berhasil maka hal ini mampu merubah citra
Negara Indonesia, yang tidak lagi dikatakan sebagi negara penghancur hutan tercepat
di dunia,” ujarnya.
Konflik
FOTO-FOTO:
ANDRI MUSTARI HARIAN JAMBI
Prof Dr Ir H San Afri Awang MSc, budayawan sekaligus Guru
Besar Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada (UGM).
|
Namun
dengan tujuan yang diinginkan oleh PT REKI dalam merestorasi Hutan
Harapan tidak berjalan dengan mulus. Dikarenakan terjadinya sebuah konflik
antara masyarakat desa Tanjung Mandiri dan Desa Alam Sakti Kabupaten Batanghari.
Kedua desa ini bertempat di kawasan yang juga merupakan area konsesi PT REKI
Hutan Harapan.
Desa
Tanjung Mandiri dan Desa Alam Sakti dalam hal ini, mengklaim bahwa mereka juga memiliki
lahan. Dengan alasan warga lebih dulu datang dan tinggal di kawasan Hutan
Harapan.
“Langkah
PT REKI mendapat sebuah kendala, karena masyarakat pendatang yang bermukim di
atas area konsesi PT REKI, mereka mengklaim bahwa mereka juga memiliki lahan di
kawasan PT REKI,” ujarnya.
Sesuai
dengan data yang dimiliki oleh PT REKI, dari sejak tahun 2005 sampai dengan
tahun 2013, masyarakat telah membuka lahan seluas 19.437 hektar. Dengan data
pada Tahun 2005 masyarakat membuka lahan seluas 1.107 hektar dan 361 hektar. Pada
Tahun 2006 membuka lahan seluas 2.399 hektar, Tahun 2007 membuka lahan seluas
6.379.
Selanjutnya,
pada Tahun 2008 masyarakat membuka lahan seluas 314 hektar, Tahun 2009 membuka
lahan seluas 1.864 hektar, Tahun 2010 membuka lahan seluas 1.140 dan Tahun 2011
membuka lahan seluas 2.645.
Kemudian
pada Tahun 2012 membuka lahan seluas 2.549 dan pada Tahun 2013 masyarakat
membuka lahan seluas 678 hektar. Hal ini disampaikan oleh Didi, salah satu
pejabat penting PT REKI. Hal tersebut disampaikan, sesuai dengan data yang
dimiliki PT REKI.
Menurut
Didi secara legalitas hukum, masyarakat Tanjung Mandiri dan Alam Sakti tidak
mempunyai bukti ataupun legalitas hukum yang kuat, karena tidak mempunyai izin.
Sedangkan PT REKI mempunyai legalitas hukum dengan Surat Keputusan Menteri
Kehutanan nomor 293/Menhut-II/2007 dan Surat Keputusan Mentri Kehutanan nomor
327/Menhut-II/2010.
Upaya
Penyelesaian
Dengan
adanya konflik yang terjadi antara masyarakat dan PT REKI, kedua belah pihak
mengundang seorang Profesor yang juga Guru Besar Fakultas Kehutanan
Universitas Gajah Mada (UGM) yaitu Prof. Dr. Ir. H. San Afri Awang, M.Sc, untuk
memberikan penjelasan tentang konsep kerjasama atau yang dikenal dengan konsep
kemitraan kehutanan. Kerjasama yang dimaksud adalah antara masyarakat Tanjung
Mandiri, Alam Sakti dan pihak perusahaan PT REKI. Kegiatan ini berlangsung di
Balai Dusun Tanjung Mandiri Batanghari (04/3).
“Dengan
adanya konflik ini, kami mengundang Prof. Dr. Ir. H. San Afri Awang, M.Sc,,
untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat tentang pemahaman konsep kemitraan.
Kegiatan ini pun disetujui oleh kedua belah pihak,” ujarnya.
Selain
itu Urip juga menjelaskan bahwa kedatangan Guru Besar UGM ini, juga merupakan
tindak lanjut dari aspirasi masyarakat. Yang mana mereka menginginkan sebuah
penjelasan dan penyelsaian yang kongkrit dengan pilihan dalam konsep kemitraan.
Kegiatan
yang telah dilaksanakan tersebut, merupakan sebuah tahapan ataupun rangkaian
untuk bisa melakukan sebuah negosiasi ataupun musyawarah untuk mendapatkan
hasil mufakat, dalam proses penyelesaian konflik yang terjadi. Yang harapannya
dengan adanya penjelasan oleh seorang Guru Besar, masyarakat bisa memahami dan
menerima apa yang telah menjadi keputusan bersama.
“Semoga
dengan ini, masyarakat bisa mengerti tentang kedudukan PT REKI dan memahami
keinginan PT REKI dalam merestorasi hutan, menjadi hutan semula yang juga mampu
memberikan sebuah penghidupan yang layak bagi keluarga,” ungkap Urip.
Dengan
berbagai pilihan dan tawaran yang telah ditawarkan oleh pihak PT REKI,
selalu mengalamai jalan yang buntu. PT REKI juga telah memberikan sebuah
penwaran tentang berbagai pilihan dan tawaran menyangkut posisi dan kepentingan
sebagai titik awal perundingan. Agar ada kejelasan status dan solusi konflik
lahan dalam bentuk sekema atau konsep sebuah kemitraan antara PT REKI dan kedua
desa.
Konsep
kemitraan yang ditawarkan adalah masyarakat pemukiman tersebut bisa menetapkan
pilihan mana yang mereka ambil untuk sebuah kejelasan satatus, dan sebuah ketentraman
bagi kehidupan mereka. Serta keamanan kawasan konsesi proyek restorasi
ekosistem hutan harapan dalam jangka panjang.
“Berbagai
tawaran telah ditawarkan kepada masyarakat, tapi tetap saja masyarakat belum
ingin menerima solusi yang telah ditawarkan,” ucap Didi.
Rujukan
Dalam
pertemuan yang dilaksanakan pada 4 Maret, Prof. Dr. Ir. H. San Afri Awang,
M.Sc, memberikan sebuah rujukan tentang peraturan kemitraan kehutanan.
Rujukan
peraturan yang diserahkan oleh guru besar kepada masyarakat adalah
Permenhut No P. 39 tahun 2013 tentang pemberdayaan masyarakat setempat melalui
kemitraan kehutanan. Yang disebutkan bahwa pemberdayaan masyarakat setempat
melalui kemitraan kehutanan adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan dan
kemandirian masyarakat setempat, untuk mendapatkan mamfaat sumber daya hutan
secara optimal dan adil. Melalui kemitraan kehutanan dalam rangka peningkatan
kesejahteraan masyarakat setempat.
Aturan
ini juga menjelaskan bahwa kemitraan kehutanan adalah kerjasama antara
masyarakat setempat, dengan pemegang izin dalam hal ini PT REKI, dalam pemanfaatan
hutan atau pengelolaan hutan. Dengan prinsip kesetaraan dan saling
menguntungkan.
Setelah
itu, rujukan pemerintah tentang Hutan Tanaman Rakyat dengan mengacu kepada
Permenhut No P.55 tahun 2011 tentang tata cara permohonan izin usaha dan
pemamfaatan hasil hutan kayu, pada hutan tanaman di dalam hutan tanaman.
Selain
itu, Afri juga memberikan sebuah rujukan yang dikenal dengan Enclave. Guru Besar
UGM ini menjelaskan bahwa menurut Undang-undang kehutanan no 41 tahun 1999,
pasal 19 menyebutkan bahwa perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan
ditetapkan oleh pemerintah dengan didasarkan pada hasil penilitian terpadu.
Berdasarkan
penjelasan pasal 19 ayat 2 yang dimaksud dengan berdampak penting dan cakupan
luas serta bernilai strategis, adalah perubahan yang berpengaruh terhadap
kondisi biofisik seperti perubahan iklim, ekosistem, dan gangguan tata air. Serta
dampak sosial ekonomi masyarakat bagi kehidupan generasi sekarang dan generasi
yang akan datang.
Menurut
Kepmenhut 292/Kpts-II/95 tanggal 12 juni 1995 tentang tukar menukar kawasan
hutan yang isinya enclave adalah lahan milik pihak ketiga yang terletak di
dalam kawasan hutan. Ini mengacu kepada
Kepmenhut 70/2001 jo. 48/2004 tentang penetapan kawasan hutan, perubahan status
dan fungsi kawasan hutan berada pada pasal 1 ayat 5.
Yang menyebutkan perubahan
fungsi kawasan hutan adalah merubah sebagian atau seluruh fungsi hutan, dalam
suatu kawasan hutan. Dan pada ayat 6 perubahan satatus kawasan hutan adalah
merubah status sebagian kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan.
Selain
itu, Afri juga menjelaskan bahwa enclave merupakan sebuah tempat sejarah atau
sebuah peniggalan. Hal ini lebih mengacu kepada kebijaksanaan oleh pemerintah
untuk memberikan sebuah fasilitas kepada warga. Fasilitasnya seperti fasilitas
sosial seperti tempat beribadah, perkantoran. Sedangkan fasilitas umum seperti
jalan yang bisa digunakan oleh warga. Dan enclave tidak untuk sebuah
garapan dan tidak ada sebuah ukuran.
“Enclave
lebih mengacu kepada tempat sejarah, dan bukan temat atau lahan garapan,”
jelasnya.(*/poy)
Bersikeras,
Masyarakat Enggan Serahkan Lahan
Konsesi
Hutan Harapan yang menyentuh lahan di Kawasan Tanjung Mandiri dan Desa Alam
Sakti Kabupaten Batanghari. Masyarakat bersikeras mengingkan lahan yang telah
digarapnya menjadi hal miliknya. Hal ini disampaikan oleh Talinggiling, salah
satu tokoh masyarakat desa Tanjung Mandiri. Menurutnya, tanah tersebut adalah
miliknya bersama masyarakat lain.
“Kami
ingin tanah itu hak milik kami, walaupun 200 tahun waktu yang akan kami tempuh,
tetap kami lakukan,” tegasnya.
Dengan
berbagai rujukan yang telah disampaikan oleh Prof. Dr. Ir. H. San Afri Awang,
M.Sc, Guru Besar Universitas Gajah Mada (UGM). warga masyarakat masih tetap
tidak memahami penjelasan yang telah disampaikan. Dalam hal ini, warga masih
tetap mengingkan lahan yang telah digarapnya menjadi hak milik warga yang
mencapai 19 ribu hektar.
Namun
demikian Afri Awang memberikan penjelasan dan membiarkan kepada masyarakat
untuk menjadikan lahan garapannya menjadi milik mereka. Akan tetapi, membutuhkan
sebuah proses yang sangat panjang. Beberapa pilihan yang telah ditawarkan diantaranya,
dengan konsep kemitraan, kedua, menjadikan area PT Reki mejadi HTR ( Hutan
Tanaman Rakyat ). Apabila hal ini yang ingin ditempuh oleh warga, pihak PT REKI
memperbolehkan.
“Kalau
warga masih tetap ingin lahan garapan menjadi hal milik mereka silahkan, akan
tetapi butuh proses yang sangat panjang.”ucap Urip Wiharjo, General Manager PT
REKI.
Dilema
FOTO BERSAMA: Foto
bersama antara Prof Dr Ir H San Afri Awang MSc, pihak PT REKI dan
warga setempat.
|
Afri
Awang memiliki pandangan bahwa antara pihak perusahaan PT REKI dengan warga
desa Tanjung mandiri dan Alam Sakti, tidak mempunyai sebuah kesalahan. Warga
dua desa ini, mengklaim bahwa mereka lebih awal memasuki kawasan Hutan Harapan,
akan tetapi negara telah menetapkan kawasan itu merupakan kawasan hutan yang
dilindungi oleh Negara.
Dan
PT REKI mendapatkan Izin untuk mengelola sebagai Hutan Harapan untuk merestorasi
hustan alam seperti semula. Di samping itu, masyarakat juga membutuhkan lahan
untuk memperbaiki kehidupannya dengan memanfaatkan hutan dengan cara melakukan
penanaman sawit. Dan hal ini yang dilarang oleh pemerintah dan PT REKI.
“Permasalahan
ini merupakan sebuah konflik yang dilema. PT REKI punya izin, masyarakat juga
butuh lahan,” ujar Afri Awang tersenyum.
Lanjutnya,
penyelesaian ini juga harus diikuti oleh pemerintah daerah khususnya Dinas
Kehutanan, yang merupakan sebuah lembaga yang terkait. Sehingga Afri Awang menyatakan
pemerintah harus turun tangan dan sebagai fasilitator antara warga dan PT Reki.
Dan pemerintah harus cepat tangkap dalam menyelesaikan permasalahan yang
terjadi pada masyarakat dan PT REKI.
“Pemerintah
harus turun tangan, pemerintah harus menjadi fasilitator dalam menyelesaikan
konflik yang terjadi antara masyarakat dan PT REKI,” tegasnya.
Konsep
Kemitraan
Ia
juga mengatakan dalam menyelsaikan konflik yang terjadi, solusi yang terbaik
adalah mengacu kepada konsep kemitraan. Sehingga ada sebuah keuntungan dan
masyarakat pun ikut terlibat dalam pemiliharaan hutan. Dan hasilnya pun juga
mampu memperbaiaki perekonomian dan penghidupan masyarakat, karena adanya
sebuah kerjasama.
“Solusinya
konsep kemitraan yang harus dilakukan, karena konsep kemitraan merupakan sebuah
konsep kerjasama. Tentunya tinggal lagi ke depan bisa lebih baik dan saling
menguntungkan,” tambahnya.
Selain
itu, konsep kemitraan seharusnya dilakukan oleh pihak pemerintah daerah Kabupaten
Batanghari untuk meminta sebagian lahan yang saat ini telah mencapai 19 hektar.
Kepada pemerintah pusat khususnya Kementrian Kehutanan RI, untuk membebaskan
lahan garapan warga dari PT REKI. Menurutnya, hal tersebut merupakan cara yang
kongkrit yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten Batanghari untuk
kesejahteraan rakyatnya.
“Bupati
bisa meminta lahan yang telah digarap oleh warga seluas 19 hektar itu, untuk
menjadi hal milik warga. Saya kira itu solusi nyata yang harus dilakukan oleh
pemerintah daerah Kabupaten Batanghari,” tegasnya.(ams/poy)(HARIAN JAMBI EDISI CETAK)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar