Jumat, 21 Maret 2014

Hentikan Restorasi Hutan PT REKI Jadi Lahan Konflik




DIALOG: Dialog penyelesaian konflik yang dilakukan antara masyarakat Desa Tanjung Mandiri dan Desa Alam Sakti Kabupaten Batanghari bersama PT REKI, yang didampingi oleh Prof  Dr Ir H San Afri Awang MSc.
Konflik lahan yang terjadi antara PT REKI dengan masyarakat Desa Tanjung Mandiri dan Desa Alam Sakti Kabupaten Batanghari tak kunjung usai. Masyarakat enggan menyerahkan lahan garapannya, karena merasa telah memiliki lebih awal lahan tersebut. Seorang budayawan sekaligus Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada (UGM) yaitu Prof  Dr Ir H San Afri Awang MSc turun kelokasi PT REKI guna mencari solusi konflik tersebut. Harian Jambi berkesempatan mengikuti perjalanan Prof Ir H San Afri Awang tersebut.

ANDRI MUSTARI, Jambi

Berangkat dari keprihatinan, Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada (UGM) yaitu Prof Dr Ir H San Afri Awang M.Sc  memberikan penjelasan tentang konsep kerjasama atau yang dikenal dengan konsep kemitraan kehutanan.
Kerjasama yang dimaksud adalah antara masyarakat Tanjung Mandiri, Alam Sakti dan pihak perusahaan PT REKI. Kegiatan ini berlangsung di Balai Dusun Tanjung Mandiri Batanghari Selasa (4/3/14). 

General Manager Social and Goverment Relationship PT REKI, Urip Wiharjo bahwa PT REKI (Restorasi Ekosistem Indonesia) adalah salah satu contoh perusahaan yang bergerak di bidang pengelolaan hutan, yang bertujuan untuk memulihkan hutan alam seperti semula.

Terkait hutan harapan menurutnya, adalah contoh kawasan pengusaha hutan produksi yang kini telah dialihkan kepada PT REKI, untuk mengembalikan atau memulihkan ekosistem hutan alam seperti semula. Untuk pengelolaan, PT REKI memiliki sebuah legalitas hukum yang berdasarkan kepada Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor 293/Menhut-II/2007: 28 Agustus 2007, mengenai Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Restorasi Ekosistem Hutan seluas 52.170 Hektar di Provinsi Sumatra Selatan. 

Selanjutnya untuk Provinsi Jambi, mengacu kepada surat keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor 327/Menhut-II/2010: 25 Mei 2010 mengenai IUPHHK Restorasi Ekosistem Hutan seluas 46.385 Hektar di Provinsi Jambi.  

Hutan Harapan yang dikelola oleh PT REKI merupakan hutan yang dikelola secara non-profit dan sepenuhnya dikelola oleh warga Indonesia. Program restorasi Hutan Harapan memberikan manfaat bagi orang banyak atau warga negara Indonesia sendiri. Khususnya untuk memberikan manfaat kepada suku asli yang bisa hidup damai di dalamnya, dan memanfaatkan hasil hutan non-kayu, tanpa harus merusak hutan. 

“Hutan Harapan bisa dimanfaatkan oleh suku asli atau masyarakat yang berada di dalam hutan. Hal ini merupakan salah satu pertimbangan oleh pemerintah untuk memberikan sebuah penghidupan yang damai bagi masyarakat, atau suku asli yang dikenal di Jambi dengan sebutan suku Bathin Sembilan,” ujarnya. 

Dalam hal ini, Suku Bathin merupakan kelompok masyarakat yang dari turun temurun hidup, berpindah dan mencari penghidupan di dalam hutan.

Restorasi 

Hutan Harapan merupakan hutan dataran rendah terakhir yang masih tersisa di Pulau Sumatera. Program Restorasi Hutan Harapan merupakan salah satu yang terbesar di dunia dan yang pertama di Indonesia. Dengan ini, PT REKI selalu berupaya  agar restorasi Hutan Harapan bisa berhasil, sehingga akan dijadikan sebuah contoh yang positif yang dapat dikembangkan dalam pengelolaan hutan alam di Indonesia  dan dunia. 

“Hutan Harapan yang dikelola oleh PT REKI, selalu berupaya agar restorasi bisa sukses. Sehingga Hutan Harapan PT REKI bisa menjadi contoh yang positif bagi hutan alam di Indonesia dan dunia,” tambahnya. 

Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang dipandang oleh dunia sebagai salah satu negara dengan kehancuran hutan tercepat di dunia. Ini diakibatkan oleh orang-orang atau perusahaan ilegal yang mencari sebuah keuntungan dengan cara merusak ekosistem hutan. 

Hal ini juga salah satu pertimbangan sehingga lahirlah PT REKI untuk memperbaiki ekosistem  hutan dengan restorasi hutan. Apabila restorasi ini mampu terwujud, maka hal ini nantinya akan mampu merubah citra Indonesia di mata internasional dengan tidak lagi dikatakan sebagai negara penghancur hutan yang tercepat. 

“Adanya restorasi hutan oleh PT REKI, apabila berhasil maka hal ini mampu merubah citra Negara Indonesia, yang tidak lagi dikatakan sebagi negara penghancur hutan tercepat di dunia,” ujarnya.

Konflik

FOTO-FOTO: ANDRI MUSTARI HARIAN JAMBI
Prof  Dr Ir H San Afri Awang MSc, budayawan sekaligus Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada (UGM).
Namun dengan tujuan  yang diinginkan oleh PT REKI dalam merestorasi Hutan Harapan tidak berjalan dengan mulus. Dikarenakan terjadinya sebuah konflik antara masyarakat desa Tanjung Mandiri dan Desa Alam Sakti Kabupaten Batanghari. Kedua desa ini bertempat di kawasan yang juga merupakan area konsesi PT REKI Hutan Harapan. 

Desa Tanjung Mandiri dan Desa Alam Sakti dalam hal ini, mengklaim bahwa mereka juga memiliki lahan. Dengan alasan warga lebih dulu datang dan tinggal di kawasan Hutan Harapan.

“Langkah PT REKI mendapat sebuah kendala, karena masyarakat pendatang yang bermukim di atas area konsesi PT REKI, mereka mengklaim bahwa mereka juga memiliki lahan di kawasan PT REKI,” ujarnya. 

Sesuai dengan data yang dimiliki oleh PT REKI, dari sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2013, masyarakat telah membuka lahan seluas 19.437 hektar. Dengan data pada Tahun 2005 masyarakat membuka lahan seluas 1.107 hektar dan 361 hektar. Pada Tahun 2006 membuka lahan seluas 2.399 hektar, Tahun 2007 membuka lahan seluas 6.379.

Selanjutnya, pada Tahun 2008 masyarakat membuka lahan seluas 314 hektar, Tahun 2009 membuka lahan seluas 1.864 hektar, Tahun 2010 membuka lahan seluas 1.140 dan Tahun 2011 membuka lahan seluas 2.645.

Kemudian pada Tahun 2012 membuka lahan seluas 2.549 dan pada Tahun 2013 masyarakat membuka lahan seluas 678 hektar. Hal ini disampaikan oleh Didi, salah satu pejabat penting PT REKI. Hal tersebut disampaikan, sesuai dengan data yang dimiliki PT REKI.

Menurut Didi secara legalitas hukum, masyarakat Tanjung Mandiri dan Alam Sakti tidak mempunyai bukti ataupun legalitas hukum yang kuat, karena tidak mempunyai izin. Sedangkan PT REKI mempunyai legalitas hukum dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor 293/Menhut-II/2007 dan Surat Keputusan Mentri Kehutanan nomor 327/Menhut-II/2010. 

Upaya Penyelesaian

Dengan adanya konflik yang terjadi antara masyarakat dan PT REKI, kedua belah pihak mengundang seorang Profesor  yang juga Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada (UGM) yaitu Prof. Dr. Ir. H. San Afri Awang, M.Sc, untuk memberikan penjelasan tentang konsep kerjasama atau yang dikenal dengan konsep kemitraan kehutanan. Kerjasama yang dimaksud adalah antara masyarakat Tanjung Mandiri, Alam Sakti dan pihak perusahaan PT REKI. Kegiatan ini berlangsung di Balai Dusun Tanjung Mandiri Batanghari (04/3). 

“Dengan adanya konflik ini, kami mengundang Prof. Dr. Ir. H. San Afri Awang, M.Sc,, untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat tentang pemahaman konsep kemitraan. Kegiatan ini pun disetujui oleh   kedua belah pihak,” ujarnya. 

Selain itu Urip juga menjelaskan bahwa kedatangan Guru Besar UGM ini, juga merupakan tindak lanjut dari aspirasi masyarakat. Yang mana mereka menginginkan sebuah penjelasan dan penyelsaian yang kongkrit dengan pilihan dalam konsep kemitraan. 

Kegiatan yang telah dilaksanakan tersebut, merupakan sebuah tahapan ataupun rangkaian untuk bisa melakukan sebuah negosiasi ataupun musyawarah untuk mendapatkan hasil mufakat, dalam proses penyelesaian konflik yang terjadi. Yang harapannya dengan adanya penjelasan oleh seorang Guru Besar, masyarakat bisa memahami dan menerima apa yang telah menjadi keputusan bersama. 

“Semoga dengan ini, masyarakat bisa mengerti tentang kedudukan PT REKI dan memahami keinginan PT REKI dalam merestorasi hutan, menjadi hutan semula yang juga mampu memberikan sebuah penghidupan yang layak bagi keluarga,” ungkap Urip. 

Dengan berbagai pilihan dan tawaran yang telah ditawarkan oleh  pihak PT REKI, selalu mengalamai jalan yang buntu. PT REKI juga telah memberikan sebuah penwaran tentang berbagai pilihan dan tawaran menyangkut posisi dan kepentingan sebagai titik awal perundingan. Agar ada kejelasan status dan solusi konflik lahan dalam bentuk sekema atau konsep sebuah kemitraan antara PT REKI dan kedua desa. 

Konsep kemitraan yang ditawarkan adalah masyarakat pemukiman tersebut bisa menetapkan pilihan mana yang mereka ambil untuk sebuah kejelasan satatus, dan sebuah ketentraman bagi kehidupan mereka. Serta keamanan kawasan konsesi proyek restorasi ekosistem hutan harapan dalam jangka panjang. 

“Berbagai tawaran telah ditawarkan kepada masyarakat, tapi tetap saja masyarakat belum ingin menerima solusi yang telah ditawarkan,” ucap Didi.

Rujukan

Dalam pertemuan yang dilaksanakan pada 4 Maret, Prof. Dr. Ir. H. San Afri Awang, M.Sc,  memberikan sebuah rujukan tentang peraturan kemitraan kehutanan.

Rujukan peraturan yang diserahkan  oleh guru besar kepada masyarakat adalah Permenhut No P. 39 tahun 2013 tentang pemberdayaan masyarakat setempat melalui kemitraan kehutanan. Yang disebutkan bahwa pemberdayaan masyarakat setempat melalui kemitraan kehutanan adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat setempat, untuk mendapatkan mamfaat sumber daya hutan secara optimal dan adil. Melalui kemitraan kehutanan dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. 

Aturan ini juga menjelaskan bahwa kemitraan kehutanan adalah kerjasama antara masyarakat setempat, dengan pemegang izin dalam hal ini PT REKI, dalam pemanfaatan hutan atau pengelolaan hutan. Dengan prinsip kesetaraan dan saling menguntungkan. 

Setelah itu, rujukan pemerintah tentang Hutan Tanaman Rakyat dengan mengacu kepada Permenhut No P.55 tahun 2011 tentang tata cara permohonan izin usaha dan pemamfaatan hasil hutan kayu, pada hutan tanaman di dalam hutan tanaman. 

Selain itu, Afri juga memberikan sebuah rujukan yang dikenal dengan Enclave. Guru Besar UGM ini menjelaskan bahwa menurut Undang-undang kehutanan no 41 tahun 1999, pasal 19 menyebutkan bahwa perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh pemerintah dengan didasarkan pada hasil penilitian terpadu. 

Berdasarkan penjelasan pasal 19 ayat 2 yang dimaksud dengan berdampak penting dan cakupan luas serta bernilai strategis, adalah perubahan yang berpengaruh terhadap kondisi biofisik seperti perubahan iklim, ekosistem, dan gangguan tata air. Serta dampak sosial ekonomi masyarakat bagi kehidupan generasi sekarang dan generasi yang akan  datang. 

Menurut Kepmenhut 292/Kpts-II/95 tanggal 12 juni 1995 tentang tukar menukar kawasan hutan yang isinya enclave adalah lahan milik pihak ketiga yang terletak di dalam kawasan hutan. Ini  mengacu kepada Kepmenhut 70/2001 jo. 48/2004 tentang penetapan kawasan hutan, perubahan status dan fungsi kawasan hutan berada pada pasal 1 ayat 5. 

Yang menyebutkan perubahan fungsi kawasan hutan adalah merubah sebagian atau seluruh fungsi hutan, dalam suatu kawasan hutan. Dan pada ayat 6 perubahan satatus kawasan hutan adalah merubah status sebagian kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan. 

Selain itu, Afri juga menjelaskan bahwa enclave merupakan sebuah tempat sejarah atau sebuah peniggalan. Hal ini lebih mengacu kepada kebijaksanaan oleh pemerintah untuk memberikan sebuah fasilitas kepada warga. Fasilitasnya seperti fasilitas sosial seperti tempat beribadah, perkantoran. Sedangkan fasilitas umum seperti jalan yang bisa digunakan oleh warga.  Dan enclave tidak untuk sebuah garapan dan tidak ada sebuah ukuran. 

“Enclave lebih mengacu kepada tempat sejarah, dan bukan temat atau lahan garapan,” jelasnya.(*/poy)


*****
Bersikeras, Masyarakat Enggan Serahkan Lahan

Konsesi Hutan Harapan yang menyentuh lahan di Kawasan Tanjung Mandiri dan Desa Alam Sakti Kabupaten Batanghari. Masyarakat bersikeras mengingkan lahan yang telah digarapnya menjadi hal miliknya. Hal ini disampaikan oleh Talinggiling, salah satu tokoh masyarakat desa Tanjung Mandiri. Menurutnya, tanah tersebut adalah miliknya bersama masyarakat lain. 

“Kami ingin tanah itu hak milik kami, walaupun 200 tahun waktu yang akan kami tempuh, tetap kami lakukan,” tegasnya.

Dengan berbagai rujukan yang telah disampaikan oleh Prof. Dr. Ir. H. San Afri Awang, M.Sc, Guru Besar Universitas Gajah Mada (UGM). warga masyarakat masih tetap tidak memahami penjelasan yang telah disampaikan. Dalam hal ini, warga masih tetap mengingkan lahan yang telah digarapnya menjadi hak milik warga yang mencapai 19 ribu hektar. 

Namun demikian Afri Awang memberikan penjelasan dan membiarkan kepada masyarakat untuk menjadikan lahan garapannya menjadi milik mereka. Akan tetapi, membutuhkan sebuah proses yang sangat panjang. Beberapa pilihan yang telah ditawarkan diantaranya, dengan konsep kemitraan, kedua, menjadikan area PT Reki mejadi HTR ( Hutan Tanaman Rakyat ). Apabila hal ini yang ingin ditempuh oleh warga, pihak PT REKI memperbolehkan. 

“Kalau warga masih tetap ingin lahan garapan menjadi hal milik mereka silahkan, akan tetapi butuh proses yang sangat panjang.”ucap Urip Wiharjo, General Manager PT REKI. 

Dilema

FOTO BERSAMA: Foto bersama antara Prof  Dr Ir H San Afri Awang MSc, pihak PT REKI dan warga setempat.
Afri Awang memiliki pandangan bahwa antara pihak perusahaan PT REKI dengan warga desa Tanjung mandiri dan Alam Sakti, tidak mempunyai sebuah kesalahan. Warga dua desa ini, mengklaim bahwa mereka lebih awal memasuki kawasan Hutan Harapan, akan tetapi negara telah menetapkan kawasan itu merupakan kawasan hutan yang dilindungi oleh Negara. 

Dan PT REKI mendapatkan Izin untuk mengelola sebagai Hutan Harapan untuk merestorasi hustan alam seperti semula. Di samping itu, masyarakat juga membutuhkan lahan untuk memperbaiki kehidupannya dengan memanfaatkan hutan dengan cara melakukan penanaman sawit. Dan hal ini yang dilarang oleh pemerintah dan PT REKI. 

“Permasalahan ini merupakan sebuah konflik yang dilema. PT REKI punya izin, masyarakat juga butuh lahan,” ujar Afri Awang tersenyum.

Lanjutnya, penyelesaian ini juga harus diikuti oleh pemerintah daerah khususnya Dinas Kehutanan, yang merupakan sebuah lembaga yang terkait. Sehingga Afri Awang menyatakan pemerintah harus turun tangan dan sebagai fasilitator antara warga dan PT Reki. Dan pemerintah harus cepat tangkap dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi pada masyarakat dan PT REKI. 

“Pemerintah harus turun tangan, pemerintah harus menjadi fasilitator dalam menyelesaikan konflik yang terjadi antara masyarakat dan PT REKI,” tegasnya.

Konsep Kemitraan

Ia juga mengatakan dalam menyelsaikan konflik yang terjadi, solusi yang terbaik adalah mengacu kepada konsep kemitraan. Sehingga ada sebuah keuntungan dan masyarakat pun ikut terlibat dalam pemiliharaan hutan. Dan hasilnya pun juga mampu memperbaiaki perekonomian dan penghidupan masyarakat, karena adanya sebuah kerjasama. 

“Solusinya konsep kemitraan yang harus dilakukan, karena konsep kemitraan merupakan sebuah konsep kerjasama. Tentunya tinggal lagi ke depan bisa lebih baik dan saling menguntungkan,” tambahnya. 

Selain itu, konsep kemitraan seharusnya dilakukan oleh pihak pemerintah daerah Kabupaten Batanghari untuk meminta sebagian lahan yang saat ini telah mencapai 19 hektar. Kepada pemerintah pusat khususnya Kementrian Kehutanan RI, untuk membebaskan lahan garapan warga dari PT REKI. Menurutnya, hal tersebut merupakan cara yang kongkrit yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten Batanghari untuk kesejahteraan rakyatnya. 

“Bupati bisa meminta lahan yang telah digarap oleh warga seluas 19 hektar itu, untuk menjadi hal milik warga. Saya kira itu solusi nyata yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten Batanghari,” tegasnya.(ams/poy)(HARIAN JAMBI EDISI CETAK)

Tidak ada komentar: